Beberapa ulama Nusantara yang terkenal ada yang tidak ditemukan fotonya. Sebut saja misalnya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mukhtar Bogor dan lainnya. Bahkan, Syaikh Muhammad Zain Batubara sendiri, sesuai dengan laporan anaknya –Hajah Maikalsum –Allahu Yarhamha- kepada saya bahwa ayah beliau menghukumi haramnya foto. Sedangkan foto beliau yang ada sebenarnya untuk memenuhi persyaratan pembuatan kartu identitas yang memang wajib. Beberapa ulama yang saya ketahui juga mempuyai fatwa dan pendapat yang sama sehingga foto mereka tidak ditemukan atau mungkin ada tetapi tidak boleh disebarluaskan.
Diantara persoalan agama yang menjadi polemik di dunia Islam, termasuk Nusantara adalah persoalan hukum gambar dan fotografi. Banyak karya tulis ulama Nusantara yang lahir atas polemik tersebut. Sebut saja misalnya, karya Sayyid Usman Betawi, Syaikh Abdul Halim al-Khatib Mandailing dan 2 karya Syaikh Muhammad Jakfar bin Abdul Qadir Shabir Mandailing.

Pada kesempatan ini, 1 dari 2 karya Syaikh Muhammad Jakfar tersebut berjudul seperti tersebut dalam gambar dibawah adalah Imdad al-Ikhwan Dzawi al-Inshaf bi Tahri Tashwir al-Hayawan bi al-yad wa Alah al-Futugrafi (Bantuan Saudara Yang Objektif Dengan Memberikan Hukum Keharaman Menggambar Dengan Tangan dan Alat Fotografi –Kamera) dalam Bahasa Jawi. Sebelumnya, ia menulis tentang masalah ini dalam Bahasa Arab yang berjudul At-Tibyan al-Kafi fi as-Shuwar wa at-Tashwir al-Futugrafi (Penjelasan Lengkap Dalam Masalah Menggambar dan Fotografi)
Dalam karya tersebut, ulama asal Panyabungan Mandailing ini memaparkan banyak dalil berupa hadis-hadis nabi Muhammas Saw yang terkait tema larangan menggambar, seperti: 1) orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah tukang gambar, 2) orang yang membuat gambar akan disiksa pada hari kiamat, dikatakan kepada mereka “hidupkan apa yang kamu ciptakan –buatkan”, 3) rasulullah Saw sampai kerumah dari perjalanan, sementara aku –Aisyah Ra- menutupi lubang dengan tirai tingkap yang ada gambarnya. Ketika rasulullah Saw melihatnya, wajahnya yang mulia menjadi merah, sehingga ia mengatakan: “Ya Aisyah, orang yang paling keras siksanya di sisi Allah Swt pada hari kiamat adalah yang menyerupai ciptaan Allah. Ia –Aisyah Ra- berkata “kemudian kami potong dan menjadikannya 1 bantal atau 2, dan beberapa hadis lain.
Kesimpulan dalam masalah ini adalah:
1. Ijmak ulama atas bolehnya menggambar sesuatu yang tidak bernyawa, seperti pohon dan selainnya
2. Bolehnya mainan anak perempuan yang masih kecil seperti boneka karena merupakan mainannya, meskipun Imam Malik memberikan hal ini dengan hukum makruh
3. Larangan (keharaman) menggambar hewan atau yang bernyawa secara utuh, baik gambar yang ma lahu zhil (berbayang atau berbentuk) atau tidak. Meski dalam masalah ini ada pendapat yang mengatakan bahwa yang berbentuk yang diharamkan
4. Hukum gambar dengan alat kamera (fotografi) sama dengan hukum menggambar dengan tangan, dengan menukil pendapat gurunya, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki dalam kitabnya Intishar al-I’tisham yang mengatakan bahwa “pendapat yang membolehkan gambar dan dengan alat kamera menyalahi pendapat mazhab Syafi’i, Hambali dan Hanafi.
5. Kecuali dalam keadaan darurat yang mengharuskannya menjadi boleh, seperti sebagai pengenal dalam perjalanan.
6. Penulis menyayangkan di zamannya, persoalan gambar ini terlalu dipermudah, sehingga banyak foto yang dilampirkan di lembaran kitab, rumah dan lainnya
Karya ini diberi endorsmen (taqriz) oleh Syaikh Abdul Karim bin Abdul Rahman Mandailing dan Syaikh Jakfar Hasan Mandailing. Sementara karya sebelumnya diendors oleh Syaikh Musatafa Husain Purba, Syaikh Abdul Halim Khatib dan Syaikh Jakfar Abdul Wahab –ketiga ulama di pesantren Purba Baru Mustafawiyah.
No responses yet