Perspektif mahabbah itu penting bagi kita. Agar kita memandang bahwa rahmat Gusti Allah itu memang benar2 luas. Sehingga kita tidak merasakan sumpek beban dalam hidup.
Cinta itu dianggap yg membuat sesuatu hidup, karena tanda muncul cinta itu kalo kita tidak canggung atau akrab dengan yang dicinta. Keakraban atau anis ini muncul kalo sudah hapal sifat2 atau habit yang dicintai. Hapal apa yg disuka dan yg tidak disukai oleh yang dicintai.
Agar hapal, harus ada amal yg dilakukan berulang-ulang dan harus ada jeda di antara amal. Amal harus berulang agar hati terus memikirkan yang dicinta. Dan harus ada jeda biar muncul rindu. Tanpa pengulangan amal, gak ada kesan dalam hati. Tanpa jeda, orang akan bosan.
Sehingga lama kelamaan, kesan-kesan dan kerinduan itu jadi kepingan yang menyusun keakraban dan jadi naluri secara alamiah. Lama-kelamaan, muncul cinta.
Nah, dalam Islam, metode pengulangan amal dengan jeda itu sebenernya bukan barang asing. Perhatikan saja perintah tawqifiyah seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Kita melaksanakannya secara berkala, berulang-ulang dan ada jeda di antaranya. Bahkan kalo jeda itu dilanggar, tidak sah bahkan dosa.
Artinya, lewat perspektif mahabbah, perintah2 wajib tersebut sebenarnya alat yg disediakan syariat agar kita bisa berakrab-akraban dengan Gusti Allah. Tinggal kita menyadari hal itu atau tidak. Kalo kita sadar semua itu, tampaklah bahwa syariat itu bagian rahmat Gusti Allah.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami” (Al A’rof 156)
Kalo udah bisa melihat sesuatu itu bukan beban, itu baru benar2 merasakan rahmat Gusti Allah benar2 luas. Cara pandang hidupnya udah loss dol gak rewel.
Makanya, para ulama arif sangat menikmati betul saat2 mereka melaksanakan ibadah2 tawqif tersebut dan muncul kerinduan saat jedanya. Seakan-akan lewat ibadah tersebut, waktunya pacaran dengan Gusti Allah. Dan saat jeda adalah saatnya jiwa tersiksa oleh kerinduan. Sehingga mereka terus mencari wajah kesempurnaan ketuhanan Gusti Allah lewat apa saja di luar ibadah wajibnya. Agar jadi obat rindu dan cinta makin menguatkan saat waktunya perjumpaan.
No responses yet