Ini manuskrip Qur’an berkode Or. 15877 yang tersimpan di British Library. Bersyukur manuskrip-manuskrip yang tersimpan di sini sekarang sudah bisa diakses secara digital melalui http://www.bl.uk/manuscripts/.
Di sini ada satu perkembangan unik yang terjadi terkait dengan penanggalan. Bu T. Pudjiastuti membaca kolofon di f. 297v “kala tahun ja.s.ra.nga wulan eni tanggal ?22 dinten soma panca wala kumala…”. Kata “jasranga” di sana adalah penunjuk tahun. Bu T. Pudjiastuti belum bisa mengenali simbol apa yang dimaksud oleh kata ini. Dia tidak memenuhi kaidah penanggalan candrasengkala dalam kebudayaan Jawa. Karena terdiri dari satu kata jadi tidak mungkin dia diterjemahkan dengan candrasengkala Jawa. Apalagi tidak diketahui kata jawa kuno “jasranga”.
Namun, ini sebenarnya adalah sistem penanggalan kalangan santri yang sudah digunakan sejak masa Sultan Agung Mataram (w. 1645). Ini adalah metode hisab al-jumal, yaitu setiap huruf hijaiyyah memiliki nilai tertentu. Dalam f. 5r manuskrip Sloane 2645 (http://www.bl.uk/manuscripts/Viewer.aspx?ref=sloane_ms_2645_fs001r) kita menemukan simbol هدها yang kalau kita gunakan sistem hisab al-jumal susunan huruf tersebut menjadi 1545 tahun Jawa. Jika kita konversi ke tahun Masehi maka ditemukan tahun 1623/24 M.
Kata “Jasranga” yang dibaca oleh Bu T. Pudjiastuti nampaknya keliru, sebenarnya adalah “Jasragha”. Huruf ghain lebih jelas di bagian akhir dari kolofon ini. Artinya, ada empat huruf di sana, yaitu jim, sin, ra dan ghain yang membentuk جسرغ. Kita ubah ke dalam angka maka kita menemukan ghain = 1000, ra = 200, sin = 60, dan jim = 3. Jadi itu adalah tahun hijriyah 1263 hijriyah. Jika kita konversi ke tahun masehi kita akan menemukan tahun 1846/47 M.
Jika kita memperhatikan f. 1r yang mengandung iluminasi, kita melihat bahwa manuskrip Quran ini diklaim milik dari Pangeran Pakuningrat dari Keraton Sumenep pada tahun 1793. Bu Annabel Gallop (2017, 114) berdasarkan model iluminasi yang digunakan menyimpulkan bahwa tahun ini merujuk pada tahun Saka Jawa yang bila dikonversi menjadi tahun 1865 M. Bu Anabel bahkan menilai bahwa illuminasi ini dan penisbatannya kepada Keraton Sumenep tidaklah original.
Kita bisa mendukung kesimpulan Bu Annabel dari cara lain, yaitu kolofon asli yang ada di halaman terakhir itu. Kata “jasragha” menunjukkan bahwa penulisan mushaf al-Quran ini aslinya telah selesai di tahun 1263 H yang bertepatan dengan 1846/47 M di dusun Larangan kampung Puri oleh Abdul Lathif. Jadi tidak mungkin 1793 itu dinilai tahun masehi.
Tambahan lainnya adalah tentang kesimpulan “enhanced manuscript”. Manuskrip Qur’an ini menurut Bu Annabel baru dihiasi dengan iluminasi untuk meningkatkan harga jualnya saat akan dibeli British Library pada 2001. Jika demikian, orang yang menghiasi manuskrip ini bisa kita prediksikan mampu membaca jasragha pada kolofon asli. Atau paling tidak dia paham kapan sebenarnya manuskrip ini ditulis. Sehingga dia berusaha membuat kolofon di depan nampak masuk akal. Meskipun cukup tidak biasa menuliskan kolofon tahun Jawa dengan angka tanpa keterangan apa-apa seperti itu. Sehingga seorang bisa jadi diarahkan untuk membuat kesimpulan bahwa ada peralihan kepemilikan selama jeda waktu sekitar 19 tahun dari masa penyelesaian penulisan pada 1846 dari Abdul Lathif di desa Larangan ke tangan Pangeran Pakuningrat di Keraton Sumenep pada 1865. Namun dari hasil analisis mendalam Bu Annabel cerita di atas menjadi tidak perlu kita percayai.
No responses yet