Resensi Buku Jejaring Ulama Diponegoro di Koran Sindo, 22 September 2019
Di tengah kecenderungan menguatnya isu-isu radikalisme yang terkait gerakan trans nasional, politik identitas, serta belum tuntasnya pertanyaan seputar hubungan antara agama dan negara, terasa sangat penting menyimak isi buku “Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19” yang ditulis Zainul Milal Bizawie.
Di dalam buku yang diluncurkan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada 25 Juli lalu ini terpapar sebuah jawaban tentang betapa sungguh beralasannya mereka yang khawatir terhadap kekuatan Islam beserta gerakannya di ranah politik. Toh, melalui spektrum perjuangan Pangeran Diponegoro yang merupakan ulama, pengikut tarekat syattariyah, kaum terdidik, dan bangsawan, penulis menyuguhkan potret Islam yang revolusioner, memiliki dukungan sangat luas, tapi juga teduh serta nasionalis meski gerakan itu dapat dikaitkan dengan gerakan di luar nusantara.
Paparan sejarah setebal 439 halaman ini seakan hendak mengingatkan kembali perihal keharmonisan pola hubungan antara agama (Islam) dan negara. Jelas bahwa politik memang tidak bisa dipisahkan dengan agama. Selain bukan dua kutub yang harus dibenturkan, agama justru terbukti dapat memainkan peran strategis untuk kepentingan negara dan paling mampu mengisi ruang-ruang yang tidak bisa dijangkau kekuasaan terhadap sisi paling rahasia pada diri setiap warga.
Melalui kiprah pahlawan nasional yang juga dikenal dengan nama Sultan Abdul Hamid Herucokro ini, penulis yang memetakan jejaring, memperhatikan transmisi ideologi dan kultural mendapati bahwa wajah Islam di Nusantara memang khas.
Sambil mengkritik pandangan orientalis yang melihat Islam di Nusantara sebagai singkretis serta jauh dari bentuk asli yang berkembang di pusatnya di Timur Tengah, menurut Zainul Milal Bizawie, “Karakteristik Islam di Nusantara justru layak dijadikan model dan cara pandang membangun dan mengkaji berbagai persoalan dunia.” (Hal 18.)
Narasi dalam Perang Jawa
Setidaknya ada tiga hal yang bisa dicatat sebagai kunci keberhasilan Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa dan kaitannya dengan konteks gerakan kekinian. Kunci-kunci ini penting untuk dipelajari mengingat Perang yang berlangsung sejak 1825-1830 M ini merupakan perlawanan terbesar masyarakat Jawa yang amat merepotkan dan menguras kas penguasa kolonial Belanda. Dari sesama anak bangsa pun Pangeran Diponegoro harus berhadapan dengan kraton-kraton yang telah dikuasai penjajah.
_Pertama_ , jejaring ulama santri yang sejak lama dibangun dan dibina Pangeran Diponegoro sehingga dukungan meluas di tanah Jawa. Bahasan ini bahkan menjadi perhatian utama penulis yang mengurai secara rinci hingga jejaring itu terbentuk, baik karena garis keturunan, hubungan guru murid (sanad keilmuan), hubungan menantu, maupun perjuangan. Termasuk jaringan dengan Turki Utsmani yang dapat dilacak dari taktik perjuangan dan penamaan laskar.
Jejaring santri ini pula yang terus bergerak meski karena penghianatan tokoh utama akhirnya ditangkap dan dibuang ke Makassar. Bahkan keluarga, para pendukung, santri, panglima perang yang menghindari kejaran Belanda paska penangkapan kemudian menyebar dan mengubah strategi perjuangan dengan mendirikan pesantren-pesantren untuk mencetak kader-kader penerus.
Dengan merunut garis kedekatan disertai jejak-jejak keterhubungan dengan Pangeran Diponegoro, penulis menunjukkan bahwa dari strategi itulah kemudian benar-benar terlahir tokoh-tokoh pergerakan periode berikutnya, salah satunya KH. Hasyim Asy’ari yang mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
_Kedua_ , literasi. Tidak dapat dinafikan bahwa kantong-kantong dukungan perjuangan berasal dari pondok-pondok pesantren. Secara historis, kemunculannya memang turut dipicu oleh kegelisahan para ulama mengingat kraton telah dikendalikan Belanda. Para alim keluar istana, lalu mendirikan pesantren untuk mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas. Pendidikan membuat mereka melek.
_Ketiga_ , kejelian Pangeran Diponegoro menjadikan unsur ketaatan pada agama dan penghormatan budaya Jawa sebagai isu bersama untuk mempertaruhkan harta dan nyawa. Opini negatif yang disebarkan Belanda beserta kraton-kraton pendukungnya tidak mampu menepis keyakinan pendukung Sang Pangeran yang menafsirkan penggusuran patok (nisan) sebagai penghinaan yang tidak dapat diterima.
“Narasi ini cukup berhasil membuat kalangan santri terlibat penuh bahkan setelah perang usai, mereka masih merasa mendapatkan legitimasi historis dan memegang takdir untuk meneruskan perjuangannya.” (Hal. 367).
Di sinilah urgensi seorang pemimpin dan para elit. Mereka harus mengolah isu yang tepat agar dapat mengikat loyalitas dan menggerakkan pendukung-pendukungnya. Meskipun, dalam perjalanan perjuangannya terjadi juga perdebatan yang ingin menggali motif sesungguhnya di balik perlawanan Pangeran Diponegoro: sungguh ingin mendirikan balad (negara) Islam atau semata-mata karena ingin menjadi Raja Jawa?
Perlu Musuh Bersama?
Argumentasi yang menegaskan bahwa “ _imagined community_ ” tumbuh karena kedzaliman penguasa kolonial menjadi musuh bersama, tetap sulit diabaikan sebagai faktor yang memengaruhi karakter masa lalu. Konteks awal abad ke-19 tentu mengalami perbedaan dengan periode-periode berikutnya. Maka, apa yang harus dilakukan umat agama (Islam) sekarang, ketika republik ini telah diproklamirkan dan tidak ada lagi penjajahan fisik sementara aneka pengelompokan menjadi bagian inheren bangsa Indonesia?
Seperti penulis utarakan di bagian awal, buku terbaru ini pun diposisikan sebagai pelengkap “Masterpiece Islam Nusantara” yang telah diterbitkan sebelumnya, yang berusaha menampilkan wajah khas Islam di Indonesia. Semoga jawaban tersebut kelak bisa semakin diungkapkan penulis dalam buku-buku hasil kajian berikutnya. (*)
*Peresensi: Wuri Damanhuri, Lulusan Program Magister Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia*
*BUKU : Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19*
*Penulis : Zainul Milal Bizawie*
*Penerbit : Pustaka Compass, 2019*
*Halaman : xxiii + 439 halaman*
3 Responses