Catatan : Muhammad Munir

Annangguru Dr. KH. Wajidi Sayadi, M.Ag. Demikian nama lengkap sosok yang kali ini membedah bukunya di Masjid Raya Campalagian. Bagi warga dan jamaah, ini kali kesekian beliau berada di Masjid ini dalam berbagai acara diskusi dan dialog maupun memberikan kajian pada santri. Tapi hari ini (13 September 2019) adalah kali pertama pria kelahiran 11 April 1967 (Ijazah, 12 Maret 1968) ini membedah bukunya terkait terkait Jaringan Ulama Campalagian. Wajidi Sayadi memang salah satu tokoh yang saat ini intens melakukan kajian dan menuliskan jejak annangguru di Campalagian mulai dari pendirian masjid pertama di Banua, proses pemindahan masjid dari Banua Desa Parappe ke Kappung Masigi Desa Bonde sampai pada masa pengembangannya, dimana beliau merupakan satu dari sekian ulama ikut menjadi pelaku utama dalam pengembangan itu.

Durasi waktu 40 menit yang diberikan oleh Moderator dimanfaatkannya untuk memberikan uraian singkat terkait bukunya. Lebih awal beliau sampaikan bahwa buku berjudul “Jaringan Ulama” ini pada dasarnya belum layak disebut sebuah buku yang ditulis dengan segala persiapan sumber dan referensi, melainkan sebuah catatan kecil di media sosial, yakni facebook. Hal tersebut muncul secara spontanitas sebagai respon dan apresiasi terhadap situasi dan perkembangan, khususnya ketika bangunan Masjid Raya Campalagian dirobohkan untuk selanjutnya akan dibangun lebih megah (baca hal.1).
“Terhitung 1 Muharam 1439 H/4 Oktober 2017 saya mulai menulis menggerakkan tangan memencet huruf demi huruf, kata dan kalimat hinga terangkai menjadi suatu catatan yang hanpir setiap hari saya saya lahirkan. Tulisan-tulisan di medsos itu mendapat banyak respon hingga saya harus menuliskannya dalam bentuk berseri. Tulisan-tulisan berseri di facebook itu ternyata sampai 100 halaman. Dari catatan itulah lahir buku ini….”. Tutur Wajidi berkisah.

Hukum Islam di Campalagian” yang ternyata mendapatkan sertifikat kelulusan. Dalam karya tulis itu hampir semua yang termuat adalah bersumber dari penuturan KH. Muhammad Zein atau Pukkali Buta. Hal sama juga dilakukan oleh H. Urwah Muhammadiyah yang menulis skripsi mengenai Peran KH. Maddappungan Dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Campalagian.

Lebih lanjut Annangguru menjelaskan bahwa tradisi keilmuan dikalangan ulama sepanjang sejarah Islam berkaitan erat dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan pendidikan, seperti masjid, madrasah, ribath dan bahkan rumah guru. Ini merupakan pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang juga menjadi dosen saya dalam mata kuliah Sejarah Islam pada program Pendidikan Kader Ulama MUI Pusat di Jakarta. Pernyataan tersebut beliau ungkapkan saat mengampu mata kuliah Kajian Islam Komprehensif di Program Pasca Sarsajana IAIN Pontianak.

Apa yang dikatakan oleh Prof. Azyumardi Azra, seperti yang dikutif oleh Annanggur Wajidi tersebut telah terjadi di Campalagian, yakni di Masjid Raya Campalagian. Dan ternyata inilah yang menjadi satu alasan mengapa Campalagian menjadi sentral atau pusat jaringan yang menghubungkan antar satu ulama dengan ulama lainnya. Di Campalagian, selain Madrasah Arabiyah Islamiyah yang pembinaan dan pendidikannya lebih luas dan leluasa, di setiap rumah kiyai atau annangguru juga sangat kental dengan model pengajian sistem sorongan, termasuk di rumah-rumah wakaf yang disediakan oleh warga setempat sebagai apresiasi dukungan kesenangan atas datangnya para santri yang berasal dari luar.
Dan yang terjadi di Campalagian itu tidaklah terbatas pada wilayah lokal saja, melainkan skala nasional bahkan internasional yang terhubung langsung dengan jaringan ulama Mekah dan Yaman.

Jaringan ulama dari berbagai wilayah baik dalam negeri maupun diluar negeri ini akarnya tentu saja tertaut dengan hubungan dakwah (spiritual) dan hubungan dagang (ekonomi) yang memang tak bisa lepas, disamping kajian keilmuan (pendidikan). Hal lain yang menjadi akar jaringan ulama di Campalagian ini terbangun adalah hubungan antara guru dan murid, hubungan pernikahan antara menantu dan mertua bahkan ada jaringan yang berhubungan dengan politik terkait pengasingan dan pelarian dari wilayah lain. Peristiwa terbentuknya nama Campalagian dan kedatangan marga Yamani ke Campalagian lebih disebabkan oleh persoalan politik, pelarian dari wilayah asalnya.

Dalam buku Annangguru Wajidi dijelaskan enam poin yang menjadi motivasi terbentuknya jaringan ulama itu, yakni: Pertama, Hubungan semangat dakwah. Ini terjadi pada diri Syekh Abdul Karim yang bertemu dengan Annangguru Kayyang atas bantuan dan fasilitas H. Pua Muriba sehingga Syekh Abdul Karim berada di campalagian. Ajakan itu didasarkan pada kondisi Campalagian yang memerlukan lebih banyak annangguru yang bisa membimbing masyarakat terkait masalah agama yang saat itu belum banyak difahami oleh sebagian besar masyarakat. Hal sama juga terjadi kepada Habib Alwi bin Abdillah Bin Sahl Jamalullail. Habib Alwi ini adalah putra dari Habib Alwy bin Husein bin Hasan Al-Attas yang pertama ke Mandar (Manjopai). Ia merupakan putra dari marga bin Sahl Jamalullail yang bernama Abdillah bin Husain bin Sahl Jamalullail yang menikah dengan salah seorang putri keraton Solo yang bernama Raden Ayu Bibah Patilasang. Dari Pasangan inilah lahir Habib Alwi bin Abdillah (Idham, 2018).

Dalam buku Varian Khazanah Keagamaan, 2018 dijelaskan bahwa dijelaskan bahwa Habib Alwi ini mengikuti jejak bapaknya sebagai pendakwah. Ia memilih berdakwah dari Jawa hingga ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dari sinilah ia bertemu dengan nelayan Mandar dan mengajaknya ke Mandar untuk berdakwah. Aawalnya Ia tidak tahu dimana itu Mandar, namun karena ajakan tersebut, Ia lalu salat istikharah dan dalam petunjuknya itu mendapat petunjuk yang baik. Berangkatlah ia ke Mandar bersama dengan nelayan itu. Kedatangan pertamanya di Mandar adalah Manjopai, Desa Karama, salah satu daerah pesisir yang dihuni oleh para nelayan.

Menurut sejarahnya, Habib Alwi bin Abdillah Bin Sahl Jamalullail menikah dengan salah seorang putri bangsawan di Balanipa. Ia menikah dengan salah seorang anak dari mara’dia bernama Maniayah. Pernikahan ini melahirkan turunan yang menjadi pertalian antara seorang sayyid dan bangsawan Mandar. Mereka berdua memiliki dua orang putri yang bernama Syarifah Rugaiyah dan Syarifah Intan. Syarifah Rugaiyah inilah yang kemudian menikah dengan salah seorang marga Al-Attas yang datang dari Balanipa Sinjai yang bernama Habib Alwi bin Husain Al-Attas. Jadi antara menantu dan mertua memiliki nama yang sama, namun dengan marga yang berbeda. Setelah Habib Alwi bin Abdillah bin Sahl Jamalullail memiliki anak di Manjopaj, Ia kemudian berpindah ke daerah Pambusuang. Tempatnya tidaklah terlalu jauh dari Manjopai, hanya sekitar tujuh km. Ia kemudian menikah dengan salah seorang perempuan Pambusuang.

Dari pernikahan tersebut kemudian melahirkan seorang ulama besar juga yang bernama Habib Hasan Jamalullail Puang Lero. Ia lama berdakwah di Pambusang. Ia juga mengirim anaknya ke Mekah untuk memperdalam ilmu Islam. Di Pambusuang, ia diajak salah seorang muridnya yang bernama K.H. Muhammad Tahir untuk datang ke Campalagian untuk berdakwah. Di Campalagian itu pula ia kembali menikah hingga akhirnya meninggal disana dan dimakamkan di dalam Masjid Besar Campalagian yang bertempat di Desa Bonde (Idham: Varian Khazanah Keagamaan, 2018 hal.14).(Bersambung)

sumber: FB Mandar studies

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *