Ada dua paradoks yang saya rasakan dan saya perhatikan saat ini. Dua paradoks tersebut:
PERTAMA, KAUM MUDA DAN KAUM TUA
Dua istilah itu masyhur sebagai gambaran dinamika intelektual di Minangkabau, di awal abad 20. Kaum Muda merupakan ulama-ulama yang terpengaruh oleh faham pembaharuan; biasanya kritis terhadap mazhab, tarekat, amalan Kaum Tua, hingga tradisi-tradisi keagamaan. Sedangkan Kaum Tua ialah ulama-ulama yang tetap teguh di atas pemahaman jumhur ulama, memegang teguh mazhab fiqih (terutama Mazhab Syafi’i), mengamalkan tarekat, dan memelihara tradisi-tradisi keagamaan yang ada.
Di awal abad 20, dua pemahaman ini begitu dinamis. Banyak terjadi debat-debat/ muzakarah terhadap persoalan yang diikhtilafkan. Bertukar fikiran bahkan terjadi lewat tulisan pada risalah-risalah, hingga artikel majalah. Konon kabarnya, akibat tajam perbedaan, ada yang bercerai laki bini karena satu qunut dan satunya membid’ahkan qunut. Dalam risalah Syaikh Sa’ad, bahkan disebutkan pula bahwa ada sebagian yang mengkufurkan amalan tarekat, hanya gara-gara ikhtilaf memahami masalah rabithah.
Itu dulu, ketika istilah kaum muda, yang disematkan pada ulama berusia muda, yang terpengaruh angin pembaharuan dari Mesir kala itu, dan Kaum Tua bagi yang tetap teguh pada pehamanan jumhur ulama dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun sekarang, istilah ini, bisa terbalik. Sekarang, dalam pandangan saya, di kampung, orang berusia tua yang memiliki pemahaman sebagaimana Kaum Muda dulu. Tidak sedikit saya lihat, yang mengikuti dan memahami agama sesuai slogan pembaharuan ialah yang berusia lebih senior; termasuk yang keras dalam kelompok Wahh*bi. Usia beliau-beliau itu, umumnya lebih senior (mungkin teman-teman melihat video seorang tokoh Wahh*bi di salah satu daerah dekat kampung saya, yang usianya sudah tua). Di sisi lain, yang kokoh dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah) dengan Mazhab Syafi’i, kemudian teguh pula diatas maslak tasawuf, ialah banyak yang muda-muda, lebih junior. Yang muda-muda itu pula yang mencoba membela pemahaman yang dulu dipertahankan oleh ulama Kaum Tua seratus tahun yang lalu. Artinya, dulu, yang menjadi Kaum Muda ialah yang muda, Kaum Tua ialah yang tua. Sekarang, yang jadi Kaum Muda ialah yang tua, dan yang menjadi Kaum Tua adalah yang muda. Ini adalah dinamika intelektual yang biasa, lazim, menunjukkan bahwa waktu bertukar, musim berganti; ada arus balik.
Dan tentunya ini adalah pandangan pribadi saya, berdasarkan pengamatan di kampung. Bisa saja berbeda bila dilihat di daerah-daerah yang lain.
KEDUA, TEMAN MUDA-MUDA
Paradoks kedua, selain dari Kaum Muda dan Kaum Tua di atas ialah tentang hidup saya. Dulu, saat remaja, teman saya ialah kebanyakan bapak-bapak yang tua-tua. Di kampung saya, bahkan anak-anak seusia saya waktu itu, tidak mengenal saya, bahwa saya orang kampung situ, sakin begitu tidak bergaulnya saya dengan yang muda-muda. Teman itu yang tua-tua saja. Meski begitu saya banyak menyauk kearifan dan wawasan pengalaman hidup dari mereka; “Jauh bajalan, banyak nan diliek. Tinggi umua, banya nan diraso.” Itu dulu.
Sekarang, ketiga usia mulai meninggi. Terjadi perbedaan mencolok. Jika dulu saya banyak menjalin persahabatan dengan yang tua-tua, sekarang yang muda-muda banyak berteman dengan saya. Hampir setiap minggu remaja-remaja, yang muda-muda, datang berkunjung; berdiskusi hingga tengah malam, kadang mengulang langkah silat, membaca matan-matan kitab, bahkan hanya sekedar bertemu muka saja. Maka kenalan saya sekarang, banyak yang muda-muda, yang usianya dengan saya bahkan terpaut 10 tahun. Bukan hanya pemuda, juga pemudi. Dan disana pula peluang saya, untuk memberi nasehat soal hidup, soal agama, dan yang paling penting agar tetap berpegang pada “Tali yang tidak putus, raso yang tidak hilang.”
Dengan dua paradoks yang saya rasakan saat ini, saya semakin menyakini bahwa banyak hal-hal yang tidak terduga, kemudahan hidup, kebahagiaan, yang diturunkan Allah tanpa disangka. Dan Allah Maha Berkehendak, Maha kaya, dan Maha Kuasa.
Foto: Saya diajak berfoto oleh salah seorang pemuda yang luar biasa. Beliau menjadi Imam di salah satu mesjid. Kata beliau, lama ingin menemui saya. Kebetulan malam itu saya mengisi wirid Ramadhan di mesjid tersebut. Di akhir, setelah bercerita-cerita cukup lama, beliau meminta berfoto. Nah, kata orang, yang tua banyak pengalaman, yang muda banyak yang keramat. Maka termasuk beliau ini, memiliki bagian keramat itu pula.
No responses yet