Tahun 1914 M Inggris mulai menjajah Irak. Kemudian diumumkan Irak menjad negara kerajaan pada tahun 1912 M. Jelang sebelas tahun kemudian, yaitu tahun 1932 M, Irak merdeka walaupun masih di bawah kendali Inggris hingga tahun 1958 M. Pada tahun ini Kerajaan Irak digulingkan dan berdirilah negara republik. Antara tahun 1958-1968 M banyak terjadi pemberontakan yang mengakibatkan kekuasaan berada di tangan militer. Kemudian pada tahun 1968 terjadi revolusi besar yang sangat bersejarah di Irak yang membawa partai Baats kepada tampuk kekuasaan. Tertanggal 17 Juli 1968 Irak memasuki babak baru di dalam sistem kenegaraan. Pada tanggal ini terjadi revolusi di Irak yang menumbangkan rezim Presiden Abdurrahman Arif dan diganti oleh Ahmad Hasan Bakar sebagai presiden dan Saddam Hussen sebagai wakilnya.
Revolusi ini dilaksanakan oleh Ibrahim Abdurrahman Daud, pemimpin pasukan garda republik ketika itu dan Abdurrazak Naif, Direktur Intelijen Irak masa itu. Naif dijadikan perdana menteri dan Daud dijadikan menteri pertahanan. Akan tetapi, keduanya adalah mata-mata yang bekerja untuk CIA, dinas intelejen AS. Daud mengatakan bahwa revolusi ini adalah perintah dari CIA yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan keamanan Israel di Timur Tengah. Setelah diketahui bahwa keduanya adalah mata-mata CIA, pada tanggal 30 Juli 1968 atau tiga belas hari setelah revolusi tersebut mereka diusir dari Irak.
Saddam Husain menjadi nomor satu di Irak pada tahun 1979. Sejarah perpolitikannya selalu diwarnai dengan darah selama itu dianggap perlu untuk melanggengkan kekuasaannya di antara bukti nyatanya adalah perang yang terjadi antara Irak dan Iran selama kurun waktu delapan tahun (1980-1988). Dua tahun setelah itu Irak kemudian menjajah Kuwait (1990) yang berakibat terjadinya Perang Teluk antara Irak dan pasukan sekutu pimpinan AS. Kekuatan Barat terus mengerogoti hingga Saddam Husain sang penguasa rezim ini runtuh agar Dunia Arab mudah diatur dalam urusan minyak dunia (Ajid Thohir 2009: 173).
Konstitusi Irak
Transisi demokrasi Irak pasca penggulingan Saddam Husain oleh invasi AS dan sekutunya mencapai tahap yang menentukan. Setelah pemilu nasional 30 Januari lalu pemilihan presiden 4 Juni, dan pembentukan kabinet sesudahnya, satu poin sangat penting bagi yang akan dihadapi rakyat adalah pembalasan mengenai konstitusi perlemen Irak konstitusi perlemen akan memberikan legitimasi bagi semua proses dalam kontemporisasi geopolitik mulai dari penyerbuan AS (Maret 2003) hingga pasukan asing keluar dari Irak. Dijadwalkan pada 2006. Diharapkan dengan konstitusi baru itu, krisis politik dan kekerasan di Irak dapat segera diakhiri, setidak-tidaknya berkurang.
Ada beberapa masalah penting yang harus diselesaikan dalam pembahasan draf konstitusi baru ini yang sebenarnya merefleksikan pertarungan kepentingan antara Sunni, Syiah, dan Kurdi. Pertama, masalah nama. Sunni menginginkan nama “Republik Irak” (al- Jumhuriyyah al-Iraqiyyah). Kurdi lebih menyukai “Republik Federasi Irak” (al-Jumhuriyya al-Iraqiyyah al-Itihadiyyah). Kelompok Syiah condong ke Republik Federasi Islam Irak (al- Jumhuriyyah al-Iraqiyyah al-Itihadiyyah al-Islamiyyah). Rupanya, kelompok Syiah ingin meniru nama Iran.
Namun, nama “Republik Irak” akan berpeluang banyak dipilih karena dianggap netral dan tidak sektarian. Kedua, posisi agama dan negara. Dua partai besar Syiah, SCIRI (Ayatullah Ali Sistani dan Abdulaziz al-Hakim) dan Partai Dewan (PM Ibrahim al- Jafari) menginginkan model pemerintahan Iran ditransplantasikan ke dalam negara Irak. Suatu hal yang dapat dimengerti mengingat keduanya selama ini memperoleh bantuan penuh (politik, uang, dan senjata) dari Iran. Namun, usaha itu ditentang oleh Kurdi dan beberapa partai Sunni. Mereka beralasan, dalam TAI disebutkan agama sebagai salah satu sumber legislasi bukan tunggal dan utama.
Pranata Hukum dan Politik
Kuffah yang merupakan salah satu kota yang berada di Irak merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah dan di kota itu pulalah madrasah al-ra’yu yang merupakan corak pemikiran Abu Hanifah berkembang. Aliran Syiah Jafariyah atau Syiah dua belas Imam ini menyebar luas pula di Irak. Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara keduanya, sehingga pada akhirnya dua madzhab ini memiliki pengaruh yang sama-sama kuat dalam perkembangan hukum di Irak. Seolah-olah hukum yang berjalan di Irak terbentang pada kedua madzhab itu secara bersama, yaitu hukum fikih Sunni dan Syiah.
Dalam perjalanan pembuatan undang-undang di Irak dari mulai belum terkodifikasi ingga perundang-undangan yang berlaku pada masa kini, masalah perimbangan antara kedua madzhab ini selalu menjadi isu sentral tidak hanya dalam isi materi undang-undang juga merebah kedalam politik, ekonomi, budaya, dan berbagai sendi kehidupan lainnya.
Pada akhirnya kompromi menjadi media yang menjadikan legalisasi hukum terwujud di Irak. Jadilah Irak memiliki sistem hukum yang merangkum fikih Sunni dan Syiah dalam peradilan agama. Sistem peraturan perundang-undangannya mencakup undang-undang yang mengatur konstitusi. lembaga legislatif, lembaga Judisial tertinggi, otoritas fatwa lembaga yudisial serta ketentuan lainnya (Tajul Arifin dan Cik Hasan Bisri 2002: p. 102). Meskipun sistem hukum Irak mengadopsi kedua madzhab di atas, nama agama yang diakui sebagai agama resmi negara adalah Islam (tanpa menyebut aliran).
Aliran Politik di Zaman Modern
Pasca runtuhnya rezim Saddam Husain, umat Syiah Irak yang berjumlah lebih dari 60 persen penduduk tampil memainkan peran politik penting di negara ini. Partisipasi luas warga muslim Syiah dalam pemilu beberapa tahun terakhir dan dukungan para ulama terkait engokohan proses politik di Irak membuat potensi dan peran mereka di gelanggang politik dan sosial semakin besar. Faktor yang sangat dominan pada pembentukan aliansi baru menjelang pemilu legislatif di Irak adalah pemilu dewan provinsi pada awal tahun 2009 ini. Pemilu tersebut telah mempersiapkan kelahiran kubu dan aliansi baru khususnya di kubu Syiah.
Berdasarkan Undang-undang Dasar Irak, presiden dipilih dari calon yang diajukan oleh aliansi politik yang berhasil meraup kursi mayoritas untuk membentuk kabinet. Aliansi sekuler Irak yang memiliki dua kursi lebih banyak dari aliansi negara hukum dikenal sebagai aliansi pertama di tubuh parlemen baru Irak. Namun, melihat kondisi politik Irak saat ini, hingga kini masih belum jelas sejauh mana kekuatan manuver politik yang bisa ditampilkan oleh pimpinan Iyad Allawi ini untuk membentuk pemerintahan.
Meski demikian, kendati Irak menganut sistem parlementer. Namun, tampaknya kesepakatan politik di luar parlemen lebih efektif untuk membentuk pemerintahan dan memilih perdana menteri. Pada kasus pemilu 2005, menyusul diumumkanya hasil pemilu, strategi pendekatan politik di luar parlemen ternyata sangat efektif untuk mengantarkan Nouri al-Maliki ke kursi perdana menteri, namun lantaran adanya sejumlah penentangan dan lobi- lobi destruktif dari beberapa aliansi politik, akhirnya setelah melewati perundingan maraton, nama Nouri al-Maliki dari alinasi Irak bersatu terpilih sebagai PM. Proses pembentukan pemerintahan di masa itu memakan waktu sekitar 4 bulan semenjak diumumkannya hasil pemilu.
No responses yet