Review dan Terjemah Kitâb al-Fâna’ fî al- Mushahâdah oleh Ibn ‘Arabî
Oleh Layla Shamash dan Stephen Hirtenstein (Diterjemahkan oleh Dr Yoyo Hambali
Pengantar
Kitâb al-Fâna’ fî al- Mushahâdah
(Pemusnahan dalam Perenungan/Penyaksian) adalah salah satu dari sekian banyak risalah pendek Shaykh al-Akbar (Ibn ‘Arabî), yang menjelaskan tema-tema yang juga muncul di berbagai bagian dalam Futûhât al-Makkîyah. Topik utamanya adalah, seperti judulnya, jalan penyingkapan mistik (the path of mystical unveiling) yang mengarah pada penyaksian Tuhan. Meskipun pada pandangan pertama mungkin tampak seperti pertahanan jalan spiritual terhadap serangan rasionalis dan teolog dogmatis, pada pemeriksaan lebih dekat ternyata menjadi serangkaian indikasi dan nasihat bagi mereka (yang menempuh) jalan untuk menjalani kematian spiritual (fanâ’) dan diwujudkan dalam perenungan (kontemplasi). Lebih dari itu: Ini tidak lain adalah makna batin dari Bayyinah (bukti yang jelas) yang merupakan Sura ke-98 dalam Al-Qur’an.
Bagian panjang pada manâzil (tempat tinggal atau stasiun jalan) dalam Futûhât al-Makkîyah, terdiri dari bab 270 hingga 383, sesuai dengan 114 Sura Alqur’an dan menyajikan rinciannya dalam urutan terbalik, sehingga manzil pertama menerangi Sura terakhir dan seterusnya. (Untuk korespondensi ini kami berhutang budi pada analisis brilian Michel Chodkiewicz pada konferensi baru-baru ini di Murcia). Sura ke-98, Bayyinah, sesuai dengan manzil ke-14 , yaitu bab 286, berjudul “Tentang pengetahuan orang yang diperintahkan untuk menjadi, ditolak dan bukan dari Hadirat Muhammad” ( “Of the knowledge of the one who is ordered to become, refused and so is not from the Muhammedian Presence.”). Dalam bab ini kita menemukan “Kitâb al-Fâna’ fî al-Mushahâdah” disebutkan sebagai bagian dari manzil ini, dan ketika kita melihat lebih dekat pada Sura yang bersangkutan (Bayyinah), kita dapat melihat iluminasi (penyingkapan) yang dihasilkan oleh Shaykh. Memang kita dapat menambahkan bahwa teks risalah ini sendiri adalah bayyinah (bukti yang jelas) sejauh maknanya membekas pada diri pembaca yang waspada.
Istilah bayyinah (terkait dengan kata “bayna” yang berarti “antara”) digunakan untuk menunjukkan seorang utusan dari Tuhan ke hati orang yang mendapat pengetahuan Tuhan (‘ârif, gnostic), yang membawa pengetahuan tentang kebenaran ilahi, yang memungkinkan mata perenung untuk melihat hal-hal persis adalah seperti apa adanya. Kami telah menerjemahkannya (bayyinah) sebagai “bukti yang jelas”, karena mengandung arti bukti yang tidak dapat disangkal dan sesuatu yang sangat jelas. Ada penekanan yang pasti baik dalam Sura dan risalah tentang pentingnya kemurnian (keihlasan): dalam bagian Alqur’an ada empat kata terpisah yang digunakan: mutahhar (tak bernoda), mukhlîs (dibebaskan, ikhlâs ), zakawât (biasanya diterjemahkan sebagai sedekah), tetapi (kata ini) lebih dimaknai rasa pemurnian), dan sâlihât (tidak bercacat, berperilaku baik). Terjemahan Surah berikut ini, dengan catatan bagaimana hal ini muncul dalam teks, adalah upaya untuk menunjukkan sedikit kedalaman eksposisi yang luar biasa oleh Shaykh, tetapi kami yakin orang lain akan menemukan makna baru untuk diri mereka sendiri.
Surah 98 (al-Bayyinah)
“Bismillâh al-rahmân al-rahîm”
Pendahuluan teks adalah puji-pujian kepada Allah dan para wali-Nya, yang telah disucikan hatinya, kaum rahmah, kaum rahmân (yang berpakaian) dan para rahm (yang membuka pakaian) yang dari Rahmat Cahaya (rahmati nûr) di stasiun elevasi dan kepuasan (the station of elevation and satisfaction), yang mengambil Nabi sebagai model mereka.
“Orang-orang yang kafir di antara ahli Kitab dan orang-orang yang menyekutukan Dia tidak akan berhenti sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Sepanjang risalah Shaykh membuat interaksi antara dua tingkat atau kelompok: mereka yang mengatakan bahwa mereka percaya pada Islam tetapi sebenarnya tidak, dan mereka yang mencari jalan yang berjuang untuk pemahaman yang nyata tetapi mau tidak mau jatuh ke dalam semacam kemusyrikan. Untuk setiap kelompok, bayyinah datang dalam mode yang tepat: untuk pencari sebagai konfirmasi langsung dari Tuhan, memusnahkannya dalam kontemplasi, sedangkan untuk filsuf atau teolog dalam bentuk tulisan dan bukti-bukti dari para gnostik (‘ârifûn).
“Seorang Utusan Tuhan yang membacakan teks-teks yang sempurna”
“Di dalamnya ada kitab-kitab tentang iman yang benar (qayyimah)”
Utusan ini mungkin manusia seperti Abû Bakar atau Abû Hurairah, yang memberikan berita Kebenaran kepada manusia (dalam) bentuk manusia, atau mungkin bentuk Ilahi dengan cara Tuhan berbicara langsung ke hati dalam stasiun Memahami Tanda-tanda (Ayât). Shaykh memberikan contoh tanda-tanda yang memusnahkan.
“Orang-orang yang diberi Kitab itu tidak membeda-bedakan sampai datang bukti yang nyata kepada mereka.”
Bagi para pencari, perbedaan ini terjadi sebagai kebingungan bahwa semua jalan Kitab menuju kepada Allah, karena bayyinah menunjukkan kepada mereka bahwa “Dialah yang didekati dari segala sisi, bahkan jika Dia tidak dikenal.” Bagi kaum rasionalis pembagian ini terjadi ketika mereka mendengar atau membaca apa yang telah dijelaskan oleh para mistikus kepada mereka, tetapi hanya dapat menerima sebagian dan menolak sisanya karena tidak sesuai dengan sudut pandang mereka.
“Dan tidak ada perintah kecuali untuk menyembah Allah, dalam pengabdian yang murni (ikhlas) kepada-Nya dalam agama yang lurus (hanifian), dan mendirikan salat dan memurnikan perilaku (zakawat) .”
Ini adalah agama dari iman yang benar. Untuk kedua jenis orang urutannya sama. Jadi para pencari harus mengabdikan diri mereka hanya kepada Tuhan, mengikuti agama Ibrahim yang lurus dan murni dalam setiap aspek, sehingga mereka dapat “bertindak sesuai sepenuhnya dengan tatanan ilahi dan menjadi dunia bercahaya” (act in complete concordance to divine order and become the world of light).
“Orang-orang yang menutup kebenaran (kafir) di antara Ahli Kitab dan orang-orang yang mempersekutukan Dia berada di dalam api neraka, tetap di sana, dan mereka adalah makhluk yang paling buruk.”
“Orang-orang yang beriman dan beramal dalam kesucian, itulah sebaik-baik ciptaan.”
Neraka adalah ketiadaan ketundukan, baik itu terhadap penjelasan para sahabat-Nya atau sebagai jarak yang dibayangkan antara pencari dan Tuhan, dan semua berada dalam kondisi itu sampai mereka mengikuti Dia yang mengatakan “Aku adalah Tuhanmu.” Iman adalah prasasti di hati yang tidak akan pernah bisa dihapus; jika seseorang berbicara tentang wahyu dan hijab berikutnya, maka itu adalah masalah bagian luar hati, bukan bagian dalamnya. Mereka yang menerima sebagian dan menolak sebagian dari apa yang dibawa oleh para gnostik (‘ârifûn) adalah “penciptaan (makhluk) paling buruk”, dan Shaykh memberikan contoh dari pengalamannya sendiri tentang pertukaran antara seorang hamba Tuhan dan manusia biasa, filsuf.
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah Taman Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka akan tinggal di dalamnya selamanya. Tuhan sangat puas (rida) dengan mereka, dan mereka sangat puas dengan-Nya. Inilah (pahala) bagi orang yang bertakwa kepada Tuhannya.”
Umat Allah (the people of God) telah memurnikan ibadah mereka dari segala pengertian tentang pahala, dan telah menjadi dunia Cahaya, yang di dalamnya terdapat sungai-sungai ilmu. Mereka melihat-Nya secara langsung dalam perenungan, dan inilah arti sebenarnya dari Ihsân (menyembah Tuhan seolah-olah Anda melihat-Nya). Shaykh mencatat bahwa dia akan membahas di tempat lain kepuasan ilahi (rida Tuhan) dan takut akan Tuhan (taqwâ), tetapi kita dapat menambahkan bahwa kualifikasi rahmah, yang disebutkan di awal, tersirat dalam kepuasan ilahi, karena orang-orang suci yang puas dan memuaskan (murdhî) adalah “Rahmat bagi Alam Semesta” (Mercy of the Universes). Kualifikasi kehadiran Cahaya ini dibahas secara lebih rinci dalam Bab 286 Futûhât.
Dalam bab ini “Kitab Pemusnahan dalam Perenungan” dikatakan telah ditulis, meskipun kita tidak tahu titimanga pasti dari penyusunannya, itu mungkin ditulis di Baghdad pada awal 600-an Hijriah, baik sebelum kunjungannya ke Anatolia atau setelahnya. Ada beberapa manuskrip yang masih ada, salah satunya, (Manuskrip) Carullah, ditulis selama masa hidup penulis. Kitab ini dicetak dalam Rasâ’il Ibn ‘Arabi di Hyderabad pada tahun 1948, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh M. Valsan dalam …tudes Traditionelles, dengan judul “Le Livre de l’Extinction dans Ia Contemplation”. Terjemahan ini dibuat dari salinan di perpustakaan Shehit Ah (no: 1348) di Istanbul, tidak bertitimangsa, yang memiliki variasi signifikan dari teks dalam Rasâ’il dan yang dikaji oleh M. Valsan. Bacaan alternatif telah ditandai dalam catatan dengan (R) untuk Rasâ’il, (P) untuk Paris dan (U) untuk Uppsala.
Terjemah Kitâb al-Fâna’ fî al- Mushahâdah
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Segala puji bagi Tuhan yang menentukan dan mentakdirkan (qadara wa qadâ’), yang menentukan dan melaksanakan keputusan-Nya, yang ridha dan melimpahkan kepuasan, yang terlalu suci dalam keagungan dan keagungan-Nya, yang segala keagungan bergantung (‘aradan) [1] atas apa yang dilampaui-Nya , baik itu substansi maupun aksidensi. Dia telah mensucikan hati orang-orang yang Dia pilih di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia tidak menjadikan mereka [yaitu hati] penyebab keraguan dan ilusi yang membuat mereka sakit.
Dia tidak menjadikan mereka sebagai target [2] untuk panah pertengkaran dan permusuhan. Dia telah menerangi mereka, dengan esensi ketajaman menembus (madâ’) [3], pedang petunjuk terhunus sehingga (bahkan) luasnya menjadi membatasi. Di antara mereka ada yang berpakaian dan menanggalkan pakaiannya, dan ada pula yang menggali asal [4] dan yang bercahaya. Orang-orang yang mengenakan pakaian mereka menganggap apa yang diberikan kepada mereka sebagai pinjaman (qardan) [5] ; dan mereka yang telah membuangnya mengubah esensi preseden kenabian [6]menjadi kewajiban batin. Dia menampakkan mereka berlomba-lomba dalam keindahan di Majelis Tertinggi (Highest Assembly) dan menetapkan otoritas mereka di alam semesta yang tinggi dan rendah, menjadikan mereka pewaris Langit dan Bumi. Dengan demikian mereka melintasinya dengan didahulukan yang kuno [7] , panjang dan lebarnya [8], dan mereka memerintah di kursi penghakiman mereka dengan meratifikasi dan menyangkal.
Dan semoga berkah dilimpahkan kepadanya (Nabi) kepada siapa dikatakan: “Dan Tuhanmu akan menganugerahkan kepadamu agar kamu rida.” Dia dibedakan di stasiun ini dari dia (Musa) yang mengatakan: “Saya bergegas menuju Anda, ya Tuhan, sehingga Anda rida.” Dan semoga berkat itu tetap di lidah kekekalan [9] dan tidak pernah berakhir. Dan semoga itu juga meluas kepada anggota keluarganya dan para sahabatnya, yang dirahmati dengan keridaaj, dan saudara-saudaranya, yang telah mempercayainya, dari derajat ketinggian dan keridaan.
Realitas Ilahi terlalu tinggi untuk direnungkan oleh mata yang harus direnungkan; karena ada jejak ciptaan di mata si kontemplator (perenung). Jadi jika apa yang tidak pernah berlalu, menjadi sementara, dan apa yang pernah ada, menjadi subsisten, maka Matahari bukti yang jelas akan terbit untuk pemahaman yang jelas. Di sana terjadi transendensi mutlak (tanzîh), diwujudkan dalam keindahan mutlak. Dan itulah mata (‘ayn) Sintesis dan Wujud, dan maqam Ketenangan dan Keheningan (khumûd) [10]. Dengan demikian bilangan nampa sebagai Yang Esa (wâhid), yang tidak kurang perjalanan dalam derajat dan dengan perjalanan ini adalah realitas bilangan yang nyata.
Di stasiun (maqâm) inilah orang yang mengaku penyatuan (ittihâd) [11] jatuh ke dalam kesalahan: karena orang ini, melihat perjalanan Yang Esa melalui derajat imajiner sehingga nama berbeda sesuai dengan berbagai derajat, tidak melihat bilangan apapun kecuali Satu dan Hanya Satu (ahad) , dan karena itu ia mengaku identitas. Sekarang jika Dia memanifestasikan dalam Nama-Nya (Satu), Dia tidak memanifestasikan dalam Dzat-Nya (dhât) juga kecuali dalam derajat pribadi-Nya sendiri yaitu Keesaan (wahdâniyya) [12], sehingga dalam derajat apapun Dia memanifestasikan dalam Dzat-Nya, Dia tidak memanifestasikan Nama-Nya (sendiri). Dia disebut dalam derajat itu dengan apa yang diberikan oleh realitas derajat itu kepada-Nya, sehingga melalui Nama-Nya dalam derajat itu ada kematian, dan melalui Dzat-Nya ada penghidupan. Oleh karena itu jika Anda mengatakan “Satu” (wâhid), segala sesuatu selain Dia dimusnahkan melalui realitas nama itu; dan jika Anda mengatakan “dua”, realitas esensialnya (‘ayn) memanifestasikan melalui keberadaan Dzat-Nya, Yang Esa, pada tingkat itu, bukan melalui Nama-Nya (Satu), dan Nama-Nya (Satu) menyangkal keberadaan ini derajat, sedangkan Dzat-Nya tidak.
Wawasan dan pengetahuan jenis ini harus diselubungi dari sebagian besar makhluk, karena apa yang ada di dalamnya adalah ketinggian dan keagungan. Ini adalah jurang yang dalam dan kehancuran di dalamnya sudah dekat. Bagi orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang realitas (ilahi) dan perluasan pengembangan ekspresi manis (raqâ’iq) [13], dan datang pada kondisi kontemplatif ini melalui mulut seseorang yang telah menyadarinya, sedangkan dia sendiri belum mencicipinya, (yang seperti itu) mungkin akan berkata: “Aku adalah Dia yang aku cintai, dan Dia yang aku cintai adalah aku.” Karena alasan inilah kami menyelubungi dan merahasiakan ajaran semacam ini.
Ketika Hasan al-Bashri [14] ingin berbicara tentang misteri-misteri ini, yang tak seorang pun harus datang kecuali mereka bepergian di jalan mereka, ia akan memanggil Farqad al-Sabakhî dan Mãlik ibn Dinar serta orang-orang yang rasanya hadir, yang tutup pintunya atas orang-orang dan kemudian duduk berbicara dengan mereka tentang jenis tertentu (pengetahuan). Jika tidak ada keharusan untuk kerahasiaan, dia tidak akan bertindak dengan cara ini. Hal ini juga ditegaskan oleh Abu Hurairah [15] yang mengatakan, menurut apa yang diriwayatkan oleh al-Bukharî dalam kitab hadisnya: “Aku membawa dari Nabi (Saw.) dua kotak harta; yang satu telah aku bagikan di antara Anda, dan yang lainnya, jika aku membagikannya, tenggorokanku akan dipotong.” Dan juga Ibn Abbas [16], ketika berbicara tentang ayat Alqur’an (“Dia yang menciptakan tujuh langit dan juga bumi, perintah-Nya turun di antara mereka” Q.65.12), berkata: “Jika aku menjelaskan arti sebenarnya, Anda akan melempariku dengan batu dan mengatakan bahwa aku adalah orang yang tidak percaya.” Dan ‘Ali bin Abî Tâlib biasa memukul dadanya dan berkata: “Ah, di sini ada keagungan yang berlimpah. Kalau saja aku bisa menemukan orang yang bisa membawanya!” Dan dia (yaitu Nabi), saw, berkata: “Abû Bakar lebih unggul dari Anda, bukan dengan jumlah salat atau puasa tetapi dengan sesuatu yang telah terjadi di dadanya”, dan dia tidak mengungkapkan apa itu hal itu tapi tetap diam pada subjek. Tidak semua pengets lahuan diperlukan dunia untuk mengungkapkannya. Dan Nabi (Saw.) berkata: “Berbicaralah kepada orang-orang sesuai dengan kapasitas pemahaman mereka.”
“Banyak pembawa ilmu hukum yang bukan ahli hukum” (hadis);
“Mereka berbicara dusta tentang ilmu yang tidak mereka kuasai” (Quran 10.39);
“Mengapa kamu berselisih di antara kamu sendiri tentang apa yang tidak kamu ketahui tentangnya? ” (Al-Qur’an 3.66).
Demikianlah orang-orang dikritik ketika mereka berbicara tentang jalan yang tidak mereka ikuti. Aku (Ibn ‘Arabî) menceritakan semua ini karena kitab-kitab orang-orang di jalan kita berlimpah dalam misteri-misteri ini, dan orang-orang yang berpikir reflektif [17] memanfaatkannya menurut sudut pandang mereka sendiri, sementara orang-orang luar menafsirkan (ta’awwala) arti kata-kata yang mungkin dan jatuh ke dalam kesalahan. Jika mereka ditanya, orang-orang ini, hanya tentang istilah teknis yang disepakati oleh komunitas kami, yang mereka hina dalam diskusi mereka, mereka tidak akan tahu jawabannya. Bagaimana mereka dapat berbicara tentang sesuatu ketika mereka tidak menguasai prinsipnya?
Ketika mereka (para gnostik) telah diamati menyembunyikan (yatakattamûna) [18] pengalaman mereka bersama dengan sahabat-sahabat mereka, orang mungkin mengatakan bahwa itu adalah agama yang tersembunyi, agama yang tidak menguntungkan, karena mereka tidak tahu implikasi dari agama ini. Yang pertama tidak hanya menyembunyikan agama itu sendiri tetapi juga konsekuensinya dan apa yang Tuhan Yang Maha Tinggi telah berikan kepada mereka sehubungan dengan ketaatan-Nya ketika mereka taat kepada-Nya. Mungkin saja mereka memastikan sendiri beberapa hadis Nabi tentang kewajiban-kewajiban keagamaan yang secara umum dianggap kurang dan diragukan keasliannya, tetapi mereka (para gnostik) menganggap hadis-hadis seperti itu benar karena mereka telah mencapainya melalui pandangan terang secara langsung (penyingkapan spiritual/kashf) dari yang mengucapkannya (Nabi Saw). Dengan demikian mereka menyembah diri mereka sendiri sesuai dengan sesuatu yang tidak diterima oleh orang-orang yang mengetahui bentuk, yang menuduh mereka berada di luar agama, dan itu tidak adil, karena Tuhan Kebenaran memiliki banyak aspek yang melaluinya Dia dapat dijangkau dan ini adalah salah satunya. Demikian pula, banyak tradisi (hadis) yang telah (umumnya) diverifikasi dan diterima, tidak diverifikasi dan diterima melalui jalan penyingkapan, dan mereka (para gnostik) tidak mengikutinya dalam praktik mereka. Betapa pantas dan indahnya orang yang berserah diri dan berserah diri serta mendisiplinkan dirinya sampai dia meninggalkan tempat tinggalnya sendiri menuju Tempat Tinggal-Nya! Orang seperti itu bahagia dan dihargai dengan realitas Wujud.
Mereka yang menyembunyikan misteri-misteri ini dengan ekspresi teknis yang disepakati, sebagai tindakan pencegahan terhadap mereka yang berasal dari luar, dan mereka yang mengaku membawa akibat (al-athar) [19] oleh kekuatan spiritual, melanjutkan tanpa jeda di jalan mereka yang telah ditetapkan dengan jelas, sampai tampak bagi mereka rambu-rambu di tangan realitas spiritual agung yang bersemayam pada tingkat itu mendekati stasiun Pemahaman Alamat (Understanding the Address) [20] , di mana di tempat itu terdapat kitab-kitab suci bertulis yang bertindak sebagai saksi untuk verifikasi negara mereka. Perpindahan dari kualitas ini (wasf) ke kualitas lain memberi mereka gerakan transendensi (munazzahan) [21]. Tabir Kerudung terbelah dan apa yang terselubung terungkap; makna yang tersembunyi dibuka, gemboknya rusak dan baut-bautnya ditarik ke belakang. Kekuatan spiritual (kualitas) yang lain itu disatukan dengan menghadapi Realitas Yang Maha Esa (haqîqatu-l ahadîyah) dan tidak ada yang dirasakan selain satu tujuan tunggal dan tidak ada yang lain, dan darinya efeknya diimmanensi sesuai dengan Realitas. Kadang-kadang mereka terjadi secara independen, dan kadang-kadang terjadi sesuai dengan generasi kekuatan spiritual. Dia adalah Pribadi yang didekati dari segala sisi, bahkan jika Dia tidak dikenal; dengan siapa dicari setiap niat, bahkan jika Dia tidak tercapai; yang dibicarakan oleh setiap lidah, bahkan jika Dia tidak disebutkan. Oh, kebingungan yang luar biasa dan penderitaan yang luar biasa, ketika penutup telah disingkirkan dan penglihatan disatukan dan matahari dan bulan disatukan, ketika Efektor telah muncul dalam efek dan dikenal melalui mata manusia [22] dan telah memvariasikan diri-Nya dalam gambar-gambar, ketika tipu daya telah menimpa si penipu dan orang beriman mendapat keuntungan dan orang kafir merugi.
Amanat Ilahi diungkapkan oleh lidah yang paling suci, ditafsirkan sebagai kemurnian motif [dalam ibadah] (‘ibârati al-ikhlâs) [23] . Dia yang memurnikan ibadahnya dari motif pahala apa pun dan telah menjadi iman yang benar (hanif al-madzhab), iman yang dekat dengan Tuhan, dengan demikian bertindak sesuai sepenuhnya dengan tatanan ilahi dan telah menjadi dunia cahaya dan bukan dunia dunia pembalasan.
“Allah adalah cahaya langit dan bumi” (Q.24.35).
“Mereka memperoleh pahala dan cahaya di hadapan mereka” (Q.66.8).
“Cahaya mereka bersinar di depan mereka” (Q.57.12).
Dan Dia berkata: “Aku adalah Tuhanmu” dan mereka mengikuti-Nya. Soal pahala bagi orang yang memverifikasi atau ahli hakikat (muhaqqiqîn) diserahkan kepada Allah; mereka tidak dapat mencarinya karena kurangnya waktu dan keasyikan mereka dengan Dia, Yang Mahatinggi, yang telah dengan jelas menunjukkan kepada mereka bahwa “dia yang melewatkan bagiannya dari Tuhan adalah pecundang (rugi)”.
Perbuatan, yaitu cara seseorang menjalankan kewajiban dan tradisi Nabi (sunnah) , membutuhkan balasannya dengan keberadaannya yang sederhana. Jangan khawatirkan diri Anda dengan ini, karena gerakan tubuh memiliki efeknya sendiri yang tak terhindarkan. Jangan tanyakan apa yang dihasilkan oleh gerakan (pahala) itu sendiri, karena Anda akan membuang-buang waktu Anda, karena Tuhan, kemuliaan bagi-Nya, adalah “setiap hari dalam kesibukan” (Q.55.29). Jadi “hari” adalah satuan waktu dan “urusan”-Nya ada pada apa yang menjadi hak Anda. Untuk Andalah Dia keberadaan dan menciptakan, bukan untuk diri-Nya sendiri, karena Dia melampaui kepentingan diri sendiri dan keberpihakan, dan tidak ada yang kembali kepada-Nya dari ciptaan-Nya yang belum menjadi milik-Nya. Tidak ada ciptaan kecuali sebagai tanda bagimu (fiman adallaka) [24]: jadi tetaplah menghadapi masalah ini dan menyibukkan diri dengannya. Dan engkau menjadi setiap hari dalam urusan Tuhanmu, sebagaimana Dia benar-benar ada dalam urusanmu. Dia tidak menciptakan engkau kecuali engkau beribadah kepada-Nya dan engkau menyadari diri engks di dalam Dia. Jangan menyibukkan diri dengan selain-Nya. Dan apa yang selain engkau dan selain Dia adalah makanan bagimu, karena untuk engkau itu datang.
“Aku tidak mencari makanan dari mereka, aku juga tidak ingin mereka memberi makan. Tuhanlah yang memelihara.” (Q.51.57) Maka jika Dia berkata kepadamu: “Ambil!”, katakanlah: “(Itu) Engkau (yang harus mengambil).” Dan jika Dia berkata kepadamu: “Kembalilah!”, katakan: “Dari-Mu untuk-Mu”. Dan jika Dia berkata kepada Anda: “Bagaimana aku bisa mengatakan kepada-Mu ‘Ambil’ dan Engkau mengatakan ‘Engkau mengambil dan aky tidak mengambil? “’, lalu katakan kepada-Nya: “Beginilah aku dalam kenyataan. Aku tidak mengambil karena mengambil adalah tindakan, dan aku tidak memiliki tindakan. Anda adalah Pengambil karena Engkau adalah Pelakunya. Jadi Engkau mengambil untukku apa yang Engkau berikan kepadaku, dan jangan menyuruhku untuk mengambil, hai Engkau yang tidak mengambil, karena dengan mengambil, Engkau menyelubungiku dari Diri-Mu, dan tidak ada pengambilan bagiku karena Engkau bukan milikku; dan tidak ada pengambilan yang mungkin bagiku kecuali itu mendapatkan non-eksistensi, dan itu adalah yang terburuk dari semua penyakit! Aku meminta pembebasan dari alamat (tanda) pemusnahan ini,
Mungkin terjadi bahwa di beberapa tempat ini Anda disajikan dengan (berdiri di) agama kenabian yang lurus, berwibawa, yang lurus dan murni, dan juga dengan agama yang tidak lurus dan tidak berwibawa dan bercampur, dari pikiran dan intelek. Dan kemudian Anda dibingungkan (tahayyar) [25] oleh mereka, karena Anda melihat bahwa tujuan akhir dari masing-masing jalan ini adalah Yang Nyata, kemuliaan bagi-Nya, sehubungan dengan kebahagiaan Anda, bukan dari sudut pandang kesengsaraan Anda. Maka berpuas dirilah dengan mengikuti agama yang istimewa dan suci, karena lebih bermanfaat dan lebih mulia. Meskipun (jalan) yang lain memiliki iluminasi tinggi, namun karena adanya (jalur) yang pertama, bentuknya melemah, meskipun mungkin benar [26]. Dan mungkin pendiri jalan, seandainya dia masih hidup, akan kembali ke agama yang lurus dan murni. Karena kita melihat bahwa agama lurus diangkat di bawah satu aspek atau beberapa aspek melalui agama lurus dan kemurnian khusus. Bukankah hukum-hukum agama yang diikuti oleh bangsa-bangsa seperti umat Musa dan umat Isa a.s.di masa lalu, telah mengambil [27] dari hukum agama (sharî’ah) Muhammad (Saw.), yang mengatakan: “Jika Musa masih hidup, dia tidak akan melakukan apa pun selain mengikutiku.” Apalagi alasan untuk itu adalah ketetapan agama yang diciptakan melalui pikiran dan yang pantas untuk dihilangkan meskipun itu benar dari satu aspek tertentu. Selain itu, ketahuilah bahwa makhluk yang paling sengsara adalah orang yang memiliki Kitab dan tersesat, mengikuti hawa nafsunya meskipun ia meyakini Kitabnya.
Tetapi ada satu hal yang ingin aku klarifikasi, yang sangat sedikit perhatiannya, dan mungkin banyak orang yang salah dalam hal ini, sehubungan dengan ruang lingkup kemungkinan (jawâza-l imkân) : Keberadaan didirikan di atas salah satu dari dua sisi kemungkinan dan tidak ada cara untuk mengubahnya. Sesungguhnya Allah (al-haqq), kemuliaan bagi-Nya, tidak pernah mengungkapkan diri-Nya kepada sesuatu dan kemudian menutupi diri-Nya dari itu; sama Dia tidak menorehkan iman di dalam hati dan kemudian menghapusnya. Jika seseorang mengatakan bahwa Dia telah menyelubungi diri-Nya setelah pengungkapan, maka sebenarnya Tuhan tidak pernah mengungkapkan diri-Nya kepadanya tetapi beberapa cahaya ditunjukkan kepadanya dan dia mengatakan itu adalah Dia (huwa huwa). Tidak ada keabadian bagi dunia dalam keadaan apa pun, karena ia berubah, dan dengan demikian orang ini berbicara tentang tabir. Demikian pula jika di dalam hati telah ditanamkan prasasti iman dan tanda-tanda (âyât) dan dalil (bayyinât) , dan jika saksi-saksinya telah kokoh di dalam hati, maka hal-hal tersebut tidak akan pernah hilang. Seandainya hal itu dicabut dari orang tertentu, maka ketahuilah bahwa hal-hal ini tidak pernah tertulis di loh hatinya dan dia tidak menjadi rida (ridâ’) untuk mereka; sebaliknya, mereka telah menjadi rida baginya. Dia diberikan ekspresi mereka dan kemampuan untuk berbicara tentang esensi dan realitas mereka – hadiah (pahala) seperti itu dapat diambil kembali dan dihilangkan. Karena itu Allah telah berfirman: “Bacakanlah kepada mereka apa yang telah Kami berikan kepada mereka ayat-ayat Kami dan yang telah melepaskannya.” (Q.7.174)28 Kata-kata “mereka melepaskan” (insalakha) dapat dibandingkan dengan laki-laki yang melepaskan pakaiannya dan ular yang melepaskan kulitnya. Jadi hal-hal ini ditanggapi sebagai pakaian luar, seperti yang telah kami sebutkan.
Yang harus dia lakukan hanyalah mengartikulasikan; jadi jika dia mengartikulasikan, penyebab yang tersembunyi (mukawwin) [29]dari kata itu termanifestasi serta efeknya dalam kekhususannya. Tidak ada ketentuan untuk kata-kata individu tertentu, sehubungan dengan pemurnian ritual atau kesucian pribadi atau kesadaran atau konsentrasi; juga tidak ada sehubungan dengan tidak percaya (kafir) atau percaya (iman), kecuali yang terjadi hanya melalui pengucapan huruf-huruf tertentu, di mana efeknya muncul bahkan ketika pembicara tidak menyadari apa yang dia katakan. Dan hal ini terjadi pada sebagian sahabat kita: salah seorang dari mereka, ketika dia membaca Alqur’an, membaca sebuah ayat dan menemukan efek di dalamnya, yang mengejutkannya, dan dia tidak tahu penyebabnya. Jadi dia mengalihkan perhatiannya ke bacaannya dan kembali ke ayat-ayat sebelumnya dan mulai membaca lagi. Ketika dia tiba di ayat tertentu, dia mengamati dalam dirinya sendiri efek yang sama padanya [30]. Kemudian dia menyadari bahwa ayat ini, setiap kali dibacakan, menemukan tempatnya sendiri di mana ayat itu dapat bertindak secara khusus (padanya), dan karenanya dia mengambilnya sebagai “nama” dan akan menghasilkan efek tertentu (athar) kapan pun dia mau. Akan tetapi, pemeriksa sejati atau ahli hakikat (muhaqqiq) tidak membiarkan dirinya tergoda oleh hal ini, dan memang kesenangannya terletak pada apa yang telah ia sadari di dalamnya: ketika ditanya “Apa Nama Tuhan yang Maha Besar? “, Abu Yazid menjawab “Jujurlah (asdaq) dan ambillah nama ilahi apa pun yang kamu suka”, menarik perhatian si penanya ke verifikasi yang terlibat, bukan hanya ucapannya, seperti yang Allah Yang Maha Tinggi katakan: “mereka yang di dalam hatinya tertulis iman (îmân )” (Q.58.22).
Dan bagi hati yang bernafsu mencintai (walhân) [31] ada imensi luar atau lahir (eksterior) dan dimensi dalam atau batin (interior). Interiornya tidak mau terhapus, itu adalah kemapanan yang pasti, tidak terkekang dan tidak perlu dipertanyakan lagi melalui realisasi. Bagian luarnya memang mengakui penghapusan, dan itu adalah loh yang menghapus dan menegakkan: suatu perkara dapat ditetapkan di dalamnya untuk waktu tertentu, kemudian “Dia menghapus apa yang Dia kehendaki dan tetapkan” (Q.13.39). Jika orang yang beriman kepada suatu Kitab adalah orang yang beriman kepada seluruh Kitabnya, dia tidak akan pernah tersesat, tetapi ketika dia beriman pada sebagian dan mengingkari sebagian yang lain, dia benar-benar kafir. Seperti yang dikatakan Tuhan Yang Mahatinggi, “mereka berkata: kami percaya pada beberapa dan tidak percaya pada bagian lain, dan mereka ingin menemukan jalan di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar kafir.” (Q.4. 150) Dan “orang-orang kafir di antara ahli Kitab adalah makhluk yang paling jahat” (Q.98.5). Sesuai dengan ini, (‘ilm ar-rusûm): mayoritas intelektual dari kalangan filosof dan teolog meyakini sebagian dari apa yang dibawa oleh para wali Allah dari apa yang telah mereka sadari dalam pengalaman dan misteri yang mereka saksikan dan temukan. Apa yang sesuai dengan pendapat dan pemahaman mereka sendiri, mereka percayai; dan apa yang tidak sesuai dengan pendapat dan pemahaman mereka, mereka menolak dan menyangkal, dengan menyatakan bahwa “ini salah karena bertentangan dengan pembuktian kami”.
Contoh dari sikap ini mungkin adalah orang celaka yang belum menyelesaikan prinsip-prinsip dasar (arkân) namun menganggap dirinya sempurna. Mengapa orang seperti itu tidak menganggap (kata-kata) seperti itu kepada orang yang layak menerimanya dan tidak memaksakan dirinya untuk mempercayainya? Karena dengan demikian ia akan memperoleh buah ketundukan (taslîm). Aku, demi Allah, sangat takut kepada orang-orang yang menolak kelompok ini (sufi). Dikatakan tentang seseorang yang duduk dengan orang-orang dari realitas esensial di antara para sufi dan bertentangan dengan mereka atas suatu hal yang mereka sadari dalam diri mereka, bahwa Allah mencabut cahaya iman dari hatinya.
Salah satu orang yang berspekulasi rasional (nuzzâr), yang memiliki pretensi kebijaksanaan, datang untuk mengajukan pertanyaan kepada beberapa penentu di antara ahli-ahli Eksistensi (wujûd). Ak hadir bersama murid-muridnya yang sedang duduk di sana. Sufi [32] mulai berbicara tentang pertanyaan ini, tetapi rasionalis berkata: “Ini tidak benar bagiku. Buktikan kepadaku, mungkin aku salah tentang itu.” Sufi tahu bahwa kata-kata orang ini mungkin jebakan yang dibuat olehnya (dâhiyyah) [33], dan dia terdiam menghadapi argumentasi dan permusuhan yang mungkin muncul. Karena mereka, semoga Allah ridho kepada mereka, tidak membicarakan suatu hal padahal hal itu disebabkan oleh akhlak yang buruk dan hilangnya rahmat (baraka). Nabi (Saw.) berkomentar ketika para sahabatnya sedang berselisih: “Di hadapanku perselisihan tidak diinginkan.” Dan dia (Saw.) juga berkata: “Aku sedang diperlihatkan Malam Qadar, tetapi pada saat itu dua orang mulai saling menghina, dan Malam (Qadar) itu dihilangkan.”
Jalan penyingkapan dan kesaksian tidak mengizinkan argumentasi dan sanggahan terhadap orang yang membicarakannya. Dan perampasan (rahmat) jatuh pada yang bersengketa, sedangkan manusia (wujûd) diberkahi dengan apa yang telah diterimanya. Kemudian salah satu murid dari shaykh ini berdiri dan berbicara kepada rasionalis ini: “Apa yang telah dijelaskan oleh guru kami sangat jelas dan benar, bahkan jika aku sendiri tidak dapat menjelaskannya.” Kemudian rasionalis itu menjawab: “Kata-kata yang indah, dipilih dengan baik oleh shaykh, para intelek menerimanya sejak awal. Namun, jika Anda mengujinya dengan verifikasi rasional obyektif dan Anda menyuarakannya dengan bukti yang ada, itu akan lenyap, dan itu tidak akan ada karena itu sangat salah, persis seperti masalah yang diungkapkan gur kita beberapa waktu lalu. ” Shaykh tidak mengatakan apa-apa lagi tentang masalah ini, karena rasionalis tidak mengerti apa yang telah dia rumuskan dan apa yang diungkapkan oleh lidahnya. Ini adalah petunjuk bagi pemeriksa (muhaqqiq) tentang apa yang ada di dalam jiwa (nafs) rasionalis, dan dia melihat bahwa lebih tepat untuk menahan diri dari berbicara dengannya tentang hal-hal seperti itu.
Kemudian ketahuilah bahwa iman yang diperkuat dengan perbuatan baik berada di tangan Hadirat Suci, dan dengan demikian seseorang akan melihat selama kediamannya (yaitu kehadiran ini) mengalir sungai-sungai ilmu dan pengetahuan, kebijaksanaan dan rahasia, dan pencurahan ini terjadi di antara jari-jari kehadiran ini; dan orang akan melihat apa yang dimiliki tangan itu untuk orang-orang dari keterkaitan Muhammad (ta’alluqat) [34], sehingga semangat penghuni di hadapan ini dipelihara olehnya (tataghadha).
Ini adalah salah satu dari empat (kehadiran) semua yang berpartisipasi dalam Stasiun atau Maqâm Suci ini, dan ini, yang pertama, adalah kehadiran Kebangkitan dalam Wujud (iqâma). Yang kedua adalah kehadiran Cahaya (nûr). Ketiga adalah adanya Akal (‘aql). Dan yang keempat adalah kehadiran Manusia (insân).
Kehadiran Manusia adalah yang paling lengkap dalam hal Wujud. Adapun kehadiran Kebangkitan dalam Wujud, jika hamba tiba di sana, dia minum dari sungai keabadian (daymûmiyya), dan hasil dari stasiun ini di kehadiran ini adalah stasiun rasa takut akan Tuhan dan kepuasan (keridaan) Ilahi, karena takut akan Tuhan membuka kehadiran yang berbeda dengan ini, yang akan kami jelaskan dalam beberapa bab di Futûhât al-Makkîyah [35] Serupa dengan itu, ketakutan akan Ketuhanan (huwiyyah) juga akan disebutkan dalam beberapa bab dari Futûhât al-Makkîyah, dan ini tidak akan kita bahas di sini.
Tempat tinggal yang telah kami bicarakan dalam kitab ini adalah Tempat “pemusnahan” (fanâ’) dan “Matahari terbit”, dan tempat itu memiliki derajat Ihsân yang dengannya Dia melihatmu, bukan dengan apa kamu melihat-Nya. Malaikat Jibril, Saw, bertanya kepada Nabi (Saw.): “Apakah Ihsân itu? Dia menjawab: “Bahwa kamu harus menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya”, dan dia memberi tanda dengan itu kepada orang-orang berupa kiasan (ishârât) bahwa “jika tidak, kamu melihat-Nya (sebenarnya) (Dia melihatmu)” (fa-in lam takun tarâhu) [36], yaitu: Penglihatannya tidak terjadi kecuali melalui pemushahanmu dari dirimu sendiri.
Ditetapkan bahwa alif dalam “tarâhu” adalah demi manifestasi-Nya, karena ketergantungan penglihatan padanya. Jika dia menghilangkannya dan mengucapkan “tarahu”, penglihatan tidak akan terjadi karena kata ganti ha dalam kata “tarâhu”
menunjukkan yang tidak ada, dan yang tidak ada tidak dapat dilihat, dan jika alif telah dihilangkan, maka Dia akan terlihat tanpa penglihatan, dan itu tidak mungkin terjadi. Jadi itulah mengapa alif disebutkan. Adapun hikmah menjaga kata ganti ha, makna yang diberikan adalah bahwa kata-kata “jika Anda tidak, Anda melihat-Nya” menunjukkan fakta bahwa sementara Anda melihat dengan keberadaan alif Anda tidak mengatakan “Aku telah melingkupi”, karena Dia, Yang Maha Tinggi, terlalu agung dan mulia untuk dicakup, dan hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Jadi ha ada sebagai kata ganti dari apa yang hilang dari Anda selama visi Realitas Kebenaran (haqîqatu-l haqq), yang bertindak seperti saksi bagi Anda dari ketidakmungkinan meliputi (Dia).
Dan Allah adalah Pemberi Petunjuk (mursyid), tidak ada Tuhan selain Dia. Ini adalah akhir dari apa yang telah Dia tetapkan untukku yang aku jelaskan di maqâm ini. Dan segala puji bagi Allah, dan semoga salawat atas junjungan kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya, dan damai atas mereka semua.
Terjemahan ini pertama kali muncul dalam Volume IX the Journal of the Muhyiddin Ibn Arabi Society (1991).
Anotasi
[1] ‘awdan (R), dalam hal ini berarti: “menjadi pengganti dari apa yang dilampaui-Nya”.
[2] ‘ aradan, secara harfiah: ditampilkan sebagai pameran. Dari akar kata yang sama, ‘urdak berarti sasaran. Bacaan alternatifnya adalah gharadan (R), yang sekali lagi berarti sasaran atau tujuan.
[3] adâ’ (R), artinya “cahaya yang bersinar”.
[4] hawâfir, jamak dari hâfir, kata yang tidak biasa. Secara harfiah itu adalah orang yang menggali tanah, terutama untuk air. Tetapi hafirah adalah keadaan atau konstitusi asli dari sesuatu, kondisi di mana ia diciptakan. Para “penggali” ini tampaknya kontras dengan mereka yang bersinar dari cahaya yang bersinar. Bacaan alternatifnya adalah ja’âfir (R), mungkin mengacu pada Ja’far saudara ‘Ali, yang tewas dalam pertempuran Mu’tah setelah berturut-turut kehilangan kedua tangannya sambil menegakkan standar Nabi. Dia dilaporkan telah dianugerahi surga dengan dua sayap.
[5] Ini adalah bacaan dalam Rasâ’il, lebih disukai di sini daripada Shehit Ali “fardan” (sebagai kewajiban) karena ini akan melibatkan pengulangan di baris berikutnya.
[6] Secara harfiah sunnah, yang berarti setiap kata Muhammad yang diadopsi sebagai aturan dalam Islam. Ini mencakup semua tindakan ibadah dsn kebiasaan yang dilakukan Nabi dan para pengikutnya didorong untuk mengambil contoh. Oleh karena itu, ia menyiratkan cara dan kebiasaan para nabi yang menjadi dasar kehidupan beragama. Dalam Futûhât al-Makkîyah Ibn ‘Arabî mendefinisikan
Sunnah Nabi sebagai: “berkumpul dalam agama, menjalankannya dan tidak berserakan di dalamnya” (11168.26). Sebagai kata kerja, sunnah juga bisa berarti menyunat atau disunat, dan dengan demikian bisa merujuk pada penyunatan hati yang esensial, yang dikenal dalam tradisi Ibrahim sebagai pembuktian Keesaan Tuhan.
[7] qadam al-qidam. Secara harfiah, langkah kaki keabadian atau prioritas. Ini mengacu pada jalan bimbingan Ilahi yang telah ditata oleh contoh kenabian.
[8] tûl wa-l ard. Istilah-istilah ini menggambarkan tidak hanya luasnya bumi tiga dimensi kita, tetapi juga dimensi manusia, bagian dalam dan luar, transenden dan imanen.
[9] qadam, mengacu lagi pada kehadiran konstan dari mereka yang telah datang sebelumnya.
[10] khumûd berarti keheningan dan ketenangan ketika api telah mereda, sebuah gambaran yang mengingatkan pada “taman di tengah api” yang digunakan Ibn ‘Arabi dalam Tarjumân al-ashwâq. Juga jumûd (R), istirahat mandiri.
[11] ittihâd secara harfiah berarti “menjadikan”. Jika diartikan bahwa dua esensi menjadi satu, itu jelas tidak mungkin. Tetapi apa yang membentuk hubungan antara Dzat Yang Esa dan esensi ganda, hubungan tuan dan hamba, memang menyiratkan jenis ittihâd tertentu yang tidak dapat dihindari sampai kehambaan yang sejati terwujud. Seringkali istilah ini dikontraskan dengan tauhid.
[12] wahdâniyya, yang menunjukkan Keesaan yang disaksikan oleh seluruh umat manusia pada awalnya pada saat diambilnya Perjanjian. Verifikasi ini kadang-kadang disebut oleh Ibn ‘Arabî sebagai penyatuan hal-hal yang bertentangan, “yang merupakan keberadaan yang berlawanan di dalam lawannya sendiri. Ini adalah pengetahuan terkuat yang dengannya seseorang dapat mengetahui Keesaan.” Juga, wâhidiyya (P); ahadiyya (U).
[13] raqâ’q, jamak dari raqîqa, secara harfiah berarti sesuatu yang tipis atau halus seperti kerudung, dan sering digunakan oleh Shaykh untuk berarti sesuatu yang menghubungkan berbagai tingkat Wujud, seperti tangga.
[14] Hasan al-Basri, lahir di Madinah pada tahun 21 H (642) M. Dia bertemu banyak sahabat Nabi dan tinggal di Basra. Dihormati sebagai salah satu orang suci dan ahli hskikat besar, ia meninggal pada 110 H. (728 M).
[15] Abû Hurairah, yang dipanggil ‘Abd ar-Rahmân ketika masuk Islam dan dikenal sebagai “bapak anak kucing” karena kegemarannya pada kucing.
[16] Ibn Abbas, sepupu Nabi yang dikenal sebagai tarjumân al-Qur’an (penafsir Alqur’an), dan karena itu merupakan saksi yang sangat kuat.
[17] afkar, yang berarti pemikiran, pertimbangan, atau pemeriksaan mental. Apa yang ditunjukkan oleh Shaykh di sini adalah jenis orang yang menggunakan kekuatan pikiran untuk memahami hal yang tak terduga dan yang memiliki pendapat yang mungkin atau mungkin tidak sesuai dengan kenyataan. Ini berbeda dengan mereka yang benar-benar mengetahui, orang yang memiliki selera.
[18] yatakallamûna ( kanan ), yang berarti “berbicara bersama”.
[19] Athar secara harafiah berarti sayatan yang dibuat pada kaki unta agar dapat dilacak jejaknya, dan karena itu berarti tanda atau tanda yang dibuat untuk menunjukkan jalan. Ini juga dapat merujuk pada tradisi atau kisah yang menggambarkan perkataan Nabi dan para sahabatnya; dalam arti ini, oleh karena itu, dapat digunakan sebagai padanan kata sunnah.
[20] fahwaniyyah. Dalam Istilâhât as-sufiyyahnya, Syaikh mendefinisikan ini sebagai “Alamat Yang Esa melalui pertemuan tatap muka di dunia gambar (‘alam al-mithâl)”.
[21] mayzka (R), yang berarti tindakan membedakan dan derajat tinggi yang membedakan seseorang dari orang lain. Untuk penjelasan lain tentang penyingkapan semacam ini, yang menegaskan apa yang telah disebutkan oleh kitab-kitab dan para nabi yang diwahyukan,~ lihat William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn ‘Arabi’s Metaphysical Imagination, Albany, NY: State University of New York Press, 1989, hlm.168, untuk terjemahan Futâhât I 27l.27.
[22] ‘uyn al-bashar. Juga, ‘ ayn al-basar (R) yang berarti mata penglihatan.
[23] ‘ibâdihi al-ikhlâs (Shehit Ali) yang artinya ditafsirkan
“untuk para penyembah-Nya yang sejati”. Dilihat dari baris-baris berikut versi Rasâ’il tampaknya lebih jelas terbaca.
[24] fiman ajlaka yakkluq (R), yang artinya: “Tidak ada ciptaan kecuali yang Dia ciptakan untuk kamu.”
[25] tamayyuz (R), yang berarti “kamu membedakan di antara mereka”.
[26] Dalam Rasâ’il teks menambahkan min wajhihi, “dari satu aspek”.
[27] Dalam Rasâ’il teks menambahkan wujûhaha, “beberapa aspek”. Sangat menarik bahwa Shaykh menunjuk pada masalah yang agak berbeda dari interpretasi yang lebih jelas tentang tradisi Islam yang telah menggantikan hukum-hukum agama sebelumnya. Di sini ia mencatat bahwa hukum-hukum sebelumnya “mengangkat” ke Tuhan atau berlaku melalui validitas hukum Muhammad, dan karena itu tidak ada diskontinuitas atau perbedaan antara para nabi. Seperti yang dijelaskan dalam Fusûs al-Hikam, agama Ibrahim, yang disucikan untuk anak-anak Yakub, disempurnakan oleh Muhammad, nabi yang mencakup segalanya (lihat Quran 42.14).
[28] Ini adalah kemungkinan referensi untuk Bileam, putra Beor, dari Kanaan, yang mengetahui nama Allah yang tersgung (lihat Bilangan 22-24 dan 31). Dia ditekan oleh Balak, raja orang Moab, untuk mengutuk Musa dan orang Israel, tetapi dia menolak untuk melakukan apa pun yang tidak diperintahkan Tuhan kepadanya. Tiga kali dia memberkati orang Israel, membuat Balak marah besar. Selanjutnya dia tampaknya telah mendorong penyembahan berhala, dan ini terkait bahwa dia kehilangan penggunaan Nama. Lihat Futûhât.
- q. 135 untuk referensi tentang sâhibu Mûsâ (pria Musa).
[29] maknûn (R), yang berarti “yang tersembunyi, artinya”.
[30] Dalam Rasâ’il teks ditambahkan: “dan ketika dia mengulanginya, dia mengamati efek yang sama”.
[31] wajhân (R) , yang artinya: “bagi hati ada dua wajah: bagian luar dan bagian dalam”.
[32] muhaqqiq (kanan), “pemeriksa”.
[33] wâhiyyah (R), yang berarti “dia tahu bahwa kata-katanya akan kehilangan maknanya atau akan sia-sia”.
[34] maqâmât (R), “stasiun”.
[35] Lihat, misalnya, Futûhât II hal. 212 (Chittick, The Sufi Path of Knowledge, hal. 280) untuk diskusi tentang ridâ’.
[36] Seluruh jawaban yang diberikan oleh Malaikat Jibril adalah: “Bahwa kamu harus menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, karena meskipun kamu tidak melihat-Nya, namun Dia melihatmu.” Di sini Shaykh memberikan makna yang benar-benar segar pada ungkapan fa-in lam takun tarâhu, yang biasanya dipahami sebagai “jika kamu tidak melihat-Nya”. Frasa ini dijelaskan dalam istilah pemusnahan (fanâ’) dan kesaksian (syuhûd) karena ini adalah perhatian utama dari risalah ini, meskipun sifat timbal balik dari visi dalam persatuan tersirat oleh frasa terakhir fa-inna-hu yarâk, “dan sesungguhnya Dia melihatmu”. Lihat juga Futûhât bab 54, “Pengetahuan Sejati tentang Kiasan” ( “The True Knowledge of Allusion” (Chittick, The Sufi Path of Knowledge, hlm. 246-50), untuk penjelasan yang lebih umum tentang penggunaan isyarat (ishârât) oleh umat Allah.
© Muhyiddin Ibn Arabi Society CIO (Charity 1179324) | Privacy Policy
Diterjemahkan 13 Juni 2021, mulai jam 09:8 selesai 20:42.
No responses yet