Saya dihukum tiga hari oleh FB gegara memposting tentang kopid yang saya beri judul  “Wabah Yang Dipermainkan”. Kontennya saya kopas dari dr. Samuel L. Simon , dan beliau kopas dari pawang virus Pakdhe Indro . Sebenarnya nanggung kalau hanya tiga hari. Kalau Trump dihukum 2 tahun oleh FB,  harapannya, saya juga dihukum oleh FB sekian tahun agar sekalian bisa lupa FB, sehingga dimaklumi bila tidak menulis.

Kali ini saya akan bercerita penggalan diskusi santai dengan kolega dosen yang terjadi pada Rabu 9 Juni lalu. Pada hari itu, kami  pergi ke kampus UINSA dalam rangka menyambut tamu dari UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA. 

Sebagai info tambahan, yang dimaksud dengan Raden Mas Said adalah bukan nama muda Sunan Kalijaga, tapi Pangeran Sambernyowo, seorang pendekar ningrat yang punya harga diri dan tidak kenal takut, serta tidak bisa ditundukkan di medan laga.

Pangeran Sambernyowo pernah menghadapi tiga lawan sekaligus: VOC (Kumpeni), Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Sepak-terjangnya susah dihentikan dan justru mengakibatkan banyak korban dari pihak kumpeni, antek dan para centengnya. Beliau banyak membabat serta menghabisi para pengadu domba, pembuat teror, serta penghisap ekonomi pribumi pada masa lalu. 

Entah saat ini apakah masih ada orang Indonesia yang berwatak kayak kompeni plus antek dan centengnya ini? Atau juga masih adakah Pangeran Sambernyowo era modern. Lebih lanjut tentang Pangeran Sambernyowo  silakan baca situs di bawah ini: https://tirto.id/ramai-ramai-mengeroyok-pangeran-sambernyawa-cBUk. Mungkin ada sumber pembanding lain tentang Pangeran Sambernyowo? Tentu saya tinggu. Kita juga  menunggu film tentang Pangeran Sambernyowo agar bisa menjadi inspirasi bagi para milenial untuk  menghadapi para pembuat teror, pencoleng dan pengemplang uang negara.

****

Lalu apa isi dari kisah diskusi santai dengan kolega dosen pada Rabu itu? Kolega dosen ini berkata bahwa adanya kejadian positif di Bangkalan baru-baru ini bisa menjelaskan kebuntuan pikirannya yang sebelumnya berasumsi bahwa di Madura tiada kopid (tiada yang positif). 

Beliau melanjutkan ucapannya, kalau sampai di Madura tiada kopid, ini akan menyulitkan “sains” untuk membangun argumen atas wabah ini. Karena dalam kondisi pandemi, orang Madura malah seperti tiada pandemi. “Apa Madura sakti-sakti?” Begitulah kata kolega saya yang atraktif dan bersemangat  dalam mengemban tugas di kampus ini.

Saya jawab dengan santai; pertama, sebetulnya banyak masyarakat kampung di Jawa yang sama kehidupannya dengan orang Madura dalam menyikapi kopid. Kedua, kalau masalah positif, malah bisa terjadi  dimana-mana, dan kita semua ini potensial positif (baik sedang, atau pernah, atau akan mengalami  positif). Bisa jadi kalau tes acak di tiap kota kabupaten akan serupa. Bahkan yang sudah pernah positif, lalu negatif,  selanjutnya bisa positif lagi. Jadi hal  ini adalah lumrah karena  “hukum alam” pandemi yang berlaku umum, apalagi kopid sudah dua tahunan.

Hanya saja yang perlu digarisbawahi dan dipahami, ditemui  orang positif tapi tidak apa-apa, alias tetap bugar. Ada juga yang sakit, dan sedikit yang meninggal.

Adapun positif yang tidak apa-apa mungkin sekali karena ketahanan pisik yang baik berkat mengkonsumsi makanan dan olahraga serta bergembira.  Maupun bisa juga karena faktor doa yang sembodo sehingga bisa memboster pisik menjadi kuat dan tahan, atau malah bisa juga doa mampu “merekayasa” hukum sebab akibat.

Sedangkan yang sakit bisa jadi karena pisik lemah atau komorbid. Ataupun juga mungkin karena ketakutan berlebih sehingga drop.

Adapun yang meninggal pasti karena takdir, yang kalau ditelisik secara  sains, bisa jadi karena komorbid akut atau penanganan SOP yang keliru.

Walhasil mari kita hadapi kopid dengan kewajaran tanpa ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Jangan ada yang membuat rakyat ketakutan berlebih di saat ekonomi semakin sulit dan banyak bisnis yang kelimpungan. 

Terakhir, berhati hati dalam segala hal sesuai kapasitas adalah tetap perlu. Kita berharap semoga makhluk yang bernama manusia sehat, bahkan jin juga bergas, sehingga bisa ibadah. Pun kepada  tetumbuhan juga subur dan segar sehingga alam menjadi indah. Tidak lupa kepada hewan agar sehat dan gemuk, apalagi jelang Idul Adha. Kanggo niat apik  iki Alfatihah.

***

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *