Aljazair yang resminya al-Jumhuriyyah al-Jazairiyyah ad-Dimukratiyyah asy Sya biyah (Arab) atau Republique Algerriance Democratique et Populaire (Perancis) adala ebuah negara terbuka di Afrika Utara (wilayah Maghrib). Negara ini berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah utara, Maroko di sebelah barat, Mauritania di barat daya, Mali dan Burkin Fasoo (Afrika Barat) di sebelah selatan serta Libya dan Tunisia di sebelah timur. Negar Aljazair berbentuk republik, memiliki dua bahasa resmi yaitu Arab dan Perancis. Dengan luas wilayah 2.381.741 km2, Aljazair didiami oleh 40.610.000 jiwa penduduk (2016). Islam sebagai agama resmi negara dianut oleh 99,1% penduduknya, dan mayoritas bermazhab Maliki, sedang selebihnya mengikuti aliran Ibad.
Sejak abad ke-19, kekuatan Turki Usmani melemah di seluruh Afrika utara. Akhirnya Libya menjadi jajahan imperialisme barat, terutama oleh Perancis dan Italia. Aljazair resmi menjadi jajahan negara Perancis sejak tahun 1830 sampai merdekanya pada 3 Juli 1962, dan setahun kemudian terbentuklah pemerintahan nasionalisnya sendiri.
Bangsa Perancis akhirnya menduduki Aljazair pada tahun 1833. Pertama tujuan merdeka tidak untuk menduduki seluruh negaranya, tetapi hanya pada kota-kota utama saja. Bagaimana pun di dalam beberapa tahun pengaturan orang Turki sebagaimana adanya, akhirnya runtuh dan Perancis wajib untuk bereaksi. Ketua opposan terhadap Perancis adalah penduduk Aljazair Abdulqadir, yang akhirnya ia juga menyerah pada tahun 1847. Kabilia mengambil alih sampai tahun 1857. Kemudian huru-hara selanjutnya terjadi pada tahun 1871 (mokrani) dan tahun 1881 (bau amama) yang mana Perancis berkuasa selama 20 tahun selanjutnya. Perancis juga membawa wilayah sahara di bawah kekuasaannya.
Sebelum Perang Dunia II, terdapat dukungan yang kuat antara kaum Muslim terpelajar untuk kewarganegaraan Perancis bagi seluruh masyarakat. Seiring berkembangnya semangat nasionalisme, mayoritas Muslim mulai menuntut kemerdekaan Aljazair. Pada tahun 1945 terjadi pemberontakan dengan skala besar melawan kekuasaan Perancis. Dua tahun kemudian statuta dibuat yang dideklarasikan oleh seluruh warga Perancis. Aljazair memperlakukan kaum Muslim sebaik non-Muslim bahkan mempresentasikan Aljazair di dalam parlemen nasional Perancis, dan menetapkan dewan perwakilan Aljazair, baik Muslim Aljazair maupun sejumlah kecil orang Eropa Aljazair dapat mengirim jumlah delegasi (Ajid Thohir 2009, 288).
Bersama hilangnya jajahan Perancis dari Indochina di Asia tahun 1945 pemberontakan anti Perancis pecah kembali di Aljazair, waktu itu di bawah pimpinan Front Pembebasan Nasional. Dua tahun kemudian pimpinan Aljazair Frehat Abbas, bergabung dengan front tersebut di markas besarnya di Kairo, Mesir dan pada tahun 1958 pemerintahan sementara pada Republik Aljazair diploklamirkan di sana, dengan Abbas sebagai perdana menteri. Perkembangan semangat nasionalisme berpuncak dari konflik politik untuk merdeka dari kolonial Barat, sehingga berputarnya masa dengan agak lama.
Empat puluh tahun yang lalu ketika Aljazair lepas dari Perancis dan memerdekakan diri untuk hidup bebas dari ikatan dan tekanan penjajahan Perancis tanggal 5 Juli 1962 Ahmed Ben Bella telah membawa Aljazair ke lembah nasionalisme Arab dengan harapan bisa menjadikan rakyat dan negara Republik Demokrasi Rakyat Aljazair aman, damai, maju, dan kaya sesuai dengan apa yang telah dicanangkan berdasarkan nasionalisme Arabnya.
Perjuangan umat Islam yang terpatri pada sejarah merupakan komponen utama permulaan gerakan nasionalisme Aljazair adalah gerakan kaum al-Ulama al-Muslimin. Asosiasi ini didirikan pada bulan Mei 1931 atas inisiatif sejumlah ulama Aljazair yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir. Mereka menyebarkan keyakinan bahwa despotisme dari dalam dan penjajahan asing dari luar adalah dua penyakit utama yang diderita umat Islam.
Syarat utama kebangkitan umat Islam adalah melenyapkan praktik bidah dan pelanggaran persatuan di kalangan Muslimin. Sebagai hasil usaha yang mengantarkan Aljazair mencapai kemerdekaannya Ben Kadis selalu melontarkan slogannya yang amat popular, yaitu “Aljazair negara kita, Arab bahasa kita, dan Islam agama kita.”
Ketika rezim militer sudah menganggap bahwa waktunya sudah matang untuk dilaksanakan pemilihan umum lagi, maka pada tanggal 5 Juli 1997, 2 bulan setelah undang-undang anti dasar agama bagi partai politik diundangkan, dilaksanakan pemilihan umum untuk wilayah memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Majelis Perwakilan Rakyat.
Pranata Hukum dan Ideologi Negara
Segera setelah mencapai kemerdekaan, Aljazair mengundangkan sebuah hukum untuk mengamandemenkan ordonansi 1959 dan mencabut ketentuan yang mengatur usia nikah. Di samping itu, hukum baru tersebut juga mencabut aturan yang mengharuskan penganut Ibadi mengikuti ordonansi tersebut. Dengan amandemen ini berarti ketentuan hukum yang tetap berlaku setelah tahun 1963 mengikat bagi keseluruhan warga negara. Setelah diundangkanya konstitusi tahun 1976, tuntutan kodifikasi hukum keluarga dan waris yang komfrehensif semakin meningkat. Untuk tujuan ini, pada tahun 1980 telah diajukan sebuah rencana hukum dimaksud kepada dewan nasional. Beberapa tahun kemudian, setelah melewati perdebatan dan pertimbangan rencana tersebut diterima dan ditetapkan pada tahun 1984. Aturan yang termasuk di dalamnya diambil dari beberapa aliran fikih, rancangan hukum keluarga yang berlaku di negara lain, khususnya Maroko.
Aturan materil yang terkait dengan undang-undang keperdataan adalah, usia nikah poligami, persetujuan wali, saksi dan mahar, perkawinan beda agama, perkawinan beda kewarganegaraan, nafkah, masa hamil, perceraian dan rujuk, mut ah (kompensasi), dan cerai gugat atau khulu.
Konstitusiolisme, Trias Politika, dan Kedaulatan
Konstitusiolisme dipandu oleh dasar-dasar ideologi negara yang disebut di atas, yaitu berdasarkan agama Islam sebagai hukum negara yang tertinggi dengan mengikuti perjalanan historis dan sosiologis. Adapun trias politika terbentuk di atas sistem demokrasi yaitu disebut sebagai al-Jumhuriyyah al-Jazairiyyah ad-Dimukratiyyah asy-Syabiyah, pembagian badan kekuasaan ini terbentuk dengan 3 bagian. Pertama badan legislatif/ dusturiyyah, kedua eksekutif atau tanfiziyyah, dan ketiga yudikatif atau qhadhaiyyah (Djazuli 2007: 36).
Secara umumnya, trias politika di Aljazair berfungsi seperti di negara Islam yang lain seperti Mesir dan sebagainya. Hubungan antara masyarakat dan kekuasaan berlandaskan prinsip kontrak sosial yaitu kepada negara boleh dijatuhkan oleh rakyat jika kepala negara tersebut berlaku penyimpangan tertentu. Ideologi ini adalah berpadukan kepada pemikiran ulama terkemuka pada abad pertengahan, yaitu Imam al-Mawardi (Munawir Sjadzali 2008: p 135).
Kedaulatan rakyat adalah prinsip utama di dalam pemerintahan Aljazair, sehingga disebut sebagai al-Jumhuriyyah, hak rakyat diutamakan selagi tidak melanggar syariat Islam sebagai konstitusi negara. Pada saat terakhir ini, trias politika lebih menonjol dengan menerima sistem pemilihan umum pada tanggal 5 Juni 1997 dan membuka ruang bagi kebebasan hak suara rakyat. Adapun badan legislatif mempunyai peran yang sangat komprehensif selepas berlakunya pembukuan undang-undang keperdataan pada tahun 1976. Secara umum pranata hukum fikih lebih mengarah kepada mazhab Maliki karena mayoritas masyarakat berpegang dengan mazhab ini.
Seputar Informasi Kasus
Mantan pemimpin gerakan Islam FIS Aljazair, Abbas Madani, yang pernah memenangkan pemilu parlemen sebelum diintervensi militer tahun 1992 yang lalu, menyerukan untuk memboikot pemilihan presiden tahun tersebut. Madani yang sekarang tinggal di Qatar setelah dibebaskan dari kurungan penjara selama 12 tahun sejak tahun 2003 lalu dilarang melakukan aktivitas politik di negara asalnya menyatakan bahwa pemilihan presiden tanggal 9 April nanti yang juga diboikot oleh dua partai oposisi Aljazair tidak akan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan bagi rakyat.
Presiden yang berkuasa saat ini -Abdul Aziz Bouteflika- yang pertama kali terpilih pada pemilu tahun 1999 berumur 72 tahun, dan pada hari Senin kemarin secara resmi mengumumkan pencalonan kembali dirinya. Parlemen Aljazair pada November lalu telah memutuskan untuk menghapuskan aturan sebelumnya mengenai pembahasan dua kali masa jabatan untuk presiden nanti.
Abbas Madani yang saat ini berumur 80 tahun telah mengalami penurunan kondisi kesehatan, setelah divonis oleh pengadilan militer sebagai tersangka perongrongan kekuasaan dan keamanan negara. Presiden Bouteflika membuat kebijakan untuk “maju dengan sebuah kebijakan rekonsiliasi nasional” yang diluncurkan kebijakan tersebut pada tahun 2000 yang mana telah membebaskan ribuan tahanan pejuang Islam dari penjara atau yang mau menyerahkan dan meletakkan senjata merek.
Sumber: Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Sejarah Islam Politik Modern, Jakarta: Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018
No responses yet