Oleh: Salfanindita Aiskha Dharmadi
- Latar Belakang
Pernikahan adalah salah satu momen penting dalam perjalanan hidup manusia.
Ikatan antara seorang pria dan seorang wanita tidak hanya berdampak pada
kehidupan mereka secara pribadi, tetapi juga memberikan pengaruh pada keluarga
masing-masing, masyarakat, serta harta benda yang diperoleh, baik sebelum maupun
selama pernikahan berlangsung. Setiap individu memiliki hak asasi untuk
melanjutkan keturunannya melalui pernikahan, yang di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan budaya dan tradisi yang kaya.
Agama Islam menekankan bahwa pernikahan adalah satu-satunya bentuk
kedinamisan hidup berpasangan yang diizinkan dan dianjurkan untuk membangun
keluarga. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
khususnya pasal 1, tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan abadi, yang berlandaskan pada prinsip KeTuhanan Yang
Maha Esa. Untuk mencapai tujuan ini, salah satu prinsip yang diatur dalam undang-
undang tersebut adalah bahwa calon suami dan istri harus memiliki kesiapan jiwa
dan raganya. Hal ini penting agar pernikahan dapat berlangsung dengan baik,
mengurangi risiko perceraian, dan menghasilkan keturunan yang sehat dan
berkualitas (B, 2021) .
Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat adanya peningkatan tren pernikahan
dini di kalangan remaja Muslim. Fenomena ini semakin banyak dipandang sebagai
solusi untuk menghadapi berbagai masalah sosial yang ada. Salah satu masalah
tersebut berkaitan dengan gharizatun nau’ atau naluri untuk melanjutkan keturunan,
yang muncul dalam konteks masyarakat sekuler dan liberal.
Ada dua faktor sosial utama yang melatarbelakangi munculnya masalah ini.
Pertama, masyarakat sekuler liberal menawarkan berbagai stimulus yang dapat
membangkitkan nafsu seksual, baik melalui realitas sosial yang negatif seperti
pergaulan bebas dan prostitusi, maupun lewat media yang merangsang hasrat rendah,
seperti film, VCD, tabloid, novel, dan internet. Kedua, terdapat kebijakan atau
program nasional yang cenderung “memaksa” para pemuda untuk menunda
pernikahan demi mengontrol jumlah penduduk, dengan alasan bahwa populasi yang
besar dapat meningkatkan berbagai kebutuhan, sedangkan sumber daya untuk
memenuhinya dikatakan sangat terbatas (Khasanah, 2014) .
Pernikahan dini merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia,
seringkali disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya dorongan
untuk menikah di usia muda. Banyak orang beranggapan bahwa keputusan untuk
menikah di usia dini diambil karena mayoritas masyarakat di sekitarnya juga
melakukan hal yang sama. Dengan menikah muda, mereka merasa dapat
menyalurkan berbagai keinginan dan hasrat mereka, meskipun pada kenyataannya
masih ada banyak kewajiban yang belum terselesaikan. Inilah yang menjadikan
pernikahan dini menjadi pilihan bagi banyak individu di Indonesia, demi mencapai
tujuan dan keinginan meski dalam keadaan yang belum sepenuhnya matang.
Kesehatan mental masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab
penurunan produktivitas sumber daya manusia di Indonesia. Salah satu kontribusi
terbesar terhadap masalah ini diduga berasal dari tingginya angka pernikahan usia
dini di negara ini. Selain berdampak pada kesehatan mental, pernikahan dini juga
berperan dalam meningkatnya angka stunting di Indonesia. Fenomena ini sangat
mencolok, terutama di daerah pedesaan, di mana budaya “pecah perawan” masih
dijunjung tinggi dan menjadi salah satu faktor penting dalam pernikahan anak. Hal
ini terjadi karena perkembangan biologis dan psikologis yang belum optimal,
ditambah dengan kondisi ekonomi yang belum mapan dan rendahnya tingkat
pendidikan di kalangan mereka (Hamdan et al., 2023) .
Pemerintah terus berupaya menurunkan angka pernikahan dini di Indonesia.
Dari tahun 2021 hingga 2022, tercatat penurunan sebanyak sepuluh ribu kasus.
Namun, saat ini tampaknya angka tersebut kembali mengalami peningkatan,
meskipun hal ini belum dilaporkan secara resmi.
- Pembahasan
Pernikahan dini, menurut WHO, merujuk pada pernikahan yang dilakukan oleh
pasangan di mana salah satu di antara mereka berusia di bawah 19 tahun. Fenomena
ini masih cukup umum di berbagai wilayah di Indonesia. Berdasarkan kajian
mengenai perkawinan usia anak di Indonesia, pernikahan dini turut berkontribusi
pada tingginya angka kematian ibu dan anak. Hal ini disebabkan oleh
ketidakmatangan reproduksi perempuan yang menikah sebelum usia 20 tahun, serta
berbagai risiko kesehatan yang terkait dengan kehamilan di usia tersebut, seperti
pendarahan, preeklamsia, anemia, dan masalah kesehatan lainnya (Jureid et al.,
2013) .
Pernikahan dalam Islam sangat dianjurkan bagi umat manusia sebagai bentuk
ibadah kepada Allah Swt dan untuk menjalankan sunah Nabi. Di masa lalu,
pernikahan usia dini tidak terlalu dipermasalahkan. Namun, saat ini, pernikahan di
usia muda mulai mendapatkan perhatian khusus untuk menjaga kesehatan mental dan
keharmonisan keluarga. Pernikahan di usia muda dapat berpengaruh pada kesiapan
mental sepasang suami-istri dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Terkadang,
muncul egoisme antara pasangan yang disebabkan oleh kurangnya persiapan untuk
mengambil langkah lebih jauh menjadi orangtua. Padahal, pernikahan seharusnya
dilandasi oleh kesiapan dalam hal ilmu, bekal, dan mental. Dengan mempersiapkan
semua itu, diharapkan konflik antara suami-istri dapat diminimalisir, sehingga
mencegah perpecahan yang berujung pada perceraian.
2.1 Tinjauan Teologis Nikah Muda
Dalam perspektif teologis, sebagian orang tua mengaitkan praktik pernikahan
muda dengan apa yang tertuang dalam Surah An-Nur ayat 32 dari Al-Qur’an:
Artinya: “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan
juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki
maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”
Ayat tersebut menjelaskan usia di mana seseorang dianggap ‘layak’ untuk
menikah. Karena itu, masyarakat sangat menjunjung tinggi ayat ini sebagai upaya
untuk menghindari fenomena pernikahan dini, dengan menekankan pentingnya
kesiapan dalam aspek materi dan faktor lainnya (Aiman et al., 2023) .
Pengaruh pernikahan dini tidak hanya dirasakan oleh keluarga, tetapi juga oleh
masyarakat di sekitarnya. Pernikahan muda menyoroti betapa pentingnya
kompetensi emosional bagi calon pasangan suami istri. Pasangan yang tidak
memiliki strategi efektif dalam mengelola emosi mereka sering kali terjebak dalam
lingkaran kekerasan rumah tangga. Rata-rata, pasangan yang menikah muda belum
sepenuhnya memahami emosi satu sama lain; mereka cenderung fokus pada
kesenangan semata. Kurangnya rasa empati dan kepekaan terhadap kondisi
pasangan sering kali membuat mereka terkejut ketika akhirnya menyadari
ketidaksempurnaan pasangan yang selama ini mereka abaikan.
2.2 Dampak Sosial Pernikahan Dini
Ada beberapa alasan yang mendorong remaja putri untuk menikah di usia dini.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah keinginan pribadi, kehamilan di luar nikah,
dan kondisi keluarga. Sebagian besar perempuan yang menikah sebelum usia 18
tahun berasal dari keluarga yang tergolong miskin, bahkan di bawah garis
kemiskinan. Secara mengejutkan, hampir 80% anak perempuan mengalami
kekerasan dalam rumah tangga, seperti dipukuli, ditampar, atau diancam, yang
disertai dengan berbagai masalah kesehatan (Itares, 2015) .
Dalam upaya membangun keluarga yang harmonis, Allah SWT telah
menetapkan hak dan kewajiban baik bagi istri maupun suami. Hal ini dijelaskan
dengan jelas dalam Surah Al-Baqarah ayat 228:
Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya.”
Berdasarkan ayat tersebut, dijelaskan bahwa seorang istri seharusnya mampu
mengetahui, memahami, dan melaksanakan hak serta kewajibannya dalam rumah
tangga demi menciptakan keluarga yang harmonis.
Usia remaja sering kali ditandai dengan kesulitan dalam berinteraksi sosial. Pada
tahap ini, mereka mungkin merasa canggung dan malu untuk menyapa atau bekerja
sama dengan orang lain, terutama dengan orang yang lebih tua. Oleh karena itu,
remaja cenderung lebih nyaman bergaul dengan teman sebaya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa remaja masih mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan sosial mereka secara optimal.
2.3 Dampak Psikologi Pada Mental Saat Pernikahan Dini
Secara psikologis, batasan usia untuk menikah memerlukan kematangan jiwa
dan pola pikir yang baik, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan
mental pasangan suami istri. Diskusi mengenai usia dalam pernikahan ini berkaitan
dengan ayat Q. S. An-Nisa [4:6], sebagai berikut:
Artinya: “ Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika
cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai
(mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu
memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu
menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada
mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas.”
Pasangan yang menikah di usia muda sering kali mengalami penurunan
kesehatan mental akibat berbagai masalah yang dihadapi, seperti pertengkaran yang
sering terjadi. Situasi ini dapat memicu emosi yang memuncak dan, dalam beberapa
kasus, berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dampak dari kondisi
ini membuat mereka merasa takut untuk melanjutkan kehidupan berumah tangga,
bahkan sering kali mengakibatkan penurunan semangat dan keengganan untuk
bersama lagi.
Dukungan dari orang tua sangat penting bagi pasangan muda ini, karena peran
orang tua krusial dalam proses perkembangan anak dalam berbagai aspek, termasuk
fisik, intelektual, emosional, moral, kepribadian, dan spiritual. Selain itu, pasangan
yang menikah di usia muda juga menghadapi tantangan biologis, terutama saat
hamil dan melahirkan. Mereka berisiko mengalami masalah seperti bayi berat lahir
rendah (BBLR), anemia, dan hipertensi, karena fungsi reproduksi mereka mungkin
belum sepenuhnya siap untuk menjalani kehamilan dan persalinan. Secara biologis,
alat reproduksi wanita yang masih dalam tahap perkembangan dapat membuat
mereka tidak siap menghadapi kehamilan, meskipun secara fisik dalam keadaan
sehat. Sayangnya, banyak pasangan yang menikah di usia dini tidak menyadari
risiko-risiko ini, yang pada akhirnya dapat berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan
bayi (Sari et al., 2020) .
Dalam kehidupan berumah tangga, tidak ada yang bisa terhindar dari berbagai
permasalahan. Salah satu penyebab utama adalah ketidakdewasaan pasangan. Faktor
ini terutama terlihat pada pasangan yang menikah di usia remaja. Pernikahan yang
dilakukan di usia yang terlalu muda sering kali membawa berbagai masalah yang
tidak diinginkan, karena aspek psikologis mereka belum sepenuhnya matang, seperti
rasa cemas dan stres. Berdasarkan analisis peneliti, permasalahan yang muncul
dalam kasus pernikahan dini meliputi isu ekonomi, permasalahan adat dalam
keluarga, dan tantangan dalam pengasuhan anak.
Keinginan untuk mencapai cita-cita seringkali terhalang oleh status pernikahan.
Dalam analisis yang dilakukan, muncul dua tema utama: keinginan dan
ketidakberdayaan. Salah satu informan mengungkapkan dengan tegas bahwa ia tidak
memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu, sementara lima informan lainnya
menjelaskan keinginan mereka untuk bekerja atau melanjutkan studi. Dengan
demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat berdampak
signifikan terhadap psikologis remaja putri, khususnya dalam hal pencapaian
keinginan mereka (Afriani & Mufdlilah, 2016) .
2.4 Dampak Kesehatan Pernikahan Dini
Penyakit Menular Seksual (PMS)
Berbagai negara berkembang seperti Ghana, Afrika, Nigeria dan India,
menyebutkan adanya dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini yang
dialami oleh perempuan yaitu risiko terjadinya penyakit menular seksual (PMS).
Penelitian (De Groot et al., 2018) mengungkapkan bahwa perempuan yang
menikah diusia <18 tahun memiliki risiko untuk menderita penyakit infeksi
menular karena mereka masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Kanker Serviks
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Osakinle & Tayo-Olajubutu, 2017) ,
pernikahan pada usia dini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan
reproduksi perempuan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa usia pernikahan
yang lebih muda mengurangi jarak waktu yang tersedia bagi perempuan untuk
bereproduksi.
Preeklampsia
Salah satu penyebab utama kematian ibu di negara berkembang adalah
preeklampsia. Masalah ini seringkali dipicu oleh kehamilan di usia remaja, yang
menunjukkan peningkatan kecenderungan, tidak hanya di negara berkembang,
tetapi juga di belahan dunia lainnya. Fenomena ini terjadi seiring dengan
meningkatnya jumlah anak perempuan yang menikah di usia dini. Kurangnya
pemahaman dan pengetahuan menyebabkan remaja perempuan cenderung
memilih untuk menikah lebih awal. Dalam kenyataannya, kejadian preeklampsia
sangat berhubungan dengan usia pernikahan; perempuan yang menikah terlalu
muda berisiko lebih tinggi untuk mengalami kondisi ini.
Komplikasi Selama Kehamilah dan Persalinan
Salah satu faktor penting yang memengaruhi prognosis kehamilan adalah usia.
Perempuan yang menikah pada usia muda berisiko lebih besar mengalami kehamilan di
usia remaja. Berbagai komplikasi selama kehamilan dan persalinan sering terjadi di
negara seperti Ghana, India, Afrika, Nigeria, Uganda, dan Bangladesh. Negara-negara
ini memiliki tingkat pernikahan dini yang tinggi, sehingga perempuan yang menikah
sebelum usia 18 tahun lebih rentan mengalami komplikasi saat hamil dan melahirkan.
Komplikasi selama kehamilan dan persalinan menjadi penyebab kematian
tertinggi kedua pada perempuan berusia 15 hingga 19 tahun. Beberapa
komplikasi yang sering terjadi meliputi perdarahan hebat, anemia, serta
persalinan yang sulit atau berlangsung terlalu lama. Kondisi ini meningkatkan
risiko kematian pada perempuan yang menikah di usia muda (Adedokun et al.,
2017) .
Kesimpulan dan Saran
Pernikahan dini adalah fenomena yang masih umum terjadi di Indonesia, terutama
di daerah pedesaan, dan memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan fisik,
mental, dan sosial perempuan muda. Fenomena ini sering dipengaruhi oleh rendahnya
tingkat pendidikan, tekanan sosial, dan kondisi ekonomi yang kurang mendukung.
Perempuan yang menikah di usia muda cenderung menghadapi berbagai risiko,
termasuk komplikasi kehamilan dan persalinan seperti anemia, perdarahan hebat,
preeklampsia, dan bahkan kematian. Selain itu, pernikahan dini juga meningkatkan
risiko stunting pada anak, gangguan kesehatan mental, serta konflik rumah tangga
akibat kurangnya kematangan emosional pasangan.
Di tingkat global, negara-negara berkembang seperti Ghana, Nigeria, dan
Bangladesh melaporkan angka pernikahan dini yang tinggi, yang berkontribusi pada
tingginya angka kematian ibu dan anak. Dalam konteks Islam, meskipun pernikahan
dianjurkan sebagai ibadah, aspek kesiapan fisik, mental, dan finansial tetap ditekankan
untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan berkualitas. Pemerintah Indonesia telah
berupaya menurunkan angka pernikahan dini, namun diperlukan strategi yang lebih
efektif untuk memastikan keberlanjutannya.
- Peningkatan Edukasi dan Kesadaran:
Menggalakkan program pendidikan seksual dan reproduksi di sekolah untuk
meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif pernikahan dini.
Melibatkan tokoh agama dan masyarakat dalam memberikan pemahaman yang
seimbang mengenai pernikahan dalam perspektif agama dan kesehatan.
- Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi:
Memberikan pelatihan keterampilan kepada remaja perempuan di daerah
pedesaan untuk meningkatkan peluang ekonomi mereka, sehingga tidak
tergantung pada pernikahan dini sebagai solusi. - Penegakan Hukum dan Kebijakan:
Memperkuat implementasi Undang-Undang Perkawinan terkait batas usia
minimal pernikahan dengan pengawasan yang ketat, khususnya di daerah
dengan angka pernikahan dini yang tinggi. - Dukungan Kesehatan:
Meningkatkan akses layanan kesehatan untuk remaja, termasuk konseling
pranikah, pemeriksaan kesehatan reproduksi, dan program gizi untuk mencegah
komplikasi kehamilan di usia muda. - Pendampingan Keluarga:
Memberikan dukungan psikologis dan konseling keluarga bagi pasangan muda
untuk membantu mereka mengelola konflik rumah tangga dan membangun
hubungan yang sehat. - Kampanye Publik:
Mengadakan kampanye nasional yang berfokus pada risiko pernikahan dini,
dengan pendekatan yang relevan untuk anak muda melalui media sosial dan
teknologi digital.
Dengan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, ekonomi, kesehatan,
dan hukum, diharapkan angka pernikahan dini dapat terus ditekan, dan kualitas hidup
perempuan muda di Indonesia dapat meningkat secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adedokun, O., Adeyemi, O., & Dauda, C. (2017). Child marriage and maternal health
risks among young mothers in Gombi, Adamawa State, Nigeria: Implications for
mortality, entitlements and freedoms. African Health Sciences, 16(4), 986.
https://doi.org/10.4314/ahs.v16i4.15
Afriani, R., & Mufdlilah. (2016). ANALISIS DAMPAK PERNIKAHAN DINI PADA
REMAJA PUTRI DI DESA SIDOLUHUR KECAMATAN GODEAN
YOGYAKARTA.
Aiman, U., Wahyuni, L. S., Muthi’ah, A., Mustofa, & Ghofur, I. (2023). Analisis
Dampak Nikah Muda terhadap Keadaan Mental Pasangan Suami Istri. Gunung
Djati Conference Series, 21, 121–131.
B, J. (2021). Dampak Pernikahan Usia Dini Ditinjau Dari Hukum Islam. JISH: Jurnal
Ilmu Syariah Dan Hukum, 3(1), 84–100. https://doi.org/10.36915/jish.v3i1.18
De Groot, R., Kuunyem, M. Y., & Palermo, T. (2018). Child marriage and associated
outcomes in northern Ghana: A cross-sectional study. BMC Public Health,
18(1), 285. https://doi.org/10.1186/s12889-018-5166-6
Hamdan, D. F., Djano, N. A. R., Ryadinency, R., & Yamin, R. (2023). Psikoedukasi
Tentang Kesehatan Mental Remaja dan Bahaya Pernikahan Usia Dini dalam
Pencegahan Kasus Stunting di SMKN 3 Luwu. Jurnal Kreativitas Pengabdian
Kepada Masyarakat (PKM), 6(10), 4254–4263.
https://doi.org/10.33024/jkpm.v6i10.11945
Itares, M. (2015). Fenomena Pernikahan Di Usia Muda Di Kecamatan Pontianak Barat
Kota Pontianak. 3(1), 1–16.
Jureid, J., Defriza, R., Lubis, M., Khodijah, S., & Saniah, N. (2013). Dampak
Pernikahan Dini Ditinjau dari Aspek Ekonomi dan Sosial di Kabupaten
Mandailing Natal. 3(6), 5534–5546.
Khasanah, U. (2014). PANDANGAN ISLAM TENTANG PERNIKAHAN DINI. 1(2),
306–318.
Osakinle, E. O., & Tayo-Olajubutu, O. (2017). Child Marriage and Health
Consequences in Nigeria. 30(1).
Sari, L. Y., Umami, D. A., & Darmawansyah, D. (2020). Dampak Pernikahan Dini Pada
Kesehatan Reproduksi Dan Mental Perempuan (Studi Kasus Di Kecamatan Ilir
Talo Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu). Jurnal Bidang Ilmu Kesehatan,
10(1), 54–65. https://doi.org/10.52643/jbik.v10i1.735
No responses yet