Di dalam pemerintahan Syah Iran Reza Pahlevi, ribuan rakyat tanpa senjata menjadi syuhada karena mereka menuntut hak-hak mereka sebagai kaum Muslimin. Penguasa memaksa rakyat menanggalkan kerudungnya serta membuang Imam Khomeini ke pengasingan. Situasi ini mendorong terjadinya kemarahan rakyat Iran (Kedutaan Besar Republik Islam Iran: 9) Pengamat Barat, seperti Jhon L. Esposito menyebutkan Revolusi Iran di zaman modern sebagai “… salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat manusia”. Pemberontakan tersebut berhasil menggulingkan rezim otoriter pimpinan Syah Reza Pahlevi (Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll 1999: 66).
Menurut Hossin Bashiriyeh, ada lima landasan kekuasan yang dibangun oleh Syah yang kemudian memicu timbulnya revolusi dan menyebabkan jatuhnya Syah. Pertama, kontrol negara yang sangat besar atas sumber- sumber keuangan, khususnya minyak; kedua, program stabilitas dan pertumbuhan ekonomi serta intervensi ekonomi rezim ke dalam sistem ekonomi; ketiga, mobilisasi massa dan penciptaan suatu keseimbangan antara kelas melalui kontrol dan intervensi rezim; keempat, pembentukan hubungan dengan kaum borjuis kelas atas; dan kelima, diperluasnya peran kekuatan penekan dan ketergantungan kepada Barat terutama dukungan politik militer AS.
Revolusi ini merupakan hasil suatu protes akumulasi ketidakpuasan rakyat Iran terhadap kebijakan Syah, baik di bidang ekonomi, politik, agama, maupun sosial budaya. Keberhasilan revolusi itu banyak ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Di satu pihak terciptanya persatuan di antara kelompok penentang Syah Iran, baik yang berpaham nasionalisme dan di pihak lain muncul kelompok ulama seperti Ayatullah Murthahhari dan Ayatullah Khomeini sebagai lambang “pemersatu umat”.
Hal ini dimungkinkan oleh tradisi dan ideologi Syiah yang sangat berakar kuat di kalangan rakyat Iran. Struktur politik Iran mengalami perubahan secara besar-besaran sejak berakhirnya kekuasaan Syah. Bentuk negara berubah dari monarki-absolut di mana Syah berkuasa menjadi sebuah republik yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab Syiah. Perubahan konstitusional secara substantif dilakukan melalui referendum. Bentuk Republik Islam dan Undang-undang Dasar Republik Islam secara resmi disetujui mayoritas rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada tahun 1979 (John L. Esposito 1990: 1).
Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran
Berdasarkan asas-asas umum Konstitusi Iran, bentuk Pemerintahan Iran adalah Republik Islam, disepakati oleh rakyat Iran dan berdasarkan keyakinannya yang abadi atas pemerintahan Alquran yang benar dan adil, menyusul revolusi Islam yang jaya dan dipimpin oleh Ayatullah al-Uzma Imam Khomeini. Konstitusi Iran ini juga dikukuhkan oleh referendum nasional yang dilakukan tanggal 29 dan 30 Maret 1979 bertepatan dengan 1 dan 2 Jumadil Awal tahun 1399 H, ditentukan oleh mayoritas 98,2% dari jumlah suara orang-orang yang berhak memilih memberikan suara persetujuannya (Kedutaan Besar Republik Iran, Republik Iran selayang pandang: p. 11).
Republik Islam sebagai suatu sistem pemerintahan berdasarkan atas keyakinan pada: [1] Tauhid, La ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Kemahakuasaan-Nya dan syariat hanyalah milik-Nya semata-mata serta kewajiban mentaati perintahnya; [2] Wahyu ilahi dan peranan fundamentalnya dalam interpretasi hukum; [3] Hari kebangkitan kembali dan peranan konstruktifnya dalam penyempurnaan terhadap Tuhan; [4] Keadilan Tuhan dalan menciptakan dan menegakkan hukum agama; [5] Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam; [6] Kemuliaan dan nilai agung manusia serta pertanggungjawabannya dihadapan Tuhan yang menjamin persamaan, keadilan dan kemerdekaan politik, ekonomi, dan kebudayaan maupun persatuan dan sosialitas nasional melalui: a) Pelaksanaan langgeng hukum agama oleh ahli hukum yang memenuhi persyaratan atas dasar kitab suci Alquran dan hadis dari empat belas manusia suci, semoga Tuhan memberkati mereka; b) Mengambil manfaat dari pengetahuan dan pengalaman manusia yang sudah maju dan mengusahakan untuk lebih memajukannya lagi; c). Menolak untuk menindas atau ditindas; mendominasi atau didominasi.
Ideologi Negara
Iran tampak sekali mewakili bentuk pemikiran tertentu dalam Islam yang menganggap negara di dalam Islam ditujukan untuk mencapai sasaran yang tidak semata-mata bersifat duniawi (materialistik). Meskipun demikian, dalam praktiknya hal itu tampaknya tidak hendak dicapai melalui sesuatu yang dalam kosa kata politik disebut teokrasi, melainkan melalui mekanisme semacam nomo-demokrasi (yaitu gabungan antara sistem berdasarkan nomokrasi atau kekuasaan yang berbasisi kedaulatan hukum demokrasi), ataukah istilah “Teo-demokrasi” sebagaimana yang dirumuskan oleh Abu al-A la al-Maududi. Hal Ini merupakan sistem politik yang menggabungkan pemerintahan oleh hukum Tuhan atau syariah denga emokrasi yang mengandalkan partisipasi publik (Yamani 2002: 130).
Trias Politika
Setelah jabatan Imam, jabatan tertinggi negara dipegang oleh presiden yang merupakan pewenang yang mengepalai pelaksanaan Undang-undang dasar negara dan meletakkan dasar-dasar hubungan antara ketiga cabang pemerintahan, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Presiden dipilih rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Perdana menteri yang ditunjuk diajukan kepada Majelis Syura Islami untuk mendapat suara kepercayaan. Di Republik Iran terdapat 290 anggota majelis legislatif. Pada tahun 2000 Iran menggunakan sistem multipartai (Ajid Thohir 2009: 192). Parlemen merupakan pemegang kekuasaan legislatif dalam sistem politik modern dan menjadi syarat negara demokratis. Kekuasaan ini terpisah dari eksekutif untuk menjaga keseimbangan kekuasaan (balances of power), dan diberi tiga umumnya sebagai pembuat undang-undang. Begitu pula dalam pemerintahan RII. Parlemen menjadi salah satu bagian integral dari negara yang memiliki kedudukan setingkat lembaga eksekutif dan bertanggung jawab atas ketetapan dan pembuatan undang-undang di Iran. Hanya saja setiap produk undang-undang yang mereka rumuskan haruslah diuji oleh Dewan Perlindungan Konstitusi untuk mendapatkan legalitas tentang kesesuaiannya dengan syariat Islam.
Wilayah al-Faqih
Supremasi faqih muncul pula dalam kekuasaannya menyangkut pengangkatan dan pencatatan presiden. Ia memberhentikan presiden republik demi kepentingan negara setelah pengumuman suatu penilaian/evaluasi oleh mahkamah agung yang membuktikan bahwa sang presiden gagal memenuhi tugas legalnya atau sebuah pemungutan suara dalam majelis pertimbangan nasional mengakui ketidakcakapan politis sang presiden.
Demikian juga, pemimpin mempunyai kekuasaan untuk menunjukkan dewan ulama yang mengesahkan keputusan dasar hukum Islam, menunjuk mahkamah agung, memberi pengampunan, menghukum atau mengurangi hukuman, tetapi hanya menerima rekomendasi dari mahkamah agung.
Lebih detil lagi, dalam suatu refendum yang disetujui pada 1980, ada 10 tugas penting Wali Faqih yakni sebagai berikut:
- Mengangkat para pagaha dewan perwakilan, yang bertugas untuk mengawasi peraturan yang telah disepakati oleh Majelis Syura;
- Mengangkat anggota pengadilan tinggi, yang merupakan otoritas pengadilan negara yang paling tinggi;
- Mengangkat dan memberhentikan Komandan Staf Gabungan;
- Mengangkat dan memberhentikan Komandan Pengawal Revolusi;
- Membentuk Dewan Pertahanan Tertinggi;
- Mengangkat para komandan darat, laut, dan udara;
- Mengumumkan perang dan damai serta memobilisasi kekuatan;
- Menandatangani dektrit secara resmi pengakatan mandataris setelah ia dipilih oleh rakyat;
- Memberhentikan mandataris setelah pernyataan atas ketidakmampuannya baik oleh pengadilan tinggi atau Majelis Syura;
- Memberdayakan para pelaku kejahatan atau mengurangi hukuman mereka atas rekomendasi pengadilan tinggi
No responses yet