Nama dan gelar akademiknya Prof. Dr. KH Asep Saifuddin Chalim, MA. Beliau adalah salah satu sosok Kiai NU yang kharismatik. Beliau adalah pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Amanatul Ummah, baik di Surabaya maupun Amanatul Ummah Pacet yang fenomenal itu. Kiai Asep membangun pondok yang begitu megah, sekolah unggulan, dan universitas. Beliau juga perintis sekolah gratis Hikmatul Amanah di Desa Bendungan Jati bagi 1.000 anak dari sekitar desa itu. Kemudian ratusan beasiswa juga diberikan setiap tahunnya kepada kader-kader NU.

Selain itu, Kiai Asep juga menghidupkan kembali Persatuan Guru Nahdladul Ulama (Pergunu) sebagai Badan Otonom (Banom) NU yang puluhan tahun mati suri dan memberikan beasiswa pula kepada para guru anggotanya. Tidak sampai 10 tahun berdiri, santrinya lebih dari 10,000, dengan jumlah guru dan dosennya sekitar 800 orang. Sementara dari sisi prestasi, sebagai keluaran atas kualitas dilihat dari lulusannya terserap dibanyak perguruan tinggi unggulan.

Tak kurang ada 50 alumni setiap tahunnya yang diterima di jurusan kedokteran. Dan, sedikitnya 100 siswa diterima luar negeri dengan beasiswa seperti ke Eropa dan Timur Tengah. Untuk tingkat perguruan tinggi, saat ini Institut Kiai Haji Abdul Chalim (IKHAC) telah memiliki jurusan S1 dan S2. Tahun ini menargetkan membuka jurusan S3.

“Membangun Indonesia tidak bisa tidak, harus dimulai dari pendidikannya. Ini semua untuk peningkatan kualitas, idealisme kita berjuang untuk tujuan akhirnya yaitu melindungi NKRI,” kata Kiai Asep di Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, 8 Maret, 2020 siang hari. Kami patut bersyukur, kiai panutan dan “idola” kami itu akhirnya berkenan “memberkahi” Pesantren kami, yang lokasinya di pelosok Kabupaten Cirebon. Selain soal pendidikan, Kiai Asep juga mengingatkan bahayanya Oligorki yang menyusup di segala lini, termasuk pemerintah.

“Oligarki ini adalah ancaman sekaligus tantangan buat kita. Jika kita tidak segara sadar dan bangkit melawannya. Maka jangan harap ada masa depan yang lebih baik dan sejahtra untuk generasi berikutnya.” Ujarnya mantap. Kiai Asep memang dikenal kiai yang visioner dan progresif, beliau “berpikir global dan berprilaku lokal”, sebuah jargon yang sering disuarakan almarhum Gus Dur. “Prilaku dan sopan santun kita sebagai orang Jawa tidak boleh luntur, sebab itulah identitas kita, tetapi nilai-nilai islam yang universal dan ilmu pengetahuan kita tidak boleh ketinggalan.” Imbuhnya.

Karena itu, tak mengherankan jika mahasiswanya yang datang ke IKHAC, tidak hanya dari masyarakat sekitar, tetapi datang dari lintar propensi, bahkan dari luar negeri, diantaranya: Afghanistan, Kazakhstan, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Malaysia. Kiai Asep berambisi bahwa IKHAC sama persis dengan Jamiatu al Syarif al Azhar di Kairo, Mesir. Harvard University di Amerika Serikat dan Sorbonne University di Perancis.

Kiai Asep, dalam banyak kesempatan juga mengatakan bahwa, tidak ada cara lain yang paling efektif untuk mengembalikan zaman keemasan Islam seperti pada pemerintahan Harun ar Rasyid dan khalifah Al Makmun pada dinasti Abbasiyah, selain dendgan cara meningkatkan kualitas pendidikan. Pada masa itu Islam sedang ada pada masa Golden Age, itu dijadikan sebagai pertanda kemajuan ilmu pengetahuan di dunia.

Islam telah mewarnai peradaban dan jembatan era kesuburan pengetahuan yang tumbuh di zaman Yunani menuju zaman Eropa. Hingga saat ini beliau selalu menekankan dalam pidatonya untuk para santriwan-santriwatinya agar tidak menyerah dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu bersama-sama dapat mewujudkan kembalinya zaman keemasan Islam melalui jalur pendidikan. “Kami memiliki moto pesantren terdepan, sekolah unggul, mandiri, santri berakhlakul karimah dan pendidikan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.” Katanya pada sela-sela rama-tamah dengan kami.

Beruntunglah Pesantren Amanatul Ummat punya pengasuh seperti Kiai Asep. Latar belakangnya pendidikannhya komplit, meskipun anak seorang Kiai besar dan dikenal sebagai salah satu pendiri NU, nyatanya KH. Abdul Chalim mempersilahkan anak sulungnya ini mengenyam pendidikan umum. Setelah lulus MI di Kampungnya di Majalengka, mulanya, beliau merantau ke Tasik, sebagai santri di Pondok Pesantren Cipasung Jawa Barat, lalu merantau ke Jawa Timur, tepatnya sebagai santri di Pondok Pesantren Sono Sidoarjo, lalu di Pondok Pesantren Siwalanpanji Sidoarjo. Salah Satu Pondok Pesantren tua di Jawa Timur, dimana dahulu pendiri NU, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari juga pernah nyantri.

Di Pesantren terakhir ini beliau sambil mengenyam pendidikan di SMP Negeri 1 Sidoarjo. Lulus SMP Kiai Asep melanjutkan pendidikan di bangku SMA namun hanya sampai kelas 2 SMA saja karena ayahandanya wafat, cerita kepahitan ekonomi Kiai Asep yang menjadi kendalanya. Tak mau berlarut dalam duka, Kiai Asep kemudian meneruskan pendidikannya di Pondok Pesantren Gempeng Bangil, lalu di Pondok Pesantren Darul Hadir Malang, dan di Pondok Pesantren Sidosermo Surabaya. Terakhir, Kiai Asep Saifuddin Chalim dibesarkan di pondok pesantren Al-Khozini Sidoarjo sampai menjadi menantu salah satu pengasuh pesantren itu, karena sang pengasuh, Kiai Abbas, “terpesona” dengan kecerdasannya.

Ustad Gatot Sujono, teman nyantri dan saksi perjalanan hidup Kiai Asep pernah menuturkan, pasca Ayahnya meninggal, Kiai Asep harus menjadi santri yang mandiri, sebelum beliau mendapatkan pekerjaan sesekali memberi les pelajaran sekolah anak tetangga pesantren, Kiai Asep sering makan nasik karak (intip) dari sisa masakan santri lainnya. Bahkan tak jarang, Kiai Asep muda menjadi tukang masak dari teman-temannya, sekedar ingin “nunut” makan bersama.

Tetapi dengan keterbatasan seperti itu, Kiai Asep muda masih tetap semangat melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Al-Khozini. Kemudian Setelah mendapatkan surat keterangan lulus dari pondok pesantren Al-Khozini, Kiai Asep melanjutkan pendidikannya di IAIN Surabaya pada tahun 1975 mengambil jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab. Ketika kuliah inipun, tidak banyak yang tahu, kalau Kiai Asep terkadang menjadi “kuli” atau tukang bangunan.

Belum sepenuhnya lulus sarjana, beliau mendaftar kuliah program D3 Bahasa Inggris di IKIP Surabaya dengan ijazah persamaan SMA. Karena itu jangan heran, kalau kiai kharismatik ini lancar berbahasa Inggris. Kemudian sempat mengajar di SMA Negeri 2 Lamongan selama 7 tahun. Kemudian Kiai Asep melanjutkan studinya di IKIP Malang. Pada waktu yang lain, Kiai Asep telah menyelesaikan S2 pada tahun 1997 di Unisma Malang dan S3 pada tahun 2004 di UNMER Malang.

Jalan terjal dan berliku-liku juga petnah dijalaninya, termasuk menjadi kepala sekolah SMP swasta, membesarkannya tapi kemudian “disingkirkan.” Beliau pernah menjadi anggota pengurus PC NU Surabaya, sebelum jadi ketuanya. Pernah pula jadi ketua MUI Surabaya, juga menjadi anggota DPRD Surabaya dari PKB. Dia mundur dari jabatan ini setelah 4 bulan, karena suara hatinya lebih cocok pada dunia pendidikan. Statusnya kemudian menjadi dosen tetap UIN Sunan Ampel Surabaya dan baru saja dilantik menjadi guru besar di Universitas tersebut.

Keberhasilan Kiai Asep dalam banyak bidang, terutama bidang pendidikan dan pesantren, selain tentu karena kegigihan dan keuletannya, syahdan karena ‘sawab” Sang ayah. Ceritanya, tak lama Setelah kemerdekaan RI, Kiai Chalim (bukan KH. Abdul Halim, pendiri PUI) yang berjiwa nasionalis itu, aktif berpolitik dan ikut memperjuangkan NU, tapi hidupnya sangat sederhana. Begitu sederhananya, selain sibuknya, beliau belum bisa mendirikan pondok. Suatu hari, saat KH Abdul Wahab berkunjung ke kediaman Kiai Chalim, beliau mengingatkan bahwa, beliau adalah satu-satunya pendiri NU dari delapan yang belum punya pondok. Nah, pada saat itulah Kiai Chalim mengatakan kepada KH Wahab: “Nanti (salah satu) anak saya akan mempunyai pondok yang besar.”

Subhanallah. Itulah karomah Kiai Abdul Chalim. Kiai Asep Saifuddin, putra bungsu Kiai Chalim, sekarang mengasuh Ponpes Amanatul Ummah. Sebuah pondok yang fenomenal itu. Karena itu, tentu saja saya bangga menjadi salah satu wali santri PP Amanatul Ummah, dimana anak sulung saya Imtiyaz Zay Balqis Jazuli, menjadi salah satu santri di Madrasah Aliyah bertaraf Internasional (MBI), dibawah musyrif seorang ulama yang visoner dan progressif ini. Semoga kami bisa meneladaninya. Amin Wallahu’alam Bishawab.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *