Ustadz, dalam tradisi Nusantara dikenal istilah ritual “Uphawasa” atau menurut lidah generasi abad 20 disebut “Puwasa”, kemudian berdasarkan teori yg “ilmiah” buatan intelektualis maka dalam buku-buku ditulis “Puasa”. Ini jelas. Lalu, dalam tradisi Islam disebut istilah ritual “As-Shiyam”, tetapi para pendakwah Islam juga sering menyebut istilah “As-Shaum”, ini bagaimana?
Iya, term “As-Shiyam” maupun term “As-Shaum” banyak tertulis di khasanah Islam. Dulu, orang-orang tak ambil pusing soal dua term ini; sama makna ataukah beda makna? Akantetapi, orang-orang Islam Modern ramai-ramai memberi definisi dan pemaknaan ulang. Entahlah apa maksud dan tujuannya. Entahlah hal ini urgent ataukah tidak, bagi Islam dan umat Islam. Tetapi, baiklah, saya jelaskan di sini.
Di Al-Qur’an, Term “As-Shiyam” terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 dan Term “As-Shaum” dalam Surah Maryam ayat 26. Berikut teksnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu ber-PUASA sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 183).
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar ber-PUASA untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini“. (Q.S. Maryam: 26).
Menurut tradisi dan kebahasaan Arab yang umum berlaku, baik term “as-shaum” maupun term “as-shiyam” sama-sama bentuk isim mashdar yg berasal dari akar kata kerja “shaama-yashuumu” / صام يصوم . Akantetapi, term “As-Shaum” lebih populer dan biasa dipergunakan oleh masyarakat Arab umumnya.
Dalam studi kebahasaan yang mereferensikan pada Kamus dan ensiklopedi ilmu (Mu’jam), Term “As-Shaum” menurut bahasa dan tradisi Arab berkutat pada arti; al-imsak ‘an / الإمساك عن (tertahan dari), ar-rukud/الركود (stagnan) dan as-sukun/السكون (diam/berhenti).
Lihat saja misalnya, Ibnu Duraid (w.321 H) dalam kamus Jamharatul Lughah;
كل شَيْء سكنتْ حركتُه فقد صَامَ يَصُوم صَومًا
Segala sesuatu yang berhenti pergerakannya, maka sungguh ia telah shaama-yashumu-shaum(an).
Ibnu Faris (w 395 H) dalam kamus besarnya Maqayis al-Lughah menyatakan;
الصَّادُ وَالْوَاوُ وَالْمِيمُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى إِمْسَاكٍ وَرُكُودٍ فِي مَكَانٍ. مِنْ ذَلِكَ صَوْمُ الصَّائِمِ، هُوَ إِمْسَاكُهُ عَنْ مَطْعَمِهِ وَمَشْرَبِهِ وَسَائِرِ مَا مُنِعَهُ. وَيَكُونُ الْإِمْسَاكُ عَنِ الْكَلَامِ صَوْمًا…وَأَمَّا الرُّكُودُ فَيُقَالُ لِلْقَائِمِ صَائِمٌ…وَالصَّوْمُ: رُكُودُ الرِّيحِ. وَالصَّوْمُ: اسْتِوَاءُ الشَّمْسِ انْتِصَافَ النَّهَارِ، كَأَنَّهَا رَكَدَتْ عِنْدَ تَدْوِيمِهَا.
Shad, wawu, dan mim (shaum/ صوم ) merupakan kata dasar, yang menunjukkan arti tertahan dan stagnan di tempat. Olehkarenanya, kata “Shaumu As-sha’im” berarti terhentinya seseorang yg berpuasa dari makanan dan minumannya serta dari hal-hal yang dilarang. Bisa juga, “Shaum” itu berarti tertahan dari berbicara. Bisa juga, orang yang berdiri stagnan disebut As-shaa’im (orang yang shaum). “Shaum” juga dipakai untuk menyebut kondisi; “terhentinya angin”. Bahkan, “shaum” juga dipakai untuk menyebut kondisi; “Matahari yang persis lurus di atas kepala pada siang hari, seolah-olah matahari tersebut berhenti saat berotasi.
Senada dengan Ibnu Faris, Ar Raghib al-Isfahani (w. 502 H) dalam Al-Mufradaat fi Gharibi al-Qur’an juga menyatakan demikian. Namun, Ar Raghib menambahkan;
الصَّوْمُ في الأصل: الإمساك عن الفعل مطعما كان أو كلاما أو مشيا، ولذلك قيل للفرس الممسك عن السّير أو العلف: صَائِمٌ.
“As-Shaum” pada dasar kebahasaannya itu berarti menahan dari perbuatan; baik itu berupa makan-minum, ataupun berbicara, ataupun berjalan. Makanya, Kuda yang tertahan dari jalan-jalan disebut kuda yang shaum.
Uniknya, Baik Ibnu Faris maupun Ar-Raghib dalam kitab mereka sama-sama meriwayatkan term “As-Shiyam” dan mungkin ini hanya satu-satunya, yakni; hanya yang terdapat pada syair sastrawan pra-Islam ternama, yaitu Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad ibn Muawiyah, atau yg lebih dikenal dengan panggilan “An-Naabighah” (seorang yang pandai berpuisi). Inilah syairnya;
خَيْلٌ صِيَامٌ وَخَيْلٌ غَيْرُ صَائِمَةٍ # تَحْتَ الْعَجَاجِ وَخَيْلٌ تَعْلُكُ اللُّجُمَا
Ada kuda yang “Shiyam” (tertahan dan tak bekerja), sedangkan kuda lainnya tidak sedang shiyam. Di bawah debu ia meringkik, dan yang lainnya mengunyah tali kekang.
Dengan demikian disimpulkan bahwa secara dasar kebahasaannya, baik “As Shaum” maupun “As-Shiyam” memiliki arti menahan dari sesuatu; baik berupa aktifitas bicara (al-kalam), aktifitas makan-minum (at-tha’am wa asy-syurb) dan aktifitas terlarang. Akantetapi, term “As-Shiyam” sebagai sebuah kewajiban syariat itu mempunyai makna dan pengertian yang tidak ada dasar dan referensinya dari bahasa dan tradisi Arab.
Fikir deh; apa ada dalam bahasa dan tradisi Arab pemaknaan berikut ini ?! Yaitu, secara Syariat, “As-Shiyam” mengandung arti; menahan diri dari aktifitas makan, minum dan melampiaskan syahwat, dari semenjak Fajar hingga Maghrib, dan dilakukan dengan Niat yg benar. Bahkan, As-Shiyam secara syariat juga diartikan sebagai pembelajaran untuk menahan diri dari berbuat yg sia-sia, perkataan jorok dan kotor. Perhatikan Sabda Nabi ini;
“لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ، فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ”.
Bukanlah As-Shiyam itu hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akantetapi As-Shiyam juga harus menahan diri dari Al Laghwu (Perbuatan sia-sia) dan Ar Rafats (perkataan kotor, atau perkataan yang berkaitan dengan pergaulan laki dengan perempuan dan seluruh kata yang mengandung syahwat), dan jika seorang mencelamu atau mengajak bertengkar denganmu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku seorang yang berpuasa, sesungguhnya aku seorang yang berpuasa.”
Lalu, apa makna dari pilihan kata “As-Shiyam” untuk kewajiban berpuasa pada Surah Al-Baqarah ayat 183 itu?
Coba perhatikan deh, Allah ta’ala memilih kata As-Shiyam ( الصيام) yang mengikuti wazan ” الفعال “, Tidak memilih kata As-Shaum ( الصوم ) yang berwazan ” الفعل”, untuk menunjuk perintah ritual wajib nan sakral. Sehingga dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun, bila disebut term “As-Shiyam” الصيام pasti menunjuk pd pemaknaan syariat yg tersebut di atas, bukan lainnya.
Bandingkan ya, kata “As-Shiyam” ( الصيام) yang mengikuti wazan ” الفعال “, dengan kata As-Shaum ( الصوم ) yang berwazan ” الفعل”, menunjukkan ada tambahan “alif” antara ‘ain fi’l dan lam fi’il, sehingga kata As-Shiyam ( الصيام) lebih banyak. Menurut ulama Bahasa dan Sastra Arab Abul Fath Ustman ibn Jinni (w. 392 H) dalam kitabnya yang fenomenal Al-Muhtasab Fi Bayani Wujuhi Syawadzdzi al-Qira’aat wa al-Idhaah ‘Anhaa menyatakan;
الأصواتُ تابعة للمعاني، فمتى قويتْ قويتْ، ومتى ضعفتْ ضعفتْ. ويكفيك من ذلك قولهم: قَطَعَ وقَطَّعَ، وكَسَرَ وكَسَّرَ. زادوا في الصوت لزيادة المعنى، واقتصدوا فيه لاقتصادهم فيه
Suara-suara tersebut mengikuti makna-maknanya; kapanpun suaranya itu menguat, maka menguat pula maknanya, dan kapanpun suaranya itu melemah, maka melemah pula maknanya. Misalnya saja, kata Qotho’a قطع (tanpa tasydid pada tho’nya) berarti memotong, dan kata Qoththo’a (dgn tasydid pada tho’nya) berarti memotong-motong. Begitu jg, kata Kasara كسر (tanpa tasydid pada sinnya) berarti memecah, dan kata kassara (dgn tasydid pada sinnya) berarti memecah-mecah. Mereka (org2 Arab) menambahkan suara untuk menambahkan makna, dan memendekkan dalam suara untuk menyederhanakan makna.
Begitu pula, dalam kitabnya Al-Khashaish, Ibnu Jinni menegaskan;
فإذا كانت الألفاظ أدلّة المعاني، ثم زيد فيها شيء؛ أوجبتْ القسمة له زيادة المعنى به
Maka ketika lafadz-lafadz itu menunjukkan makna-maknanya, kemudian ditambahi sedikit di dalamnya, maka bagian tambahannya tersebut mengharuskan penambahan maknanya.
Nah, didapati pada kata As-Shiyam ( الصيام) yang terbangun atas wazan ” الفعال ” terdapat penambahan huruf dan suara, dibandingkan dgn kata As-Shaum ( الصوم ) yang terbangun atas berwazan ” الفعل”. Sehingga, secara Kebahasasn, hal ini berimplikasi pd penambahan makna untuk kata As Shiyam ( الصيام), berbanding kata As-Shaum ( الصوم ), yaitu; As-Shaum ( الصوم ) berarti menahan dari sesuatu yg khusus, sedangkan kata As Shiyam ( الصيام) berarti hukum-hukum yg terbentuk secara komprehenship berkenaan dengan Syariat puasa yg diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga, kata As Shiyam ( الصيام) dalam Al Baqarah 183 lebih mendalam, detail dan kompleks.
Di samping itu juga, kata As Shiyam ( الصيام) berbeda dengan kata As-Shaum ( الصوم ), sebab mengandung makna keberlangsungan dan keharusan (al-mudawamah wa al-luzum). Abu Ishaqa Az- Zajaaj (w. 311 H) dalam Ma’anil Qur’an wa I’rabuhu mengatakan;
ألا ترى أنّ الاسم للصيام هو الإِمساك عن الطعام والشراب، وأصلُ الصيام الثبوت على الإمساك عن الطعام، وكذلك الصلاة إنما هي لزوم ما فرض اللَّه، والصلاة من أعظم الفَرْضِ الذي أمَرَ بلزومه
Ketahuilah bahwasanya kata “As-Shiyam” ( الصيام) berarti menahan diri dari makan dan minum. Intinya, “As Shiyam” ( الصيام) itu adalah tetap-selalu menahan diri dari makan. Demikiann halnya, Shalat jg berdimensi ‘tetap-harus’ menjalankan perintah Allah, dan shalat adalah kewajiban teragung yang perintahnya mengandung keharusan.
Dengan demikian disimpulkan bahwa baik kata “As Shiyam” ( الصيام) maupun kata “As-Shaum” ( الصوم ) sama-sama memiliki arti menahan dari. Akantetapi, kata “As-Shiyam” ( الصيام) memiliki tambahan makna, yaitu; menahan diri dari aktifitas makan, minum dan melampiaskan syahwat, dari semenjak Fajar hingga Maghrib, dan dilakukan dengan Niat yg benar, sebagaimana diajarkan Rasulullah. Serta, kata “As-Shiyam” ( الصيام) ini memuat dimensi keberlangsungan dan keharusan (al-mudawamah wa al-luzum). Inilah makna detail dan ber-balaghah dari Surah Al-Baqarah 183 tentang syariat puasa ( الصيام).
Terus, bagaimana dengan kata As Shiyam ( الصيام) dan kata As-Shaum ( الصوم ) yang banyak dijumpai di hadis-hadis Nabi???
Benar sekali. Banyak hadis yang kata As Shiyam ( الصيام) dan kata As-Shaum ( الصوم ). Semuanya ini menunjukkan satu substansi, yaitu; syariat puasa, sebagaimana Rasulullah ajarkan. Ini meliputi; puasa wajib, puasa sunnah, puasa kafarat, maupun puasa Qadha. Sehingga fakta ini memaksa untuk mengatakan; Sama makna untuk term As Shiyam ( الصيام) dan term As-Shaum ( الصوم ), dan buang jauh pembedaan keduanya.
Tentu, ini tidak lantas mempertentangkan antara; pendapat yg mengatakan keduanya ( term As Shiyam الصيام dan term As-Shaum الصوم ) beda makna, dengan pendapat yang mengatakan dua-duanya sama sj maknanya. Sebab, Pendapat yang menyatakan keduanya beda itu terinspirasi dari pemaknaan balaghah yang mendalam dan detail terhadap term “As-Shiyam” dalam Al-Baqarah 183 sebagai marcusuar syariat puasa bagi umat nabi Muhammad. Tentu, ini tidak menafikan adanya sisi kesamaan antara keduanya, secara bahasa dan tradisi Arab. Sehingga, boleh kok; menggunakan term “As-Shaum” untuk menunjuk pada Syariat Puasa Ramadhan, misalnya. Tentunya, hal ini harus didukung oleh konteks pembicaraannya (siyaq al kalam).
Oleh karenanya, kata “As-Shaum” bisa menunjuk pada Syariat Puasa dalam Islam, bila didukung oleh konteks pembicaraan (siyaq al-kalam). Sementara, kata “As-Shiyam” dengan sendirinya sudah (otomatis ) menunjuk pada Syariat Puasa Nabi Muhammad, sebagaimana Al-Baqarah 183. Karena, pilihan Allah ta’ala pada term “As-Shiyam” tersebut tidak mungkin biasa-biasa saja, sia-sia dan tanpa makna.
Berikut contoh hadis yang menyebut term “As-Shiyam” dalam satu riwayat, tetapi juga menyebut term “As Shaum” dalam riwayat yang lain, tetapi masih semakna.
Sebuah riwayat dalam kitab Sahih Al Bukhari dinyatakan;
كلُّ عَمَلِ ابنِ آدمَ لَه إلَّا الصَّومَ، فإنَّهُ لي وأَنا أجزي
Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali as-shaum, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung.
Tetapi riwayat dalam Sunan An Nasa’i dan Musnad Ahmad dinyatakan;
كلُّ عملِ ابنِ آدمَ لهُ إلا الصيامَ، فإنَّه لي وأنا أُجْزي بهِ
Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali as-shiyam, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran kepadanya secara langsung.
Contoh hadis yang menyebut term “As-Shaum” sekaligus juga term “As-Shiyam”, sebagaimana dalam Sahih Al Bukhari;
صُمْ أفضلَ الصومِ، صومَ داودَ، صيامَ يومٍ وإفطارَ يومٍ، واقرَأْ في كلِّ سبعِ ليالٍ مرةً
Puasalah dengan seutama-utamanya As-Shaum, yakni; Shaumnya Nabi Daud, yaitu Shiyam sehari, dan berbuka (tak puasa) pada sehari (berikutnya).
Contoh hadis yang menyebut term “As-Shaum”, tetapi konteks bicaranya (siyaq al kalam) menunjuk puasa yg disyariatkan Allah untuk Nabi Muhammad dan umatnya, sebagaimana dalam Sahih Muslim;
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُقَبِّلُ في شهرِ الصومِ”.
Rasulullah mencium istrinya di bulan as-shaum ( maksudnya adalah Ramadhan)
Semoga pemaparan di atas dapat membuka cakrawala berfikir lebih luas, dan tidak berfikir sempit dan unfaedah.
Wallahu a’lam bisshawab.
Semoga bermanfaat dan berkah.
No responses yet