Jauh sebelum musim pandemi covid-19, aktivitas mengekspresikan lebaran melalui perangkat elektronik ini sudah ada; dimulai dari berucap selamat melalui pesan singkat atau SMS jadul atau kemudian lewat berbagai media sosial. Uniknya, ucapan selamat hari raya dan saling bermaafan melalui elektronik itu hanya sebagai permulaan saja. Ketika nanti bertemu langsung, orang-orang ini juga masih mengucapkan lagi kalimat-kalimat yang sudah mereka sampaikan sebelumnya. Jadi ucapan-ucapan lewat pesan elektronik singkat atau lewat media sosial itu belum dianggap nyata. Nah sekarang, karena dipastikan kita tidak bisa bertemu banyak orang, terutama yang jauh di kampung halaman sana, maka ucapan selamat dan permohonan maaf secara online ini menjadi lebih riil. Para penganut madzhab WHO menyebut kenyataan ini sebagai new normal, atau normalitas baru. Tapi baiklah, berdamai saja.
Sekarang, ucapan selamat dan anjang kegembiraan atau tahni’ah, saling berjabat tangan atau mushafahah, peluk-cium dan cipika-cipiki atau mu’anaqah, dan cium tangan atau taqbil al-yad secara “online” ini bisa diekspresikan dalam bentuk yang beragam. Istilah-istilah Arab barusan adalah terkait beberapa kesunnahan di hari lebaran, saya ambilkan dari kitab Tanwirul Qulub karya Syekh Amin Kurdi yang dibaca di bulan puasa kemarin. Untungnya, kita sudah sangat pintar memanfaatkan berbagai aplikasi dalam smartphone kita untuk merangkai kata dan gambar, pilihan warna, olah video, dan penambahan pernak-pernik yang meriah di sana-sini sehingga ekspresi berlebaran secara online ini menjadi “lebih riil”.
Tahun lalu, kelompok anti bid’ah masih sibuk berfatwa mengenai ucapan lebaran seperti apa yang dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabatnya dan harus seperti itu, tapi sekarang di musim lebaran online ini fatwa itu tidak terdengar lagi. Kreasi kita (bid’ah hasanah) di musim lebaran 1441 H ini sudah tidak terbendung lagi. Riwayat-riwayat mengenai ekspresi berlebaran di masa Nabi menjadi dasar (ihtijaj) atau kaidah umum untuk membuat banyak kreasi di masa new normal ini, dan semua itu menjadi biasa saja.
Beberapa orang kuatir, ikatan sosial akan semakin melemah di era normalitas baru ini. Ikatan kekerabatan semakin menyempit ke keluarga inti, itu pun yang sudah terlanjur bekeluarga. Orang semakin individualis. Beragama atau ber-Tuhan menjadi urusan personal. Lalu, ormas-ormas dan kumpul-kumpul semakin tidak relevan. Tapi melihat respon dan kepedulian sosial kita terhadap sesama di masa pandemi, lalu menyaksikan fenomena lebaran online ini, sepertinya kog normalitas baru ini hanyalah penerjemahan realitas lama ke dalam media baru saja. Substansinya, muatan nilai-nilainya tetap sama.
No responses yet