Sanad Keilmuan atau transmisi keguruan yang tersambung ‘konon’ hingga Rasulullah atau Ulama Salaf dipercaya sebagai ‘jimat’ sakti. Setidaknya, ini sakti untuk dua proyek, yaitu; Pertama, menenggelincirkan psikologi ke-PeDe-an ustadz karbitan atau dai instan, khususnya pesohor/artis hijrah atau mualaf yang mendakwa diri sebagai pendakwah. Kedua, meneguhkan privilege sebagai kepanjangan yang terlegitimit secara keilmuan maupun ruhani. Kedua hal ini sangat penting, setidaknya untuk mengalihkan fanatisme massa (followers), dari si A ke si Sang Diri atau yang diidolakan. Yha, isinya berupa branding diri, idola dan kelompoknya. 

Ini realitas yang nyata di banyak tempat dan media. Bagi yang pro dengan narasi Sanad Keilmuan, ini penting agar seseorang tidak asal berfatwa, dan mengeksklusifkan mimbar Islam hanya boleh dinaiki oleh alumni pesantren. Adapun bagi yang kontra, dakwah Islam itu bisa dilakukan oleh setiap muslim, siapapun orangnya, dan bagaimanapun orangnya, lalu biarkan umat yg menilai dan memilih bebas. Masing-masing kelompok saling beradu argumen dan berdebat di banyak momen dan media. Yha, perlu juga sesekali membaca argumen mereka, lumayan untuk iseng-iseng, nambah wawasan sambil rehat santai.

Bola salju narasi sanad ini menggelinding, membesar, hingga pecah dan menyebar, dan juga menggelinding lagi, makin kemana-mana. Sehingga ini memunculkan fenomena unik di kalangan umat Islam Indonesia. Diantaranya, adalah; Alumni pesantren ramai-ramai membuka kajian kitab, khususnya secara online. Bahkan, guru sepuh dan dikeramatkan, juga ramai-ramai diseret-seret meng-onAir. 

Lalu, responnya adalah banyak orang awam ramai-ramai hadir, sebab terpelet narasi sanad ilmu, lalu mereka berpsikologi ‘sedang berguru kepada guru bersanad’. Yhah, mereka menikmatinya sambil leyeh-leyeh, atau sambil berkesibukan. Bahkan, sampainya ilmu agama kpd mereka, juga tergantung Paketan Kuota dan Moodnya. Semua itu bisa ‘diremot’. Sedangkan, para penceramah sibuk, yang tak sempat membaca kitab, menggunakan USB atau sejenisnya untuk merekam ‘gratisan’ bacaan kitab Sang Pengaku Bersanad, lalu memutar ulangnya saat senggang bersantai, lumayan buat amunisi bahan-baku ceramah. Lebih mudah, daripada beli buku dan baca jurnal, tidak perlu lagi hak ekslusifitas intelektual seseorang, copy-paste saja dengan memodifikasi kata dan retorika. Beres. Mudah.

Di sisi lain, ada juga fenomena berburu sanad, untuk dikoleksi, yhaa semacam kolektor begitu. Lumayan, ini baik untuk branding, tambahan biografi keilmuan, sekaligus deferensiasi pada banner, spanduk, dan pamflet yang terpajang fotonya. Para pemburu ini pun mengembara ke rumah-rumah ulama sepuh, atasnama silaturahmi dan ngalap berkah. Ulama dengan welas-asihnya memberikan seluruh hati kasihnya kepada mereka. Mereka mengatur-ngatur Sang Ulama; minta dibacakan satu hingga beberapa halaman kitab ini dan itu, lalu meminta sanad yg dimilikinya, dan doa, sudah itu saja.

Begitu pula, Sang kolektor sanad juga tidak segan-segan ‘memalak’ sanad para syeikh dari Arab atau negeri lainnya yang berkunjung ke Indonesia, lalu memintanya membacakan beberapa halaman saja demi sekedar formalitas ritual. Adapun, mengenai pemahaman dan kemengertian ilmu, yaa itu nomor kesekian, nanti-nanti lah, atau bisa memakai mesin terjemah semacan google translate, atau memberdayakan santri freshgraduate yang menganggur, kalau butuh nanti.

Ini mengingatkan kepada almaghfurlah guru kami Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub. Yakni, saat para santri telah menyelesaikan bacaannya atas kutubussittah (enam kitab primer Hadis Nabi) selama empat tahun, mereka menghadap (sowan), dengan maksud meminta sanad. Pakiai dengan penuh kasih menyampaikan; 

Bahwa Tradisi Sanad itu urgent, amat sangat penting, hanya hingga pada Sang Penulis Hadis dalam kitabnya, seperti Imam Al-Bukhari dengan kitab hadisnya, Imam Muslim ibn Hajaj dengan kitab hadisnya, Imam Abu Dawud dengan kitab hadisnya, dan seterusnya. Karena, sanad atau transmisi keguruan sang penulis kitab hingga Rasulullah itu jelas, clear bisa diteliti masing-masing rawinya. Ini pun juga karena dibantu oleh adanya kitab-kitab biografi para rawi yang jelas tercetak dan diakui ulama, seperti; kitab Al Ishabah karya Imam Ibnu Hajar untuk menelusuri Persona Sahabat, Kitab Siyar Alamin Nubala karya Imam Adz Dzahabi untuk biografi para perowi umumnya, Kitab Al Jarh wa at Tadil karya Imam Abdurrahman Ibn Abi Hatim Ar Razi untuk membaca kredibilitas dan kapabilitas Sang Rawi, dan lain-lain semacamnya. Sehingga, penelitiannya bisa terbilang ilmiah, bebas didiskusikan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Beliau menambahkan, adapun untuk sanad selanjutnya, yakni; dari kita (orang masa sekarang) hingga Sang Penulis kitab, yhaa itu biasa saja. Penting. Biasa saja. Anggap saja doa dan hadiah dari guru. Tidak usah berlebihan, apalagi menggebu-gebu.

Beliau menyampaikan demikian. Padahal, beliau bertahun-tahun lamanya nyantri di bawah asuhan Guru-Guru Agung Pesantren Tebuireng, lalu setelahnya juga duduk mengaji hadis berhadapan dengan mufti Saudi Arabia Syeikh Bin Bazz dan lainnya saat belajar di Saudi Arabia, hingga mulazamah mengaji kepada banyak ulama Syam dan India, khususnya saat doktoralnya di Universitas Nizamia Hederabad India. Bahkan, beliau diamanahi sebagai Imam Besar Istiqlal, sekaligus Syuriah bidang Fatwa di PBNU Jakarta.

Kemudia, beliau berpesan; istiqamah lah dalam belajar; baca dan pahami. Itu yang terpenting. Karena, itu nanti yang bermanfaat untuk menjawab tantangan zaman dan problematika kehidupan, khususnya ketika kalian dipercaya untuk membimbing masyarakat. Ingat,

نحن طلاب العلم الى يوم القيامة

Kita akan selalu sebagai santri, pengkaji ilmu, hingga hari kiamat. 

Apa yang disampaikan Bapak, begitu ibu Nyai menyarankan kami memanggil Pakiai, sepertinya sesuai dengan riwayat; 

فرب مبلغ اوعى من سامع 

Atau dalam riwayat lainnya

فرب حامل فقه الى من هو افقه منه,و رب حامل فقه ليس بفقيه

Yang keduanya, kira-kira maknanya; Banyak juga orang yang hanya disampaikan hadis (muballagh) kepadanya itu -malah- lebih memahami dan lebih mengerti daripada orang yang mendengar langsung dari Nabi ataupun dari sang periwayat (guru) hadis.

Olehkarenanya, tuntutan untuk lebih berguna dan bermanfaat adalah berlomba memahami dan mengerti, karena ini nantinya akan menjadi ilmu, dan memunculkan kemaslahatan serta menegaskan kemuliaan Islam. Sehingga, janganlah terperdaya dengan riya’ dan ujubnya kolektor sanad, dan jangan pula terhipnotis dengan rangkaian kata dan retorika para da’i karbitan itu. Semua harus berdasarkan memahami, mengerti dan mengilmui.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *