Salat Jumat merupakan hal penting dalam ajaran Islam yang mempunyai keistimewaan dan keutamaan bagi setiap Muslim. Oleh karenanya banyak karya tulis yang dihasilkan untuk menjelaskan hal ini. Di sisi lain, ada beberapa persoalan yang bersifat khilafiyah mengenainya terutama dalam mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang berlaku di Nusantara.
Diantara persoalan tersebut adalah terkait jumlah jamaah salat Jumat yang tidak mencukupi angka yang sudah ditetapkan keabsahannya dalam mazhab Syafi’i yang dipedomani yaitu empat puluh orang dengan syarat yang ada dalam mazhab ini dengan ketentuan mustautin (penduduk setempat atau penduduk pindahan ke tempat tersebut dengan niat berdiam selamanya dan tidak dalam melakukan perjalanan jauh yang membolehkan menjamak salat). Dengan definisi ini menjelaskan bahwa menurut qaul jadid (pendapat yang dipedomani) dalam mazhab bahwa tidak sahnya salat Jumat apabila tidak mencapai jumlah jamaah tersebut.
Perlu diketahui bahwa terkait status hukum salat Jumat dalam mazhab Syafi’i adalah terpenuhinya dua kriteria syarat:
- Syarat diwajibkan Jumat yaitu bagi seorang laki-laki beragama Islam (Muslim), baligh, berakal, merdeka, mustautin, dan sehat. Kriteria ini mengecualikan kepada beberapa orang seperti perempuan, budak, orang yang sedang bepergian sebelum masuk waktu fajar dan anak-anak yang belum sampai usia baligh.
Keempat orang tersebut tidak diwajibkan kepada mereka salat Jumat. Namun, apabila mereka melakukan salat dengan empat puluh jamaah laki-laki dengan syarat yang sudah disebutkan maka salat mereka menjadi sah dan tidak perlu melakukan salat Zuhur.
- Syarat sah Jumat yaitu dilaksanakan dalam batasan wilayah negeri atau kampung, berjamaah, di waktu Zuhur, setelah dua khutbah dan tidak didahului oleh jamaah lain di satu kampung. Persoalan yang sedang dibahas ini adalah masuk bagian syarat berjamaah yang berjumlah kurang dari empat puluh orang.
Tidak diketahui secara pasti kapan persoalan jumlah jamaah salat Jumat yang tidak memenuhi empat puluh orang di Nusantara mulai dipersoalkan. Namun, di Nusantara salat Jumat yang kurang dari empat puluh orang sudah pernah dilaksanakan oleh penduduk negeri ini pada abad 16 atau 17 masehi. Bukti yang mengungkap hal tersebut adalah sebuah kitab berjudul Qurrah al-Ain bi Fatawa Ulama al-Haramain yang merupakan kumpulan dua fatwa ulama Mekkah dahulu yang salah satunya merupakan fatwa Syaikh Muhammad Saleh Rais, ulama mazhab Syafi’i yang pernah menjabat sebagai mufti mazhab tersebut.
Menarik untuk diungkapkan bahwa ulama ini adalah guru dari ulama Nusantara, seperti Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan Syaikh Muhammad Marhaban asal Aceh. Saya menemukan catatan sanad ijazah keilmuan di bidang qira’at Al-Quran yang menyebutkan Syaikh dari Aceh tersebut memperolehnya dari Syaikh Muhammad Saleh Rais tersebut. Kembali kepada kitab fatwa tersebut, di dalamnya tertulis pertanyaan seputar hukum fikih yang dilontarkan kepada Syaikh Muhammad Saleh Rais yang tidak disebutkan dari siapa dan daerah mana di Nusantara asal penanya tersebut.
Namun, dalam pertanyaannya disebutkan bahwa dalam risalah karya Syaikh Ahmad Qusyasyi (w. 1071 H/ 1660 M) yang berjudul Miftah min Mafatih al-Rahmah fi Iza’ah Karamah min Karamat al-Ummah disebutkan bahwa salat Jumat kurang dari empat puluh jamaah sudah dilakukan oleh masyarakat Nusantara. Menarik disini bahwa Syaikh Ahmad Qusyasyi sendiri adalah ulama Madinah yang meninggal pada abad ke-17 masehi dan menjadi guru ulama Nusantara yang bernama Syaikh Abdul Rauf al-Fanshuri yang berasal dari Aceh. Dari gurunya tersebut amaliyah bacaan zikir setelah salat wajib lima waktu yang ada berlaku di Nusantara dan dikenal dengan wirid Imam Qusyashi (aurad Qusyashiyah) berasal.
Terjemahan teks fatwa tersebut adalah sebagai berikut (tidak semua diterjemahkan):
“Pertanyaan: ia (Syaikh Muhammad Saleh Rais) ditanya terkait penduduk yang melakukan salat Jumat kurang dari empat puluh jamaah dengan taklid kepada pendapat yang membolehkan salat Jumat dengan empat orang sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Qusyashi al-Madani dalam risalahnya yang bernama Miftah min Mafatih al-Rahmah fi Iza’ah Karamah min Karamat al-Ummah bahwa dalam pendapat qaul qadim Imam Syafi’i disebutkan salat Jumah sah dengan empat jamaah. Apakah dibolehkan mereka bertaklid kepada qaul qadim sebagaimana yang disebutkan dalam risalah tersebut sehingga mereka salat Jumat kurang dari empat puluh jamaah kemudian dilanjutkan setelahnya dengan shalat Zuhur sebagai jalan tengah atas perbedaan dalam qaul jadid yang tidak membolehkan selain minimal empat puluh jamaah, atau tidak boleh melakukan salat, sehingga mereka hanya wajib shalat Zuhur saja. Mohon penjelasan yang memuaskan dan sanad yang sahih dengan dalil dan nash-nash, karena telah masyhur dan tersebar bagi masyarakat awam dan ulama di penduduk tersebut sebagaimana yang disebutkan Syaikh Ahmad Qusyashi dalam risalah bahwa sah salat Jumat kurang dari empat puluh di sebagian besar wilayah Nusantara. Walaupun jumlahnya mencapai empat puluh mereka tetap mengulanginya dengan shalat Zuhur, sebab mereka berkeyakinan bahwa di antara jamaah yang sudah terpenuhi syaratnya secara jumlah, kemungkinan ada yang masih awam (tidak bisa membaca surah Al-Fatihah) yang tidak mengetahui syarat dan rukun salat dan khutbah, sehingga kemungkinan jumlah yang mengetahui tidak mencapai empat puluh jamaah, sebagaimana yang dimaklumi bagi banyak orang awam yang lalai dan tidak terlalu memperhatikan agama, mereka hadir salat Jumat karena takut akan sanksi dan hukuman penguasa.”
Jawaban yang diberikan Syaikh Muhammad Saleh Rais adalah bahwa salat Jumat hanya boleh dilakukan apabila memenuhi rukun dan syaratnya, diantaranya adalah memenuhi jumlah jamaah minimal empat puluh dengan ketentuan yang berlaku dalam mazhab Imam Syafi’i. Ini menunjukkan bahwa menurutnya salat yang ditanyakan oleh penanya tidak memenuhi keabsahan salat yang berlaku untuk salat Jumat.
Perdebatan tentang keabsahan salat Jumat yang kurang dari empat puluh jamaah di Nusantara kembali menguat di akhir abad 19 dan awal 20. Hal ini ditandai dengan sejumlah karya tulisan ulama Nusantara yang ditulis khusus untuk merespons persoalan ini. Sayyid Usman Betawi misalnya dalam karyanya yang berjudul Jam’u al-Fawa’id mimma Yata’allaq bi Salah al-Jumuah wa al-Masajid menulis kata pengantar karyanya dengan menjelaskan latar-belakang penulisannya bahwa banyaknya pertanyaan yang diajukan kepadanya, diantaranya persoalan ini.
Dalam pengamatan saya, karya terlengkap tentang salat Jumat yang ditulis ulama Nusantara adalah kitab ini dalam Bahasa Melayu dan aksara Arab. Menurutnya, sama seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa dalam mazhab Syafi’i yang dipedomani jumlah jamaah salat Jumat seharusnya mencapat empat puluh. Oleh karenanya apabila terdapat seorang saja yang tidak dapat membaca al-Fatihah dari jumlah tersebut secara otomatis salat Jumat tersebut menjadi tidak sah. Namun di sisi lain, ia berpendapat bahwa dalam qaul qadim Imam Syafi’i menyebutkan sah salat Jumat jamaah yang tidak mencapai jumlah tersebut.
Secara permukaan dua pendapat Imam Syafi’i terlihat bertentangan antara satu dengan yang lain. Namun penulisnya berpendapat tidak ada pertentangan. Sebab, qaul qadim dalam masalah ini juga termasuk pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i karena dikuatkan oleh sebagian muridnya secara langsung. Adalah pertentangan antara kedua pendapat yang dikuatkan qaul jadid apabila qaul qadim tidak dikuatkan oleh sebagian muridnya. Ada tiga pendapat terkait jumlah jamaah salat Jumat yang dianggap sah dalam qaul qadim yaitu dua belas, empat, dan tiga jamaah bersama imam.
Bahkan Sayyid Usman menambahkan beberapa pendapat dalam lintas mazhab fikih yang ada sebanyak lima belas pendapat, yaitu seorang (Ibnu Hazm), dua (Imam Nakha’i), tiga (qaul qadim dan ahli zahir), empat (qaul qadim, Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Sauri), tujuh (Imam Ikrimah), Sembilan (Imam Rabiah), dua belas (qaul qadim, Imam Rabiah dan Imam Malik), tiga belas (Imam Ishaq), dua puluh (riwayat Imam Ibnu Habib dari Imam Malik), tiga puluh (Imam Ibnu Habib), empat puluh (qaul jadid), empat puluh satu (riwayat Imam Syafi’I dari Umar bin Abdul Aziz), lima puluh (riwayat Imam Ahmad dari Umar bin Abdul Aziz), delapan puluh (Imam al-Marizi), dan jumlah yang banyak (mazhab Maliki).
Selain Sayyid Usman, ada dua ulama Nusantara lainnya yang secara spesifik menulis karya bertema yang sama, yaitu Syaikh Husain Pontianak dengan karyanyaTuhfah al-Ragibin fi Taqlid al-Qaul bi Shihhah al-Jumah bi Dun al-Arba’in dan Syaikh Hasan Maksum dengan karyanya Targib al-Mustaqim Bagi Mendirikan Jumat Atas Kata As-Syafi’i Yang Qadim. Karya ulama Pontianak ini ditulis sebagaimana dalam kata pengantar kitab adalah karena memenuhi permintaan seorang yang dekat dengan penulis; apakah murid atau keluarga tidak disebutkan identitasnya.
Dalam karya ini penulisnya secara lengkap menjelaskan persoalan hukumnya yang senada dengan pendapat Sayyid Usman. Tetapi ada informasi penting dari penulis berupa fakta sejarah di Nusantara bahwa ada sebagian daerah wilayah tersebut tidak melaksanakan salat Jumat selama dua puluh tahun lebih dengan alasan angka jamaahnya tidak memenuhi syarat empat puluh. Namun ia tidak menjelaskan nama daerah di Nusantara tersebut. Karya ini selesai ditulis pada hari Kamis, 27 Syawal 1319 H di kota Mekkah atau kurang lebih bertepatan dengan tahun 1901 M.
Meskipun ia berpendapat bahwa yang lebih utama adalah qaul jadid, tetapi dalam kasus yang terjadi di Nusantara tersebut ia mengatakan bahwa qaul qadim dalam persoalan ini lebih utama diamalkan.Adalah sangat menarik dari sebuah karya yang ditulis Syaikh Hasan Maksum dari kasus polemik dua kelompok di wilayah Sumatera Utara. Sebab karya ini diabadikan olehnya sebagai respons dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya terkait tema ini.
Kasus polemik tersebut berupa sebuah desa dengan jumlah masyarakat yang sudah diwajibkan salat Jumat sekitar empat puluh lebih, tetapi tetapi penduduknya tidak melaksanakan salat tersebut sebab yang melaksanakannya kurang dari jumlah tersebut, atau beberapa persyaratan yang ada dalam qaul jadid tidak terpenuhi secara mutlak. Sebagian jamaah tersebut melaksanakan salat Jumat mengikuti qaul qadim yang tersebut dalam mazhab Syafi’i. Kasus tersebut oleh kelompok pertama dinyatakan tidak memenuhi keabsahannya, sementara kelompok kedua sebaliknya. Hal ini yang disebutkan penulisnya dalam kata pengantar kitab.
Dalam memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, ia memilih pendapat yang kedua yang membolehkan salat Jumat dengan mengikuti qaul qadim, meskipun jumlah penduduk yang sudah wajib salat mencapai empat puluh lebih. Sementara kelompok pertama yang tidak membolehkan menurutnya keliru dalam memahami ungkapan yang tertulis dalam kitab fikih.
Sebab, maksud ungkapan tersebut adalah kewajiban melaksanakan salat Jumat bagi penduduk yang berjumlah empat dan dua belas menurut qaul qadim. Sehingga apabila jumlah tersebut lebih atau sampai angka empat puluh lebih utama. Alasan yang dikemukakan bahwa qaul qadim dalam masalah ini dikuatkan oleh periwayat qaul jadid yang merupakan murid langsung Imam Syafi’I dan juga beberapa ulama besar lainnya. Bahkan menurut Syaikh Syamhudi bahwa mengikuti qaul qadim dalam masalah ini secara mutlak –tidak terbatas empat atau dua belas, tetapi empat puluh orang lebih- dibolehkan.
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa mengikuti pendapat ini lebih utama dari bertaqlid kepada mazhab lain, sebab harus mengetahui prasyarat yang terdapat dalam mazhab yang diikuti dalam satu masalah. Hal penting lain yang disampaikan Syaikh Hasan Maksum bahwa dibolehkan mengamalkan qaul qadim dalam masalah ini tetapi tidak difatwakan. Baik Sayyid Usman, Syaikh Husain Pontianak dan Syaikh Hasan Maksum; ketiganya banyak merujuk kepada karya Syaikh Abubakar Syatha tentang ini.
Medan
No responses yet