Semua Muslim saat ini percaya hanya ada satu Tuhan, sebagian mereka kekeh menggunakan nama Allah, tapi sebagian lagi memanggilnya dengan nama-nama dalam bahasa ibu mereka, seperti God, Tuhan, Dieu, dan sebagainya, selain nama Allah.
Tapi sebetulnya di kalangan ulama Muslim sendiri, dari dulu sampai sekarang, memahami Allah berbeda-beda. Siapa hakikat Allah, apa itu zat Allah, apa saja sifat-sifat Allah dan bagaimana perbuatannya. Sebagian umat Islam memahami sifat marah Allah lebih kuat dan dominan dari sifat penyayang. Sebagian lagi menerakan keMahaPenyayang Allah dalam setiap keadaan manusia siapapun dan alam semesta.
Perbedaan itu, singkatnya begini:
Sebagian ulama, yang biasanya disebut sebagai ulama kalam, atau mutakallimun, memahami Allah secara berbeda dan bahkan saling mengeritik satu sama lain.
Keesaan Allah, seperti dalam Surat Al-Ikhlash dan berbagai surat lain, juga dipahami berbeda-beda. Misalnya, menurut kalangan Ash’ariyah dan Ma’turidiyyah, sifat-sifat Allah itu abadi. Sifat-sifat itu tidak sekedar majazi atau simbolik, tapi juga tidak harfiyyah. Sifat-sifat Allah yang seperti sifat manusia (antropomorfis), seperti Allah Maha Melihat, Mendengar, Duduk di Kursi, dan lain-lain, tidak mungkin dipahami sempurna oleh manusia. Meskipun keberadaan Allah mungkin diketahui akal manusia, manusia tidak dapat memenuhi sifat-sifat Allah secara sempurna. Allah di atas Singgasana artinya Allah tidak berhubungan dengan tempat apapun.
Kaum Mutazilah menolak sifat-sifat Allah yang seperti sifat manusia karena Allah harusnya benar-benar beda. Jika Allah punya sifat-sifat itu maka berarti Allah memiliki kesamaan dengan ciptaan-Nya. Penggambaran sifat-sifat Allah dalam Al-Quran menurut mereka harus dipahami secara majazi atau alegoris, tidak harfiyyah. Allah Maha Tahu itulah zatnya. Dan Pengetahuan Allah tidaklah abadi karena jika Pengetahuan itu abadi maka ada lebih dari satu zat Allah. Kaum Mutazilah memahami tauhid lebih ketat untuk menjaga kemurnian keesaan Allah ketimbang kaum Ash’ariyah.
Kalangan Syiah, Allah itu transendental atau diatas jangkauan manusia dan tidak dapat diketahui hakikat zatnya. Allah adalah Kesempurnaan. Sifat-sifat Allah itu terpancar dari zat-Nya, bukan milik Allah.
Kalangan Sufi memahami Allah bersifat sekaligus transendental diluar jangkauan manusia dan dalam jangkauan manusia, ada di dalam hati setiap manusia dan ciptaan-Nya. Bahkan ada pemahaman bahwa segala sesuatu yang ada adalah Allah. Atau setidaknya, dari Allahlah segala sesuatu memancar, meskipun Pencipta dan Ciptaan tetap memiliki perbedaan.
Ada lagi kalangan Muslim, seperti kaum Wahabi, yang memahami Allah, apa adanya, tanpa banyak bertanya bagaimananya. Dan mereka melarang memikirkan Allah, mengecam siapa saja yang mendiskusikan Allah. Dan apa saja pikiran kita selain Allah bisa terjerumus pada syirik, penyekutuan Allah.
Individu Muslim dan kelompok Muslim saat ini, juga memahami dan menafsirkan Allah secara berbeda-beda meskipun mereka merujuk ayat-ayat Al-Quran yang sama. Bahkan di Indonesia, Allah dipahami dalam konteks bahasa Sansekerta Hindu Buddha: Tuhan dam Esa. Tauhid di Indonesia dibahas dalam konteks Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, tentu saja sangat berbeda dengan pemahaman tauhid Muslim di Saudi Arabia, Iran, atau bahkan di Malaysia sekalipun.
No responses yet