Fahmi Huwaidi dalam bukunya Muwathinûn lâ Dzimmiyyûn mengatakan, pemberian kebebasan terhadap non Muslim sesungguhnya levelnya setingkat dengan pentingnya umat Islam berakidah secara baik. Menurutnya, interaksi toleran tersebut harus lebih dari sekedar berbuat baik atau etika terhadap minoritas, akan tetapi naik pada level ideologis: bahwa interaksi yang demikian memang dituliskan di dalam al-Qur’an. Jika sampai berbuat aniaya terhadap minoritas, maka sama saja melakukan aniaya terhadap al-Qur’an.

Yang paling menarik dari tesis Fahmi Huwaidi ini, ia berusaha merunut historisitas “kafir dzimmi”, pembagian negara yang dikuasai oleh umat Islam (Dar al-Islam) dan negara yang dikuasai non Muslim (Dar al-Harb) bersamaan—di mana sampai pada kesimpulan, bahwa “kafir dzimmi” untuk sekarang telah hilang diganti warga negara yang disatukan oleh nasionalitas (muwathin). Tentunya ini akan berakibat hilangnya istilah yang menyertai kafir dzimmi: Dar al-Islam, Dar al-Kufr atau Kafir Harbi. Baginya, awal kemunculan Islam yang mendapat resistensi dari internal Jazirah Arab maupun luar Arab: siksaan Musyrik Mekah terhadap umat Islam, konspirasi Yahudi Khaibar, Bani Nadlir dan Bani Qaynuqa’, dan selainnya—memberikan pengaruh besar terhadap sarjana fikih dalam merumuskan interaksi dengan “yang lain”.

Terminologi Dar al-Islam sendiri muncul semenjak Nabi berhijrah ke Madinah. Dan selain Madinah, seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm, dihitung sebagai negara kafir yang bisa diperangi. Selanjutnya, terminologi “Dar al-Harb” dan “Dar al-Islam” menghiasi buku-buku fikih, sejarah, sampai muncul kesan, parameter yang dipergunakan untuk berinteraksi dengan “yang lain” adalah berdasar keyakinan mereka: Islam atau bukan Islam.

Akan tetapi, neraca “keyakinan” ini bukan satu-satunya parameter yang harus diimani. Beberapa pemuka Hanafiyyah dan Zaydiyyah mempergunakan parameter “aman” untuk sebuah negara disebut “Dar al-Islam” atau bukan: jika aman untuk orang Islam, maka bisa disebut Dar al-Islam, jika tidak aman, maka Dar al-Harb. Beberapa sarjanapun merumuskan ijtihad mutakhir: jika sebuah negara bisa dihuni oleh orang Islam dan mayoritas bisa melakukan aktivitas keagamaan mereka—walaupun nominal umat Islam di negara tersebut termasuk minoritas, status negara tersebut tetap dikatakan “Dar al-Islam”.

Di antara yang berpendapat demikian adalah Abdul Wahhab Khalaf, sarjana ushul fikih kontemporer Mesir, kemudian Dr. Subhi Mahmashani. Pandangan ini ditopang dari banyak data sejarah. Di antaranya perjanjian Nabi dengan Yahudi Bani ‘Auf: bahwa Yahudi dan umat Islam merupakan umat yang satu. Pun “Dar al-Islam” setelah masa Nabi mengalami pergeseran istilah: di mana negara-negara jajahan Islam mulai diberlakukan syariat. Atas dasar ini, Imam al-Sarkhasi, sarjana yang dijuluki “bapak Undang-Undang” mengatakan, “negara Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam. Tandanya, di tempat tersebut merupakan tempat yang aman bagi umat Islam.” Ini artinya, ijtihad fikih yang muncul belakangan sangat didominasi oleh konteks masa itu.

Yang kemudian menjadi catatan, bahwa klasifikasi “Dar al-Islam” atau “Dar al-Harb” merupakan produk ijtihad yang tidak didasarkan pada teks yang jelas, akan tetapi didasarkan “realitas”–konteks. Dan eksistensi Dar al-Islam yang dibicarakan oleh para ulama fiqh sekarang hanya di buku-buku sejarah semata. Untuk mengukuhkan tesisnya itu, Fahmi Huwaidi berusaha meruntut redaksi “dzimmi” dalam al-Qur’an dan al-Hadis.

Di dalam al-Qur’an, “dzimmah” hanya disebutkan dua kali. Adapun untuk menyebut selain Islam, lazimnya dengan redaksi “Ahl al-Kitab” dan “Musyrikin”. Sedang di hadis, redaksi “dzimmi” merupakan redaksi yang dipergunakan oleh Nabi sebatas pada interaksi dengan “yang lain” yang sudah ada akarnya semenjak masa Jahiliyyah. Dengan kata lain, “dzimmi” sebatas penyebutan “sifat—yang diadopsi dari interaksi Arab pra Islam dengan “yang lain”, bukan istilah dari “akar syar’i.”

Lalu, apakah “ahli dzimmah” bisa dianggap sebagai warga negara?

Menurut Fahmi Huwaidi, non Muslim yang berdomisili di suatu negara yang mayoritas dihuni oleh umat Islam merupakan warga negara resmi, bukan berstatus kelompok minoritas yang “numpang” di daerah orang Islam. Teks sejarah memang berbicara demikian: pernyataan Nabi dan empat khalifah setelahnya. Redaksi “ahlu dzimmah” sendiri dalam Undang-Undang dinasti Utsmani tahun 1876 dihapus, sekaligus menegaskan persamaan hak di antara warga Negara. Jika kemudian ulama Syafi’iyyah memandang Ahlu Dzimmah harus membayar “jizyah” (upeti) sebagai “ganti” untuk tinggal di Negara Islam, utamanya adalah al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, maka hal itu harus dipahami sebagai ijtihad yang disesuaikan dengan konteks. Nyatanya, upeti ini bukan hukum paten, sebab, ia bisa gugur dengan beberapa kriteria: masuk Islam, meninggal, ada alasan rasional, negara tidak bisa melindungi eksistensi “kafir dzimmi”, dan keikusertaan kafir dzimmi untuk melindungi negara Islam. Tesis ini dikukuhkan dengan pandangan Syibli al-Nu’mani dan Rasyid Ridla: upeti sudah ada semenjak pra Islam, dan berasal dari Persia. Al-Thabari dalam Tarikhnya juga berpandangan serupa.

Sedang untuk konteks sekarang, di mana sudah tidak ada yang disebut negara Islam—dalam pengertian mayoritas ulama fiqh klasik, menurut Dr. Isma’il al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, Undang-Undang sebuah negaralah yang menjadi rujukan bagi umat Islam ataupun non Islam. Artinya, penyematan predikat kafir harbi pada non muslim apabila terjadi konflik antar agama sudah kehilangan konteks. 

Lantas atas dasar apa kemudian orang Islam boleh untuk berperang dengan orang non muslim, bahkan membunuhnya? Pertanyaan ini menimbulkan perbedaan di kalangan sarjana fikih. Ulama Syafi’iyyah memandang, non muslim wajib diperangi sampai memeluk Islam. Akan tetapi mayoritas pakar fikih, termasuk pakar fikih Maliki, Hanafi dan Hanbali, non muslim bisa diperangi dan dibunuh jika mereka mulai memerangi orang Islam. Maka itu, Syekh Ali Jum’ah mengatakan, asal dari relasi antara umat Islam dengan non non Islam adalah damai. Bukan permusuhan (‘adâwah).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *