Kalau dibolehkan kembali ke paruh kedua abad 19 masehi, akan ditemukan ada catatan penting terkait dokumentasi peristiwa besar dalam sejarah Islam di Nusantara atau lebih tepatnya di Palembang yang terekam secara rapi dalam karya tulis ulama Nusantara. Peristiwa tersebut adalah perdebatan fikih terkait status melaksanakan salat Jumat di dua masjid di kota tersebut. Persoalan fikih ini menjadi penting karena melibatkan banyak pihak baik dari ulama Palembang sendiri ataupun dari pihak luar seperti Mekkah, Madinah, Mesir. Namun, ulama yang paling banyak terlibat dan berseteru antara satu dengan yang lainnya dan menjadi polemik panjang adalah antara Sayyid Usman Betawi –disingkat dengan Sayyid Usman- dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau –disingkat dengan Syaikh Ahmad Khatib. Dikatakan panjang karena Sayyid Usman, dalam persoalan ini, melahirkan sepuluh karya tulis, sementara Syaikh Ahmad Khatib sendiri dua kitab. Persoalan lokal yang sebenarnya dapat diselesaikan secara lokal dengan ulama-ulamanya sejatinya selesai dengan tidak melibatkan kedua ulama tersebut. Namun, hal tersebut tidak terjadi seandainya dengan tidak dikirimnya surat berisi pertanyaan kepada Sayyid Usman, yang darinya menyebabkan polemik berkepanjangan.

Tanpa mengabaikan ulama Nusantara yang lain, pada saat itu sangat dimungkinkan dua ulama yang berasal dari Nusantara ini merupakan yang terkemuka dan menjadi rujukan; satu berada di Batavia (Betawi) sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda dan satunya lagi di Mekkah yang statusnya sebagai pusat keilmuan Islam. Sayyid Usman, selain sebagai pengajar, ia adalah mufti Batavia. Di samping itu, ia juga menjabat sebagai penasehat bagi kolonial Belanda. Sementara Syaikh Ahmad Khatib, meski tidak berada di Nusantara, ia sebagai ulama Nusantara yang pertama menjabat sebagai imam dan khatib di Mesjidil Haram selain sebagai pengajar. Di samping itu, mertuanya merupakan sahabat dekat dengan penguasa Mekkah saat itu dalam arti yang positif. Tentu, dengan posisinya tersebut dan dengan keilmuannya dapat berpengaruh bagi setiap pelajar yang datang ke tanah suci untuk belajar langsung kepadanya. Barangkali inilah alasan mengapa persoalan ini dipintakan fatwanya kepada dua ulama Nusantara di atas.

Saya tidak akan menuliskan biografi kedua ulama tersebut karena sudah banyak informasinya bertebaran di beberapa situs yang ada di internet. Silahkan mencarinya melalui aplikasi google dan lainnya. Namun yang penting dibahas disini adalah kronologis dan konten polemik antara keduanya yang termaktub dalam karya masing-masing ulama tersebut.

Persoalan ini berawal ketika seorang tokoh di Palembang bernama Masagus Abdul Hamid –selanjutnya disingkat dengan Masagus- pada tahun 1890-an mendirikan mesjid jamik baru di Palembang yang menjadi tempat shalat Jum’at di samping mesjid lama bernama Mesjid Agung Kesultanan. Tentunya, pendirian mesjid ini setelah ada informasi sebelumnya tentang persetujuan beberapa ulama terkait keabsahan shalat Jumat yang pada awalnya dibangun untuk shalat fardhu. Setelah pembangunan mesjid baru selesai, Masagus yang oleh karenanya sudah diberi izin oleh Muhammad Aqil selaku pengulu yang merupakan murid Masagus. Namun, setelah pendirian, Masagus meminta izin kembali guna mendirikan shalat Jumat. Setelah bertanya kepada ulama-ulama Palembang, menurut penghulu bahwa mereka sepakat tidak memperbolehkan penggunaannya untuk shalat Jumat. Namun sebagian ulama ada yang membolehkannya sebagaimana yang terlampir dari surat penghulu Palembang kepada Sayyid Usman tertanggal 15 Ramadan 1310 H/ 2 April 1893 M. Di antara yang membolehkan adalah jaksa umum yang merupakan jamaah Masagus. Oleh karenanya, berlangsung pendirian shalat Jumat selama 8 bulan oleh penduduk mesjid baru pada saat Syaikh Ahmad Khatib menulis karyanya yang terbit pada 1312 H.

Selanjutnya, penghulu Muhammad Aqil mengirim surat kepada Sayyid Usman untuk meminta fatwa agar dibolehkan mendirikan jumat. Ia berjanji akan memberikan jawaban atas pertanyaan mereka setelah bulan Ramadan, dengan menulis sebuah kitab berbahasa Melayu berjudul Jam’ al-Fawa’id mimma Yata’allaq bi Shalat al-Jum’ah wa al-Masajid yang terbit pada bulan Mei 1893 M. Kitab ini secara spesifik bukan sebagai jawaban atas pertanyaan terkait karena berbicara tentang salat Jumat secara umum. Selang beberapa waktu dalam tahun yang sama, Sayyid Usman juga menulis karya lain berjudul Menyenangkan Hati Yang Bimbang di Dalam Perihal Jum’at di Palembang dalam Bahasa Melayu juga. Dengan termuatnya fatwa tersebut membuat penduduk mesjid baru semakin tersudut secara fikih, oleh karenanya sebagai tokoh masyarakat, Masagus tidak berhenti kepada fatwa mufti Betawi, ia kemudian mengirim sebuah surat yang berisi pertanyaan yang sama kepada otoritas tertinggi dalam mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Syaikh Muhammad Said Babashil yang merupakan teman Sayyid Usman di Mekkah dahulu. Selain sebagai mufti, ia menjabat sebagai ketua para ulama empat mazhab di kota suci umat Islam itu. Jawaban yang diberikannya berbeda dengan fatwa sahabatnya, Sayyid Usman Betawi, dimana ia melegalkan secara fikih pelaksanaan salat Jumat di mesjid baru.

Meskipun keluar fatwa mufti Syafi’i dari Mekkah yang membolehkannya, Masagus tersebut tetap meminta fatwa kepada Sayyid Usman. Oleh karenanya, mufti Betawi tersebut menulis sebuah kitab berbahasa Arab berjudul Muzil al-Auham wa at-Taraddud fi Amr Shalat al-Jum’at bi at-Ta’addud yang terbit pada bulan September 1894 M. Dalam kitab ini, penulisnya menekankan bahwa jawaban mufti keliru sebab berdasarkan informasi pertanyaan yang salah. Kali ini, tokoh Palembang tersebut kembali tidak dapat menerima pendapat Sayyid Usman, sehingga ia mengirim surat ke Mekkah yang memuat permintaan fatwa kepada Syaikh Ahmad Khatib. Besar kemungkinan, selain berisi permintaan fatwa, surat itu dilengkapi dengan kitab karya Sayyid Usman berbahasa Arab tersebut.

Oleh karenanya, ulama asal Minangkabau menulis buku dalam bahasa Arab berjudul Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atain sebagai bantahan atasnya. Selain bantahan yang cukup keras penulisnya atas karya Sayyid Usman sebelumnya, dalam kitab ini, turut dilampirkan jawaban empat ulama besar Arab: Syaikh Muhammad Imbabi dari Al-Azhar Mesir, Syaikh Muhammad Babashil dari Mekkah, Sayyid Ja’far Ismail dari Madinah yang juga sebagai mufti mazhab Syafi’i dan dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang pernah dimintakan fatwa serupa semasa hidupnya. Bahkan, jawaban fatwa dari Syaikh Muhammad Said Babashil dilengkapi dengan persetujuan 9 ulama Syafi’i di Mekkah sebagai penguatan dan dukungan atas fatwa mufti, yaitu Syaikh Alawi bin Saleh bin Aqil, Syaikh Umar Bajunaid, Syaikh Muhammad al-Khayyat, Syaikh Umar as-Syami, Syaikh Muhammad Saleh Bafadhal, Syaikh Abdul Hamid Kudus, Syaikh Muhammad Zain Sumbawa, Syaikh Husain al-Habsyi, dan Syaikh Muhammad Umar Syatha. Buku ini mendapat kata pujian dari salah seorang ulama Syafi’i yang tidak disebutkan identitasnya sebagaimana tercantum di bagian akhir.

Oleh karenanya, sebagai bantahan atas karya ulama Minangkabau di atas, ia menulis sebuah kitab berbahasa Arab berjudul Taftih al-Muqlatain wa Tabyin al-Mafsadatain al-Mukhba’atain fi ar-Risalah al-Mu’ammah bi Shulh al-Jama’atain yang terbit pada tahun 1895 M. Buku ini merupakan kelanjutan tentang perdebatan ini, dimana penulisnya memperkuat otoritasnya sebagai ulama besar di Nusantara dengan menampilkan geneologi keilmuannya dari ulama-ulama besar Haramain dan Hadramaut. Selain itu, informasi yang dimuat terkaitnya begitu teliti. Sebab, sebelum menulis kitab ini, ia telah mempersiapkan bahan-bahan secara akademik seperti penggunaannya berbagai peta terkait informasi letak geografis Palembang yang diperolehnya dari Asisten Residen Palembang dan dari Kepala Dinas Topografi di Betawi. Informasi lain yang ditekankannya adalah terkait subjektivitas penggagas mesjid baru, dimana menurutnya kelompok Masagus berusaha memenangkan aspirasi mereka dengan menyingkirkan lawan-lawan mereka di radd agama. Di bagian akhir turut disertakan beberapa kata pujian dari ulama Nusantara dan Syaikh Abdullah az-Zawawi (1850-1924 M). Komentar dari Sayyid Abdullah az-Zawawi insya Allah akan saya tulis secara khusus di postingan facebook tersendiri dalam tema tentang ulama ini dan hubungannya dengan ulama Nusantara.

Kitab yang terbit dalam bahasa Arab dan berhalaman tebal tersebut akhirnya diringkas oleh penulisnya dalam bahasa Melayu berjudul Daf’ al-Waqi’ah wa al-Main alladzani fi Shul al-Jama’atain yang ditujukan bagi pembaca Nusantara. Setelah itu, pada tahun 1895 M, ia menerbitkan kitab berjudul Tabyin al-Khati’atain allatain fi Shul al-Jama’atain yang masih terkait permasalahan yang sedang dibahas. Kitab terakhir tersebut mencantumkan dua dokumen penting bahwa pendapat Sayyid Usman yang benar. Dokumen pertama bertanggal 19 Januari 1896 M dari radd agama yang ditandatangani oleh ketuanya, Haji Muhammad Thabarani bin Haji Abdul Mughni beserta anggotanya. Sementara dokumen kedua berasal dari radd agama di Meester Cornelis bertanggal 28 Januari 1896 M yang dibubuhi tandatangan ketuanya, Haji Mujtaba bin Ahmad dan para anggotannya. Ia Juga menulis buku berjudul Iqna’ al-Mu’anid bima Ja’a fi Bina al-Masajid yang terbit pada tahun 1895 M.

Setelah kitab Sayyid Usman Betawi yang berjudul Taftih al-Muqlatain terbit dan sampai ke tangan Syaikh Ahmad Khatib pada tahun 1897 M, ia lantas membantah karya tersebut dengan menulis kitab berjudul Itsbat az-Zain li Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atain fi ar-Radd ‘ala al-Kitab al-Musamma Taftih al-Muqlatain. Kitab yang kedua karya ulama Minangkabau ini jumlah halamannya melebihi dari kitab pertama. Dalamnya, penulisnya kembali mempertahankan pendapatnya tentang permasalahan tersebut. Bahkan, dalam mukadimahnya, ia memperjelas sikap mufti Betawi yang terlalu emosional dalam menyikapi perbedaan pendapat dengan mengeluarkan dan menggunakan kata-kata kurang pantas sebagai seorang ulama besar di Nusantara. Pada bagian penutup, dimuat kata-kata pendukung dari empat ulama yang menjabat sebagai mufti masing-masing mazhab, seperti Syaikh Muhammad Said Babashil as-Syafi’i, Syaikh Abbas bin Shadiq al-Hanafi, Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Maliki dan Syaikh Khalaf bin Ibrahim al-Hambali.

Setelah itu Sayyid Usman menulis tiga kitab berbahasa Arab yang terbit pada bulan Juni 1898 berjudul Khulashah al-Qaul as-Sadid fi Man’i Ihdats Ta’addud al-Jum’ah fi al-Masjid al-Jadid dengan terjemahannya bahasa Melayu pada bulan Juli di tahun yang sama. Di dalamnya dimuat dukungan dua ulama; asal Mesir bernama Syaikh Said bin Ali al-Muji al-Mishri dan Palembang bernama Sayyid Abdullah bin Husain bin Syihabuddin. Di samping itu, Sayyid Usman menulis sebuah buku yang tidak sempat dicetak berjudul Talkhis al-Bayan Mas’alah Ahdats Ihdats Ta’addud al-Jum’ah fi Falimban.

Adalah konten perdebatan antara keduanya dimulai dengan pernyataan Sayyid Usman dengan mengatakan bahwa ada tiga alasan dibolehkan melaksanakan salat Jumat secara berbilang, yaitu a) adanya permusuhan antara penduduk kedua masjid yang apabila berkumpul di satu masjid dikhawatirkan akan memicu perselisihan, b) masjid lama sudah penuh untuk menampung jamaah, dan c) letak dan jarak antara keduanya yang berjauhan sehingga menyebabkan kesulitan dalam menghadiri masjid tersebut. Ia memberikan batas jauhnya dengan tidak terdengar azan oleh penduduk yang bermukim jauh dari masjid. Ketiga syarat tersebut juga disepakati oleh Syaikh Ahmad Khatib dengan memisahkan antara jarak yang jauh dan mendapatkan kesulitan dan menempatkannya di poin tertentu. Dengan demikian, syarat yang harus dipenuhi olehnya menjadi empat.

Syaikh Ahmad Khatib membuka polemiknya dengan memberikan alasan dibolehkan mendirikan Jum’at di mesjid baru di Lawang Kidul. Pertama, bahwa jarak yang jauh antara keduanya yang diukur selama setengah jam atau lebih merupakan kesulitan yang diperbolehkan. Ukuran kesulitan tidak disebutkan secara terperinci melainkan diserahkan kepada kebiasan masyarakat. Kedua, mesjid lama telah dipenuhi oleh penduduk setempat sehingga apabila penduduk mesjid baru tetap berkeinginan melakukan shalat Jum’at di mesjid yang lama, mereka tidak akan menemukan tempat kosong di dalam mesjid selain di teras. Apabila ini terjadi, maka akan ditemukan kesulitan, seperti turun hujan, atau terik matahari. Ketiga, para ulama fikih memberikan alasan bahwa shalat Jum’at bertujuan untuk menampilkan syiar berkumpul dan bersatu. Apabila penduduk mesjid baru dilarang melakukannya di mesjid mereka akan menafikan tujuan ber-Jumat. Sebab, mereka merasakan kesulitan menempuh perjalanan ke mesjid baru, sehingga apabila mereka dilarang akan menyebabkan mereka tidak melakukan shalat Jum’at secara total. Keempat, tidak mengerjakan shalat Jum’at merupakan kemaksiatan. Apa yang menyebabkan kepada kemaksiatan termasuk perbuatan maksiat. Kelima, Apabila ulama mewajibkan shalat Jum’at bagi penghuni penjara yang berjumlah 40 sementara dari segi persyaratan tidak terpenuhi, lebih wajib lagi bagi penduduk mesjid baru yang sudah memenuhi syarat. Keenam, telah terjadi perselisihan dan permusuhan yang menyebabkan dibolehkan melakukan ta’addud.

Pendapat-pendapat Sayyid Usman yang dinukil Syaikh Ahmad Khatib adalah sebagai berikut: pertama, para ulama yang membolehkan ta’addud melakukan kekeliruan dalam memahami pendapat ulama-ulama dalam karya mereka. Kedua, pertanyaan yang diajukan kepada ulama yang membolehkan tendensius, subjektif dan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Ketiga, keharaman mendirikannya di mesjid baru karena dapat memberi mudharat bagi mesjid lama dan mencari popularitas. Hal ini diperoleh data bahwa Masagus ingin membuat mesjid baru atas namanya. Keempat, fatwa Imam Qurthubi yang membolehkan menghancurkan mesjid baru yang dibangun di samping mesjid lama. Kelima, ada tujuan khusus untuk mengumpulkan zakat di mesjid baru. Informasi ini diperoleh Sayyid Usman, sebab ada dugaan bahwa ada kebencian terhadap mesjid lama dalam masalah mengumpulkan zakat. Sementara syarat dibolehkannya ta’addud adalah karena keyakinan atas susahnya berkumpul. Keyakinan ini harus terpenuhi dengan beberapa sebab berikut: tidak didahului atau bersamaan dengan Jum’at lain, tidak memuat jumlah masyarakat dengan sempitnya mesjid, terjadi ketakutan karena saling bermusuhan, dan terlalu jauhnya jarak. Apabila sebab-sebab tersebut terpenuhi maka dibolehkan ber-ta’addud.

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menanggapi pernyataan pertama dan kedua dengan menukil pendapat ulama-ulama besar semasanya, seperti Syaikh Muhammad Imbabi dari Al-Azhar, Syaikh Muhammad Said Babashil selaku mufti mazhab Syafi’i di Mekkah, Syaikh Jakfar al-Madani selaku mufti Syafi’i di Madinah dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan semasa hidupnya yang pernah diajukan pertanyaan serupa. Kesemua ulama yang ditampilkannya memberikan fatwa tentang bolehnya ta’addud. Menurutnya, mufti Syafi’i di Mekkah itu mengatakan bentuk dibolehkannya ber-ta’addud dengan adanya jarak yang terlalu jauh sehingga menjadi kesulitan yang tidak dapat dilakukan. Jawaban yang ketiga menurutya tidak ditemukan kemudharatan bagi mesjid lama ketika mesjid baru dibangun. Sebab, kegunaannya untuk menampilkan syiar Islam.

Sementara mencari popularitas sebagaimana yang disebutkan Sayyid Usman baginya bahwa Sayyid Usman harus membuktikan tuduhannya tersebut, sebab termasuk dalam perkara gaib yang tidak diketahui secara zahir. Sementara jawaban atas pertanyaan keempat menurutnya bahwa Sayyid Usman terlalu jauh dalam mengambil landasan hukum, bahkan ia tidak konsisten dalam pendapatnya. Sebab, ia menggunakan pendapat Imam Qurthubi yang bermazhab Maliki dalam memberikan hukum untuk kasus di Palembang yang bermazhab Syafi’i. Bahkan, dalam internal mazhab Syafi’i ada perbedaan pendapat. Tidak konsistennya Sayyid Usman selain yang sudah disebutkan terletak dari pendapatnya yang mengutamakan pendapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli, tetapi tidak menggunakannya pada kasus ini. Selain itu, Sayyid Usman keliru dalam memahami pendapat Imam Qurthubi, sebab, pendapat ulama Maliki ini memberikan indikasi lain yang lebih memungkinkan seperti wajibnya dihancurkan mesjid baru adalah mesjid yang dibangun persis berdekatan dengan mesjid lama.

Jawaban atas pertanyaan kelima dijawab secara singkat olehnya bahwa tidak ada hubungan tidak dibolehkan mendirikan mesjid baru dengan tujuan mengumpulkan zakat dan menyalurkannya kepada bukan mustahiknya. Bahkan, ia memberikan dua ilustrasi: a) apabila yang membangun mesjid baru membangunnya dari dana zakat yang dikumpulkan sebelum disalurkan kepada para mustahik, maka informan yang memberikan informasi kepada Sayyid Usman seorang pembohong, sebab, mesjid tersebut dibangun dengan dana pribadi pembangunnya. b) apabila dibangun dari dana zakat yang sudah disalurkan kepada para mustahik, kemudian diserahkan ke mesjid sebagai dana pembangunan mesjid, dalam hal ini dibolehkan.

Sementara syarat yang dibolehkan ber-ta’addud menurut Sayyid Usman harus memenuhi kesulitan berkumpul secara yakin. Menurut Syaikh Ahmad Khatib pendapat Imam Syafi’i sendiri tidak membolehkannya secara mutlak –baik kesulitan berkumpul atau tidak. Pendapatnya berubah setelah pergi ke kota Bagdad, dimana ia menemukan masyarakatnya melakukan salat Jumat di dua atau tiga mesjid dalam satu daerah. Imam Syafi’i sendiri mengambil sikap diam dan tidak memberikan pendapat. Oleh karenanya, para muridnya menyikapi diamnya Imam mereka dengan empat pendapat: a) Imam Syafi’i diam karena secara geografis kota Bagdad besar dan luas, b) adanya sungai yang memisahkan kedua mesjid, c) pada awalnya, desa tersebut berpisah-pisah, kemudian dihubungkan dengan satu bangunan yang menyambung, dan d) karena persoalan ini termasuk persoalan ijtihadi yang benar salahnya mendapat ganjaran. Pendapat-pendapat Sayyid Usman yang dikemukan ini berasal dari paragraf yang dinukil dari karya Syaikh Ahmad Khatib.

Sayyid Usman dalam karyanyaTaftih al-Muqlatain wa Tabyin al-Mafsadatain al-mukhba’atain fi ar-Risalah al-Mu’ammah bi Shulh al-Jama’atain –disingkat dengan Taftih al-Muqlatain. Menurutnya, kesalahan Syaikh Ahmad Khatib terletak kepada dua: melakukan kekeliruan dalam memahami agama dan b) berperasangka tidak baik kepada keturunan nabi SAW. Pendapat kedua ini kemudian dikuatkan dengan seorang mufti Syafi’i di Mekkah bernama Syaikh Abdullah bin Muhammad Saleh az-Zawawi dalam kata pujiannnya atas karya Sayyid Usman dimana ulama Minangkabau tidak memperhatikan kedudukannya sebagai ahli bait.

Dalam karya itu juga penulisnya menambah beberapa bukti otoritatif sebagai argumen pendukung pendapatnya, seperti dalam menentukan akurasi jarak antara kedua masjid tersebut, ia membuat peta letak besar kota Palembang dengan ukuran sungainya yang besar seperti sungai Nil di Mesir. Informasi peta tersebut diperoleh dari sumber yang terpercaya seperti informasi Walikota Palembang dan sumber resmi pemerintah di Batavia. Ia menjelaskan bahwa dengan ukuran sungai yang besar sehingga letak kedua masjid berada di pinggirannya. Selain itu, hal penting yang ditekankan Sayyid Usman adalah bahwa ia seorang ulama yang lahir dari belajar dengan daftar nama-nama gurunya yang terkemuka di Mekkah, Hadramaut, Tunis, bahkan ia pernah didoakan kebaikan oleh salah seorang gurunya. Ini mengindikasi bahwa ia adalah seorang ulama yang otoritatif.

Karya terakhir Sayyid Usman berjudul Khulashah al-Qaul as-Sadid fi Man’I Ihdats Ta’addud al-Jumat fi al-Masjid al-Jadid merangkum semua pendapatnya tentang polemiknya dengan Syaikh Ahmad Khatib bahwa ada tiga hal yang membenarkan pendapatnya: a) titik yang menjadi perbedaan fatwa terkait dengan siapa yang bertanya. Kaidah yang dikedepankan bagi pemberi fatwa yang tidak menyaksikan secara langsung persoalan adalah dengan mencari kebenaran yang otentik atas kebenaran pertanyaan yang disampaikan oleh penanya. b) pemberi informasi perihal keadaan dua masjid kepadanya adalah ulama-ulama alawiyin, seperti Sayyid Abdullah bin Idrus dan Sayyid Abdullah bin Husain Syihabuddin.

Selain mereka, ada beberapa ulama yang otoritatif dan termasuk sebagian besar yang memberikan kata pujian atas karyanya. Informasi tersebut diperolehnya baik dengan bertemu secara langsung maupun melalui melalui beberapa surat-menyurat yang terjadi sebanyak 60-an kali. Menurutnya, mereka adalah penduduk yang menetap di wilayah sekitar mesjid baru dan tidak berhubungan sama sekali dengan masjid lama. c) dua karya ulama yang mendukung seperti Daf’u al-Lujajah karya Syaikh Said bin Ali al-Muji yang diperolehnya melalui Syaikh Hasunah an-Nawawi selaku pemimpin tertinggi Al-Azhar. Karya ini ditulis setelah membaca karya Taftih al-Muqlatain dan Shulh al-Jama’atain dan diperkuat dengan kata pujian beberapa ulama empat mazhab atasnya. Kedua berjudul Al-Qaul al-Mushib karya Sayyid Abdullah bin Husain Syihabuddin.

Ringkasan dari tulisan saya di Jurnal UIN-SU
Medan

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *