Benarkah moderatisme di Indonesia menjadi warna dominan dalam sikap sosial-politik masyarakat Indonesia? Pertanyaan ini mungkin akan terasa ganjil di tengah keyakinan umum bahwa moderatisme hal yang diterima apa adanya. Pertanyaan siapa, apa dan seberapa banyak jumlah mereka di Indonesia mungkin menjadi pertanyaan ganjil lainnya.
Jika moderatisme dimaknai sebagai sikap untuk tak mendukung politisasi isu penodaan agama dan penyesatan kelompok minoritas, mengapa gelombang dukungannya justru membesar? Jika moderatisme dianggap sebagai sikap menolak menerapkan syariah formal, mengapa dukungan implementasi syariah yang formal itu menguat? Pertanyaan-pertanyaan ini seperti menunjukkan beberapa paradoks.
Temuan Diego Fossati, peneliti Departemen Asia dan Kajian Internasional City University of Hong Kong, Hongkong, menarik diikuti. Ia mengulas bagaimana politik Islam dan Politik Aliran dalam tulisan yang dipublikasi Journal of Current Southeast Asian Affairs, setahun lalu.
Jika moderatisme di kalangan muslim ditunjukkan dengan sikap tengah, ternyata jumlahnya “hanya” 29 persen. Di peringkat pertama justru diisi oleh mereka yang disebutnya “cenderung islamis” dengan 39 persen. Di peringkat ketiga diisi kelompok “cederung sekuleris” dengan 17 persen, disusul “islamis” dengan 12 persen, dan kelompok sekularis di posisi paling buncit tiga persen. Data-data ini ia olah dari hasil riset Lembaga Survei Indonesia 2018.
Kategori-kategori itu ia buat dengan mematok tujuh variabel, di antaranya sikap terhadap pernyataan bahwa para penista agama harus dihukum lebih berat, syariat Islam harus diterapkan di tingkat nasional, diterapkan di tingkat lokal, atau pemerintah harus memprioritas Islam ketimbang agama lain.
Ada beberapa temuan menarik. Jika politik moderat ditunjukkan dengan sikap untuk tak membawa pertimbangan agama atau netral agama, jumlah ini bukan wajah dominan. Sebanyak 58 persen menyatakan kriteria pemimpin muslim menjadi pertimbangan penting mereka.
Jika sikap moderat dimaknai sebagai sikap yang tidak setuju syariat Islam yang formal di terapkan di tingkat lokal, data menujukkan jumlahnya justru paling banyak. Sebanyak 41 persen setuju dengan penerapan syariat Islam di tingkat lokal. Jika sikap moderat dimakna sebagai sikap yang tidak mendukung para penista agama dihukum lebih berat, hasil responden justru menunjukkan jumlah mayoritas: 63 persen.
kategori “islamis” ini mungkin akan menjadi salah satu pusat perdebatan. Mengapa itu yang dipilih Fossati dan bukan “religius”? Istilah ini rasanya lebih tepat untuk memperhadapkannya dengan “sekuler”. Apalagi, istilah islamis dalam sejumlah kajian sering merujuk pada kelompok yang terhubung pada jejaring Wahabi-salafi, sebagian lagi merujuk pada kelompok-kelompok vigilante.
Terlepas dari itu, data dan ulasan Fossati ini setidaknya memberi tiga pesan utama. Pertama, sepertinya moderatisme harus diletakkan dalam sebuah spektrum dengan berbagai variabel. Ia bisa bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Ia bisa sangat maju di satu dua isu, tapi tidak untuk isu lain. Sekedar contoh. Jika moderatisme adalah dukungan terhadap Pancasila, maka untuk konteks Indonesia dukungan ini tak terkejar. Jumlahnya rata-rata di atas 80 persen. Begitu pun dengan demokrasi. Tetapi akan berbeda dengan dukungan pada implementasi syariat Islam di tingkat lokal.
Tidak cukup itu, data yang diulas Fossati menarik dicermati. Jika ditingkat lokal, umumnya masyarakt muslim mendukung implementasi syariat Islam, tidak untuk konteks penerapan di seluruh Indoensia. Sebanyak 41 tidak setuju syariat Islam diterapkan di seluruh Indonesia.
Kedua, untuk “memenangkan” dukungan apsirasi mayoritas muslim di Indonesia mau tidak mau mencari titik sambung antara “kelompok tengah” dan “cenderung islamis”. Sebab, kelompok sekuler yang hanya mengandalkan “kelompok tengah” tak akan cukup meraih jumlah mayoritas. Mereka harus “merebut hati” kelompok pada barisan “cenderung islamis”. Begitupun sebaliknya, kelompok islamis tak akan mampu merebut suara mayoritas tanpa bergeser lebih ke tengah. Salah satu isu strategis itu dalah Pancasila dan NKRI, terlepas dari beberapa perbedaan penafsirannya.
Ketiga, afiliasi politik akan menjadi variabel penting dalam melihat dukungan masyarakat Islam terhadap berbagai isu yang berkembang, termasuk juga afiliasi dan sikap keagamaan. Sederhananya, ke mana kecenderungan sikap mereka akan dapat dilihat ke mana mereka melabuhkan dukungan politik.
Tentu saja akan titik perdebatan lain dalam isu ini, misalnya faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan politik mereka dan apakah berlaku hanya untuk konteks nasional dan tidak lokal, atau sebaliknya. Namun begitu, cukup untuk mengatakan bahwa data ini memberi pesan tegas bahwa para politisi, partai, politik, dan pemimpin politik berperan besar menentukan arah perjalanan masyarakat di Indonesia. Dengan lain kata, mereka bertanggung jawab pula untuk menentukan hubungan agama-negara yang ideal di Indonesia.
No responses yet