Seorang perempuan bertubuh sintal, berwajah oval. Rambutnya lurus sebahu ditutup kerudung pasmina lusuh, duduk di sudut ruang tamu Kyai Qodir yang dipadati tamu. Para tamu itu sedang antri meminta doa sang kyai. Ada pejabat, birokrat, politisi, aparat, konglomerat sampai pedagang asongan.
Kyai Qodir adalah seorang sufi yang terkenal manjur doanya. Banyak bejabat dan aparat naik pangkat berkat doanya. Banyak pedagang dan pengusaha sukses karena berkahnya. Beliau tak pernah menolak tamu, semua yang datang minta doa dilayani dengan tulus sekalipun seorang bromocorah ahli maksiat dan pejabat bejat pemakan uang rakyat
Setelah antrian tamu terakhir perempuan cantik berwajah menarik itu mulai bergeser, mendekat ke Kyai Qadir. Jantungnya berdegup kencang, lidahnya kelu berucap. Ada pergulatan batin yang dahsyat dalam dirinya. Perlahan dia kumpulkan keberanian unt menyusun kata.
“Ada perlu apa nduk” sapa Kyai Qadir.
Suara itu begitu lembut, namun terasa menggelegar bagai geledek di telinga perempuan cantik yang sedang galau, sehingga membuyarkan konsentrasinya.
“Mau minta doa, kyai” jawabnya spontan di luar kendali kesadarannya
“Doa Apa?”
“Doa supaya dagangan saya laris”
“Kamu jualan apa?”
Dada perempuan cantik itu kembali bergemuruh, antara takut, malu, ragu dan khawatir berbaur jadi satu. Tapi dia coba tegar
” saya jualan sangkar burung kyai” jawabnya sambil bergetar
“Di mana kamu jualan?” Tanya kyai Qadir lembut
“Di Dolly kyai” jawab perempuan itu tertunduk. Kerudung pasmina penutup tambut melorot hingga rambutnya yg pirang karena cat itu terlihat telanjang
Kyai Qadir menatap perempuan itu dalam-dalam. Dia mulai faham perempuan cantik ini adalah seorang pelacur, penjaja cinta. Perempuan ini minta doa agar dirinya laris menjadi pelacur.
“Mengapa kamu jualan sangkar burung nduk” tanya Kyai Qadir dengan tatapan lembut penuh kasih
“Saya harus menanggung tiga anak yang masih kecil-kecil dan seorang ibu yang dalam keadaan sakit. Suami pergi menghilang entah kemana, sudah setahun lebih tak ada kabar. Saya tidak punya apa-apa kecuali tubuh ini kyai. Saya juga tak punya ketrampilan kerja yang bisa mencukupi kebutuhan hidup. Satu-satunya kerja yang saya bisa hanya jual diri”
Kyai Qadir kembali menatap perempuan itu dalam-dalam. Hening….
“Ya sudah mari berdoa semoga daganganmu laris” ucap Kyai Qadir sambil mengangkat tangan.
Perempuan pelacur itu tergagap, keraguan dan ketakutannya seketika ambyar. Kekhawatiran akan adanya caci maki dan sumpah serapah hilang musnah. Dia tidak mengira Kyai Qadir akan begitu mudah mendoakannya. Bayangan mengenai agama yang kejam, moralis, dan penuh dengan ancaman siksa tiba-tiba sirna.
“Al faatehah… qabul” demikian Kyai Qadir menutup doa sambil meraupkan kedua tangan ke wajah.
Tak ada ceramah menasehati perempuan yang jadi pelacur itu, tak ada ajakan untuk tobat apalagi perintah melakukan hijrah. Kyai Qadir melepas kepergian perempuan malang penjual sangkar burung itu dengan doa tulus
Selang dua minggu perempuan itu datang kembali menemui Kyai Qadir. Seperti pada saat dia datang pertama kali, dia duduk di pojok menunggu antrian terakhir. Saat semua tamu sudah pulang dia menghadap Kyai Qadir.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini dia datang dengan penuh percaya diri dan perasaan tegar. Kyai Qadir masih hafal dengan wajah perempuan ini. Segera saja Kyai Qadir menyapa:
“Ada apa lagi nduk, apakah doanya kemarin kurang manjur”
“Mboten pak kyai malah terlalu manjur”
“Lha terus… sekarang mau apa?”
“Saya mau pamit berhenti jualan sangkar burung kyai. Saya tidak kuat lagi melayani tamu 10 sd 15 orang sehari. Selama dua minggu badan saya remuk, karena doa pak kyai yang terlalu manjur”.
“Lha terus untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dan ibumu yang sakit bagaimana?” Tanya Kyai Qadir penuh perhatian.
“Saya mau buka warung, kyai. Sudah ada sedikit modal dari pendapatan jual sangkar burung selama dua minggu ini”
“Alhamdulillah….” jawab Kyai Qadir lega.
“Ya sudah sekarang saya doakan semoga warungmu laris dan bisa menjadi jalannya rejeki. Insya Allah berkah. Modal haram jadi halal karena darurat… Qabul….”
Doa-doa penuh kasih mengantarkan pertaubatan sang perempuan penjual sangkar burung. Tanpa khotbah, caci maki dan intimidasi atas nama syariat Islam.
No responses yet