Pada  abad  ke-19,  Kuwait  mulai  muncul  di  bawah  pengaruh  Kesultanan  Usmani Setelah Perang Dunia Pertama, Kuwait muncul sebagai negara merdeka yang masih di bawah perlidungan Kerajaan Inggris. Penjajahan Inggris atas Kuwait dimulai pada tahun 1317 H/1899 M. Pada tahun  1922  M  terjadilah  kesepakatan  penentuan  batas  antara  Kuwait  dan  Saudi  Arabia dengan hasil pengukuhannya sebagai wilayah netral. Pada tahun berikutnya penentuan batas wilayah dengan Irak telah selesai. Orang Kuwait terus menuntut kemerdekaan mereka di bawah pimpinan Syaikh Abdullah Al Sabah hingga Inggris mengakui kemerdekaannya pada tahun 1381 H/1961 M.

Amir Abdullah Salim Al Sabah wafat pada tahun 1835 H/1965 M. Kemudian diganti oleh saudaranya Sabah Salim. Setelah wafat pada tahun 13 H/1978 M, dia digantikan oleh Syaikh Jabir Ahmad Al Sabah. Pada masa inilah Irak menginvasi Kuwait, yaitu pada tahun 1411 H/ 1990 M, lalu berhasil dibebaskan dengan perantaraan kekuatan sejumlah negara di bawah pimpinan Amerika Serikat pada tahun 1411 H/1991 M. Kuwait merdeka dari jajahan Inggris pada 19 Juni 1961. Tetapi, rakyat Kuwait meraih kemerdekaan pada 25 Februari setiap tahun, yang mana pada tanggal tersebut kepala negara Kuwait    ke-11,    Syeikh    Abdullah    al-Salim    Al    Sabah,    mengambil kepemimpinan.

Nasionalisme Kuwait

Pada bulan Desember 1934, Syeikh Ahmad al-Jabir Al Sabah, penguasa Kuwait pada waktu itu telah menandatangani kesepakatan untuk pengeboran minyak dengan perusahaan minyak Kuwait (perusahaan Anglo-Amerika). Dari sini bermula perkembangan ekonomi budaya dan penduduk menuju kemajuan dan kemandirian sejak awal tahun lima puluhan.

Di dalam periode ini, masyarakat Kuwait harus menghadapi tantangan internal dan ekternal yang banyak akibat dari evolusi dari sebuah negara miskin kepada negara kaya. Kesadaran nasional politik meningkat seiring kemajuan Kuwait dalam menuju kemerdekaan. Kegiatan pemuda Kuwait meningkat dan merdeka mulai mengkritik kondisi administrasi.

Pada saat itu, Amir Kuwait, Syaikh Abdullah al-Salim Al Sabah telah menjadi ketu arlemen pertama di Kuwait pada tahun 1938. Ia menyambut kritik konstruktif dan sanga ngin mencapai langkah sepenuhnya dalam mempertimbangkan cara untuk kemerdekaan da embentukan konstitusional.

Pada tahun 1959, Kuwait mengambil langkah untuk membuat undang-undang dan pembangun sistem, seperti the Naturalization Law in 1959, the Kuwait Currency Law in 1960, the Passports Law and the Organization of Government Departements. Kenyataannya, Kuwait juga tidak terlepas dari intraksi dan partisipasi dalam kebanyakan kegiatan sosial dan budaya lingkungan Liga Arab (Arab League).

Konstitusi Kuwait

Kuwait adalah sebuah negara monarki konstitusional yang memilki parlemen yang tertua antara negara-negara Arab di Teluk Persia. Kuwait mengamalkan konstitusi tertulis yang menggabungkan dua aspek, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Hal ini telah disetujui pada 11 November 1962 oleh Yang Mulia Syaikh Abdullah al-Salim Al Sabah.

Konstitusi Kuwait mengandung 183 artikel di bawah lima bagian. Menurut konstitusi Kuwait, nominasi dari Amir baru atau putra mahkota oleh penguasa keluarga Al Sabah harus disetujui oleh Majelis Nasional. Jika calon tidak memenangkan suara mayoritas, keluarga Al Sabah harus mengajukan nama tiga kandidat lainnya untuk Majelis Nasional yang salah satu dari  mereka  untuk  memegang  pos  jabatan  tersebut.  Setiap  perubahan  konstitusi  dapat diusulkan oleh Amir, tetapi harus disetujui oleh lebih dari dua per tiga anggota  Majelis Nasional sebelum diimplementasikan.

Trias Politika

Kepala negara Kuwait adalah Amir dengan gelar syaikh yang diwarisi turun-temurun. Sebuah Dewan Menteri, juga dikenal sebagai menteri kabinet, membantu perdana menteri dalam tugasnya sebagai pemerintah Kuwait yang harus diisi setidaknya satu anggota terpilih parlemen Kuwait, yang dikenal sebagai Majelis al-Ummah (Majelis Nasional). Majelis Nasional  ini  memiliki  kekuasaan  untuk  memecat  perdana  menteri  atau  anggota  kabinet melalui   serangkaian   prosedur  konstitusional.   Amir   adalah  panglima   kepala  angkatan bersenjata Kuwait. Amir juga memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan dari hukum mati atau penjara.

Kewenangan legislatif diberikan kepada Amir dan majelis nasional (Majelis al- Ummah). Majelis Nasional terdiri dari 50 anggota yang dipilih untuk jangka waktu empat tahun. Mereka mewakili spektrum yang luas dari kelompok politik: liberal, demokrat, independen, dan kelompok Islam. Legislasi dapat diprakarsai oleh dekrit Amiri, menterinya atau  oleh  majelis.  Penempatan  rancangan  undang-undang  sebagai  hukum  tidak  dapat dilakukan melainkan ditangani Majelis Nasional.

Kekuasaan eksekutif terletak pada Amir dan dilakukan melalui menteri-menterinya yang membentuk Dewan Menteri (kabinet). Dewan ini terdiri dari 15 atau 16 menteri. Amir menunjuk dewan menteri atas rekomentasi perdana menteri.

Konflik Politik Kuwait

The Associated Press melaporkan bahwa pemilihan anggota parlemen hari Sabtu, 18 Mei 2008 lalu dimenangkan oleh kelompok musim garis keras Sunni yang menguasai 21 suara  dari  50  kursi  parlemen  yang  diperebutkan.  Kelompok  minoritas  Muslim  Syiah memenangkan 5 kursi. Pemilu parlemen kali ini merupakan pemilu yang kesebelas kalinya di dalam sejarah Kuwait.

Kelompok liberal hanya memenangkan 4 kursi dan gagal memenangkan kursi untuk untuk calon perempuan mereka. Aseel al-Awadi (39) dosen filsafat hanya meduduki peringkat ke-16 pada distrik pemilihannya.  Yang menang ialah mereka  yang menduduki peringkat sepuluh besar.

Kaum  perempuan  memperoleh  hak  bersuara  sejak  tahun  2005.  Namun,  sejak pemilihan tahun 2006 belum ada calon legislatif perempuan yang terpilih dari negeri yang sudah berdemokrasi selam 46 tahun itu. Padahal, pada pemilu tahun ini mayoritas pemberi suara justru merupakan kaum perempuan sebesar 55% dari seluruh jumlah pemilih.

Amir Kuwait kembali menunjuk mantan perdana menteri Syeikh Nasir al-Muhamma al-Ahmad Al Sabah (68) untuk menyusun kabinet baru. Kabinet ini akan menjadi cabinet keempat. Syeikh Nasir al-Muhammad adalah keponakan dari Amir Syaikh Sabah al-Ahmad al-Jabir Al Sabah dan menjabat perdana menteri sejak tahun 2006.

Kaum  reformis  menyesalkan  penunjukan  kembali  Syaikh  Nasir  sebagai  perdana menteri.  Apalagi  kalau  ia  sampai  memilih  kembali  wajah  lama  untuk  menduduki  posisi penting dalam kabinetnya. Bila hal itu terjadi maka konflik antara parlemen dan kabinet tidak akan sepenuhnya dapat teratasi. Pembubaran parlemen justru terjadi karena berlarut-larutnya konflik politik kedua kelompok tersebut.

Kaum Reformis juga menginginkan agar sistem kepartaian suatu saat akan diberlakukan di negeri Kuwait. Seorang perdana menteri nantinya akan dipilih oleh mayoritas suara di Majelis Nasional dan bukan atas penunjukan langsung oleh Amir seperti yang terjadi selama ini. Bila posisi perdana menteri ditunjuk oleh Amir, maka posisi-posisi kunci di dalam kabinet seperti Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri juga akan selalu ditunjuk dari kalangan ningrat yang berkuasa. Posisi menteri lainnya, seperti Menteri Perminyakan juga ditunjuk dari kalangan keluarga besar.

Kabinet baru sudah harus terbentuk sebelum tanggal 1 Juni 2008 karena pada hari tersebut Majelis Nasional sudah harus bersidang raya. Kabinet yang lama sudah demisioner sejak Senin, 19 Mei 2008, sesuai pemilihan umum yaitu sesuai tuntutan Konstitusi yang berlaku.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *