Membaca manuskrip memiliki daya tarik tersendiri. Aroma kertas tua yang sudah berusia ratusan tahun. Debu yang melekat di setiap lembar kertas buatan lokal. Serta lubang-lubang bekas dimakan ngengat. Semua itu mencipta nuansa masa lalu yang hampir mistik dengan sendirinya.

Efek emosi bukanlah tujuan utama membaca kitab tua. Membuka lembaran kertas-kertas ditulis tangan memberikan seorang pelajaran sejarah. Pada masa lalu seseorang telah menuliskan sebuah ajaran dengan tangannya sendiri. Bisa jadi ajaran itu adalah milik seorang yang jauh. Berdasarkan ukuran tempat maupun waktu. Namun ajaran itu dekat dengan kebutuhan masyarakat, sehingga ruang dan waktu tak bermakna.

Seorang diajak menilik sebuah kitab yang tak lagi dibaca. Kitab tersimpan dalam sebuah naskah di Perpustakaan Leiden Belanda. Sistem administrasi perpustakaan meminta naskah untuk diberi kode. Leiden Oriental (L. Or.) 5690 menjadi nama naskah.

Beragam teks kitab dikandung naskah ini. Tasawuf menjadi tema hampir keseluruhan karya yang dikaji. Pemaknaan gandul dalam bahasa Jawa menjadi cara efektif masyarakat untuk memahami kitab yang berasal dari bahasa Arab. Keseluruhan kitab menjadi cermin kurikulum tasawuf di nusantara dahulu. Bahwa kitab-kitab tasawuf beragam tradisi dikaji di pesantren. Mulai dari tradisi tarekat syatariah, mazhab Imam al-Ghazali, mazhab Imam Ibnu Araby, termasuk juga tarekat Kubrawiah.

Pelajaran tasawuf di pesantren di kala itu menunjukkan kedewasaannya. Beragam tradisi yang kadang dinilai saling bertentangan tetap dikaji. Santri yang telah paripurna akan mampu memilih ajaran mana yang dia akan pegangi selama hidup.

Di waktu lain, kita bisa membahas kitab-kitab itu satu per satu. Namun satu kitab saja yang akan kita bahas di sini. Kitab dari tradisi Kubrawiyah. Al-Usul al-‘Ashrah adalah karya Najmuddın Abul Jannab Ahmad ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Abdallah as-Sufı, yang dikenal dengan Najmuddın al-Kubra. Ajaran sang pendiri tarekat Kubrawiyah (w. 618/1221) penting dikaji oleh santri di pesantren di Jawa. Al-Usul al-‘Ashrah (Sepuluh Prinsip) menawarkan jalan yang paling dekat untuk sampai kepada hakikat ilahiah. Najmuddın al-Kubra berkata:

“Jalan menujut Allah ta’ala itu sebanyak hembusan nafas makhluk-Nya. Sedangkan jalan kami, yang akan kami segera jelaskan, adalah jalan yang paling dekat, paling terang benderang, dan paling benar terarah.”

Kitab memerikan jalan itu ada sepuluh tahapan. Taubat (al-Tawba), Kesederhanaan (al-Zuhd), Kepasrahan (al-Tawakkul), Penerimaan (al-Qana’a), Keterasingan (al-‘Uzla), Kesinambungan Ingat (Mulazamat al-Dhikr ), Menghadap Allah (al-tawajjuh ila Allah ta‘ala), Kesabaran (al-Sabr), Mawas Diri (al-Muraqaba), dan Kerelaan (al-Rida).

Kajian atas kitab memberikan pemahaman simbolik atas Najmuddin al-Kubra yang muncul dalam kitab-kitab historiografi nusantara (Sajarah Banten Rante-Ranten dan Babad Cirebon). Sunan Gunung Jati yang belajar kepada Najmuddin al-Kubra tentu bukan secara fisik. Kesejatian “ada” yang menjadikan nama tidak harus dilekatkan pada fisik, namun juga pada kelanggengan ajaran.

Martin van Bruinessen memberikan cahaya lebih terang bahwa ajaran Kubrawiyah di Nusantara bisa jadi hadir dari seorang guru di Mekah, Ahmad al-Qushashi. Tarekat Syattariah dan Naqshabandiyah menjadi ciri pengenal bagi al-Qushashi, namun dia juga berbaiat pada beberapa tarekat lainnya, termasuk Kubrawiyah.

Ajaran Kubrawiyah meninggalkan jejak berupa penglihatan batiniah (visionary perception). Di nusantara hal ini dikaitkan dengan apa yang terjadi ketika seorang menghadapi kematian. “Syahadat Sekarat” menjadi sebuah formula tradisional yang hidup beberapa abad yang lalu. Sebuah manuskrip dari Jepara awal abad ke-19 memberikan kisah:

Punika/ syahadat sekarat tatkala parak ajale asanget/ warnaning pati iku maka aningali ing cahya ireng maka/ iya iku iblis maka amacaha lā ilāha illallāhu Muḥammad/ar Rasūlullāh (suatu tanda seperti bunga) maka tatkala aningali cahya kuning maka/ iya iku yahudi maka amacaha lā ilāha illallāhu Huwa2/ (suatu tanda seperti bunga) maka tatkala aningali cahya abang maka iya (teks tak terbaca, mungkin “iku”) bashari maka amacaha lā ilāha illallāhu Huwa Huwa2 maka/ tatkala aningali cahya ijo maka iya iku Jabrail/ fataqabbalallāhu Huwa Huwa2 (suatu tanda seperti bunga) maka tatkala aningali cahya/ putih maka iya iku Nabi Muhammad maka amacaha/ Huwa Huwa tegese syahdat sekarat (suatu tanda berhenti dan tulisan “tamat”)

Terjemahan teks:

Ini adalah syahadat sekarat (yang orang lihat) ketika menjelang mati. Jenis-jenis mati itu adalah (1) ketika melihat cahaya hitam, itu adalah iblis, maka bacalah lā ilāha illallāhu Muḥammadar Rasūlullāh “Tiada tuhan melainkan Tuhan, Muhammad adalah utusan Tuhan” (suatu tanda seperti bunga). (2) ketika melihat cahaya kuning, itu adalah yahudi, maka bacalah lā ilāha illallāhu Huwa2, “Tiada tuhan melainkan Tuhan, Dia! Dia!” (suatu tanda seperti bunga). (3) ketika melihat cahaya merah, itu adalah manusia, maka bacalah lā ilāha illallāhu Huwa Huwa2, “Tiada tuhan melainkan Tuhan, Dia! Dia! Dia!”. (4) ketika melihat cahaya hijau, itu adalah Jibril, (bacalah) fataqabbalallāhu Huwa Huwa2, “Semoga Allah menerima (amal kebajikan), Dia! Dia! Dia! (suatu tanda seperti bunga). (5) ketika melihat cahaya putih, itu adalah Nabi Muhammad, maka bacalah Huwa Huwa, “Dia! Dia!”. Inilah penjelasan syahadat sekarat (suatu tanda berhenti dan tulisan “tamat”).

Ajaran ini menimbulkan sebuah perdebatan sejak abad ke-17. Seorang bernama Abdurrauf bin Ali al-Jawi (abad ke-17) menuliskan sebuah kitab untuk menjawab kegelisahan atas tersebarnya ajaran syahadat kematian di nusantara. Kitab terdapat di manuskrip berkode Or. 5660 tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.

Jawabannya tegas. Bahwa menurutnya ajaran ini tidak terdapat dalam kitab maupun hadis. Namun ketika kematian mendatangi, menurutnya, ada syaitan yang akan menggoda. Satu syaitan menjelma menjadi ayah dan satunya menjelma sebagai ibu. Mereka akan mengajak orang mengubah keyakinan keislamanannya menjelang mati. Menurut Abdurrauf ajaran ini terdapat dalam kitab hadis Nabi saw.

Ajaran syahadat kematian cenderung tidak memiliki sanad yang bersambung langsung dengan tarekat Kubrawiyah. Tradisi kritis di masyarakat juga memberikan ia ruang sempit untuk menjadi ekspresi utama praktik seorang muslim di masa kini. Namun sepuluh prinsip jalan mendekat kepada Allah adalah sebuah kitab yang ditulis oleh Najmuddin al-Kubra sendiri. Al-Usul al-‘Ashrah memberi saksi akan kehadiran ajaran Najmuddin al-Kubra yang pernah memberkati muslim nusantara. Tarekatnya mungkin tidak berkembang di bumi kepulauan ini, namun berkah ajarannya bisa dihidupkan kembali melalui kajian atas kitab ushulul ashrah ini. Khususnya bagi para santri paripurna di pesantren-pesantren tasawuf di nusantara.

Wallahu A’lam
Semarang, Sya’ban 1441 Hijri/April 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *