Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ…..الحديث
Sesungguhnya Halal itu Jelas.
Mengomentari hadis tersebut, Imam Abu Hamid Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin menyebutkan sebuah istilah “Al Halal al-Mutlak”, yakni halal mutlak alias absolut. Beliau mendefinisikan;
الحلال المطلق هو الذي خلا عن ذاته الصفات الموجبة للتحريم في عينه، وانحل عن أسبابه ما تطرق إليه تحريم أو كراهية
Yang terjemahan ugal-ugalannya; Yang dimaksud al Halal al Mutlak adalah; sesuatu yang tidak ada pada dirinya dan juga pada sebab-sebab keberadaannya, sifat-sifat keharaman dan/ataupun yang berpotensi (mengarah) pada keharaman atau pada yang dimurkai.
Simulasi riilnya, misalnya;
- Orang yg jualan pulsa atau kuota untuk mendapatkan uang. Adapun orang yg menjadi pembelinya; ada yg menggunakan pulsa/kuotanya untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan ilmu-ilmu Islam, dan ada juga yang menggunakannya untuk berbuat maksiat dan dosa seperti; selingkuh, menyebar hoak, adu-domba, dan sejenisnya. Lalu, bgaimana dgn uang yg berefek pd “campur-campur” demikian, halal-mutlakkah?
- Orang beribadah haji. Ia pasti melibatkan Bank dalam proses pembiayaannya. Yha, ada yang bilang Bank Syariah, tetapi muaranya juga kan Bank Konvensional (non syariah), yang namanya Bank Induk, Bank Indonesia (BI) dan Bank Swiss. Belum lagi, soal uang pesan kursi yg diputarkan pada bisnis-bisnis yg tentu banyak bercampur ini dan itu. Nah, bagaimana uang untuk ongkos hajinya, halal-mutlakkah?
- Pegawai dan Karyawan di berbagai institusi negara, yang digaji melalui pajak. Dan, yang namanya ‘pajak’ yhaa dari mana saja, termasuk juga pajak dari usaha hiburan dugem-dugem, miras, dan sejenisnya. Bagaimana uang yg dikonsumsi dari gaji bgitu, halal-mutlakkah?
- Penjual makanan dan minuman. Di antara pembelinya ada yang menggunakan makan dan minum yang dibelinya untuk menguatkan tenaga supaya giat ibadah dan giat bekerja. Namun, ada juga pembeli yang menggunakannya supaya kuat berdiri dalam melakukan kedzaliman dan kriminal. Lalu, bagaimana uang ‘terproduk’ dari hal yg ‘warna-warni’ bgitu, halal-mutlakkah?
- Menikmati harta warisan turun-temurun. Misalnya saja, tanah warisan. Kalo dirunut asal-usulnya, bisa jadi tanah warisan yg didiami itu adalah tanah sengketa. Mungkin sengketa antara bapak melawan saudaranya, atau sengketa antara kakek melawan saudaranya. Nah, Sang pewaris tidak pernah menyelesaikan hal ini secara clear, adil dan syar’iy. Tahu-tahu, pokoknya sang pewaris dapat limpahan begitu saja. Nah, bagaimana menikmati warisan seperti ini, halal-mutlakkah?
Dan lain sebagainya, yaa…
Maka, pemaknaan halal menurut Imam Al-Ghazali begitu ketat. Sepertinya, sangat sulit sekali ditemukan halal-mutlak di kehidupan saat ini. Coba ditanyakan; “Wahai Imam Ghazali, apa contoh riil halal-mutlak?”
Imam Ghazali menjawab;
“Ada.”
ومثاله الماء الذي يأخذه الإنسان من المطر، قبل أن يقع على ملك أحد، ويكون هو واقفا عند جمعه، وأخذه من الهواء في ملك نفسه.
Contohnya, Air hujan yang dikonsumsi oleh seseorang, sebelum jatuh di area milik orang lain; nah ia berdiri di atas tanah miliknya, lalu menengadahkan mulutnya langsung ke langit.
“Nah silahkan disimulasikan yaa….” hehe.
Akan tetapi, berkenaan hal ini, menarik juga untuk menelaah pandangan Syeikh Abdul Qadir al Jaelani. Beliau dalam kitabnya Al Ghunyah Li Thaalibiy Thariq Al Haqq mengatakan;
فالحلال حلال حكم لا حلال عين…
Yang dimaksud Al Halal itu adalah Halalnya sesuatu secara hukum, bukan Halal secara ‘ain (kewujudan sesuatu dan proses kewujudannya).
Misalnya; Seseorang memakan ayam goreng (sudah mati / mayyitah). Ini halal secara hukum. Adapun, secara ‘aini (kewujudan ayam goreng dan proses kewujudannya), ayam tersebut bisa saja mengkomsumsi kotoran, plastik, nyuri makanan tetangga, dan lainnya. Kemudian, dari proses makan yang demikian, tumbuhlah daging dan makin gemuk. Lalu, ayam itu disembelih dan digoreng, maka jadilah Ayam Goreng. Nah, kategori halal tidak mencakup hukum ‘aini yang begitu detail ini.
Kemudian, Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani menyandarkan hal tersebut pada sebuah riwayat hadis;
ان النبي سمع رجلا يقول: اللهم ارزقني الحلال المطلق. فقال له النبي: ذلك رزق الأنبياء سل الله رزقا لا يعذبك عليه
Bahwasanya Nabi pernah mendengar seseorang berdoa; “Ya Allah, anugrahkanlah kepadaku Rizki Al Halal Al Mutlak. Lalu, Nabi menasehatinya; “Yang demikian itu adalah rizki para Nabi, mintalah kepada Allah Rizki yang kamu tidak diadzab atasnya.”
Demikianlah, makna Al-Halal. Akantetapi, dalam hal ini pula, seyogyanya Umat Islam berhati-hati dan waspada, dengan selalu mengingat firman Allah ta’ala;
وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَذَا حَلَالࣱ وَهَذَا حَرَامࣱ لِّتَفۡتَرُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا یُفۡلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (Q.S. An Nahl 116).
No responses yet