Oleh: Ashlih Atho’illah
Ada sebuah ungkapan dari Ali bin Abi Thalib yang cukup fenomenal mengenai pendidikan anak yakni: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian“. Dari hal tersebut kita bisa mengambil makna, bahwa masa ke masa sudah mulai berubah dari segi adat dan budaya. Jika kalian para orangtua berada di zaman belum adanya handphone dan anak-anak kalian lahir sudah berada pada era sekarang, yakni era modern akan digital yang di sebut dengan Era Society 5.0. Janganlah kalian para orang tua mendidik anak kalian seperti orang terdahulu mendidik kalian. Karena sudah berbedanya masa anak kalian lahir. Pelajarilah apa yang terdapat di Era modern sekarang, agar bisa memahami kondisi dan budaya di Era Modern ini.
Seiring berjalannya waktu, teknologi saat ini semakin berkembang. Salah satunya adalah society 5.0 yang digagas oleh negara Jepang. Apakah yang dimaksud dengan society 5.0? Society 5.0 merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang berbasis modern yang memanfaatkan teknologi internet of things seperti kecerdasan buatan (AI), komputerisasi, juga industry robot. Untuk itu kita harus mampu untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi saat ini.
Di tahun 2022, berdasarkan laporan dari perusahaan riset Data Reportal jumlah Handpone yang terkoneksi di Indonesia mencapai 370,1 juta. Dan Sebagian besar di gunakan oleh anak remaja dan anak usia dini. Kita juga sadar bahwa di dalam handpone banyak sekali hiburan media. Seperti Tiktok, Instagram, youtube Dll. Di dalam media tersebut banyak sekali konten-konten bermanfaat dan tak bermanfaat. Oleh karena itu sangat pentingnya peran orang tua mengawasi handpone anak. Terutama anak anak yang menginjak usia bermain, sangat rawan sekali, jikalau anak di biarkan bermain handpone tanpa pengawasan.
Jangan Sampai Komunikasi dengan Anak-anak Merenggang. Terlebih, mendidik di era digital saat ini di mana dunia maya seolah lebih nyata dari dunia nyata, komunikasi antar-anak dan orangtua tak sedikit yang merenggang. Mencari jawaban tersebut, tentunya, kita harus kembali kepada panutan kita Rosululloh SAW. Dimulai dari sikap dan tauladan Nabi Muhammad yang lembut dan penyayang. Sikap rahmah dan cinta kasih yang dicontohkan beliau tak hanya pada sebagian golongan tertentu saja, tetapi kepada semua umat dan golongan. Termasuk golongan anak-anak.
Suatu ketika Rosululloh menggendong cucunya lalu mengencingi bajunya. Abu Laila yang melihat kejadian itu kaget dan langsung berusaha merebut cucu rosul dari tangannya. Namun, Nabi tidak setuju untuk memberikan cucunya kepada Abu Laila, dan Nabi juga mengatakan bahwa Abu Laila tidak boleh berbicara dengan keras agar tidak menakuti anak-anak. Kemudian Rosul mengatakan “apapun yang mengotori bajunya bisa di cuci dan bersih. Tapi trauma anak kecil dari kata-kata kasar dan hardikan, belum tentu bisa hilang dalam waktu cepat”. Itulah Rosululloh, kelembutannya dalam pendidikan menjadi contoh. Ada baiknya kita berbicara dengan lembut bahkan saat kita sedang marah, bahkan saat membesarkan anak. Ini menghilangkan penghalang antara orang tua dan anak-anak.
Tak bisa di pungkiri maraknya game online dan media sosial tidak bisa dihindari akhir-akhir ini. Dunia digital kini bukan hanya milik orang dewasa, tapi juga anak-anak. Hal itu juga patut kita syukuri, karena ketika teknologi digunakan secara positif, memang menghasilkan hal-hal yang baik. Orang tua harus bisa menyaring konten-konten yang mudah merugikan anak berselancar di dunia maya. Ada baiknya semua orang tua mengajak anaknya untuk berkomunikasi kembali di ruang keluarga. Orangtua yang tidak mengetahui perkembangan anaknya, maka kepribadian anak ikut juga tidak diketahui, sehingga orangtua tidak pernah tepat untuk memperlakukan maupun mendidik anaknya.
Meski dunia digital tidak hanya memberikan dampak negatif, orang tua juga perlu mengecek dan mengetahui trik apa saja yang bisa digunakan untuk melatih anak. Anak-anak yang terpapar teknologi tanpa pengawasan mengalami stres. Hal ini bisa dipicu oleh keinginan untuk membandingkan diri dengan kondisi media sosial. Efek yang lebih berbahaya adalah anak-anak dapat kehilangan identitasnya. Masalah-masalah ini hanyalah salah satu dari banyak insiden yang benar-benar terjadi. Untuk menghindari dampak yang lebih buruk, orang tua harus siap. Salah satu caranya adalah dengan terus belajar dan belajar. Menjadi orang tua yang sempurna memang sulit, tetapi selalu berusaha melakukan yang terbaik bukanlah hal yang mustahil.
Bicaralah dengan lembut jika kalian para orang tua mencintai anak kalian. Mungkin ajaran Nabi tentang kasih sayang anak seakan menjungkirbalikkan kuasa ayah dan anak. Namun, tidak ada satu pun keturunan Nabi yang tidak menghormati dan mengabdi pada sosok yang dicintainya. Percayalah, cinta dan perhatian adalah bagian dari seni mengikuti jejak rasul. Ketika tidak ada pemisahan antara orang tua dan anak, anak akan lebih memilih menghabiskan waktu bersama orang tuanya di dunia nyata daripada di dunia maya. Semoga dengan setiap nikmat dan karunia yang Alloh SWT berikan kepada kita (anak-anak), bisa menjadi surga bagi kita semua. Amin ya robbal alamin.
REFERENSI
Faziyah, Muidatul, ‘Konsep Hadits Tentang Parenting Terhadap Kepribadian Anak Di TK Awliya Cirebon’, 8.1 (2020), 105–16
Aslan, Aslan, ‘Peran Pola Asuh Orangtua Di Era Digital’, Jurnal Studia Insania, 7.1 (2019), 20 <https://doi.org/10.18592/jsi.v7i1.2269>
No responses yet