Mengapa puasa di bulan Ramadhan? Bukan di bulan Rabi’ul Awal, bulan Muharram, atau di bulan-bulan lainnya? Di antara jawabannya, karena dalam sejarahnya bulan Ramadhan adalah moment yang digunakan orang-orang Arab istirahat dari semua aktivitas peperangan, waktu gencatan senjata dan digunakan untuk waktu mengasah seluruh peralatan tempur, waktu mengasah dan mempertajam pedang, tombak, anak panah, dan peralatan lainnya. Dalam konteks inilah, maka puasa diwajibkan di bulan ramadhan dengan harapan puasa dapat mengasah dan mempertajam hati dan jiwa sebagaimana mengasah peralatan tempur.
Puasa tidak hanya secara formal, sekedar menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum pada siang hari. Akan tetapi sesungguhnya lebih kepada untuk mengasah, mempertajam, dan mencerahkan hati dan jiwa. Takwa sebagai tujuan puasa tidak mungkin terwujud, kalau hati masih kabur dan kotor, masih ada dendam, iri hati, buruk sangka, banyak debu dan karatannya, kalau jiwa masih gelisah dan bimbang dengan pengaruh egoisme duniawi berupa duit, jabatan, kekuasaan, dan segala macam assesorisnya. Sangat ironi dan menyedihkan ketika beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK) diwawancarai oleh jurnalis, bagaimana aktivitasnya selama bulan ramadhan? Para PSK menjawab, kita istirahat dan tidak melayani tamu dan pelanggan karena puasa dan menghormati bulan Ramadhan. Insya Allah, lepas lebaran, kita kembali beroperasi melayani tamu dan pelanggan seperti biasa. Astaghfirullh! Na’udzu billahi min dzalika! Bagi mereka puasa hanyalah sebatas tidak makan dan tidak minum serta tidak melakukan hubungan seksual pada siang hari. Puasa mereka secara syariat sah selama terpenuhi rukun dan syaratnya, tapi secara substansial dan fungsional, puasanya nihil atau kosong belum berpengaruh pada kualitas pencerahan dan penajaman hati dan jiwa. Padahal, hati dan jiwa inilah yang sesungguhnya harus benar-benar dijaga dan dipuasakan.
Itulah sebabnya dalam ilmu tasawuf, tidak cukup hanya sibuk dalam urusan syariat, tapi harus diiringi ma’rifat dan hakekat.
Syekh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwir al-Qulub sebagaimana juga kata imam al-Qusyairi:
asy-Syari’ah bila haqiqah ‘athilah wa al-Haqiqah bila syari’ah bathilah
(syariat tanpa hakekat adalah kosong/nihil.
Hakekat tanpa syariat adalah batil).
Mengapa hati dan jiwa perlu diasah dan dipertajam?
Karena hati dan jiwa yang banyak “berkarat dan tumpul” terutama sekarang ini. Kebanyakan sibuk dengan urusan-urusan dunia dan segala macam assesorisnya yang justru banyak memperkarat dan menumpulkan hati dan jiwa. Padahal hati dan jiwa inilah yang sesungguhnya banyak berkomunikasi dan kontemplasi dengan Allah. Bagaimana mungkin bisa merapat dan berkomunikasi secara intens dan aktif dengan Allah yang maha suci, kalau hati tidak suci. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an, “… kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” (QS. Asy-Syu’ara, 26: 89).
Hati yang bersih inilah yang kemudian menyebabkan jiwa akan semakin tenang dan damai. Jiwa inilah yang secara langsung dipanggil oleh Allah. “Hai jiwa yang tenang (nafs al-muthma’innah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr, 89: 27-30).
Dalam al-Qur’an surat as-Sajdah (S. 32) ayat 7, 8, dan 9 bahwa manusia pada awalnya diciptakan dari tanah, lalu disempurnakan dengan ditiupkannya ruh ke dalam tubuhnya.
Tanah merupakan simbol dari sesuatu yang rendah dan hina. Sedangkan ruh adalah simbol ketinggian dan kemuliaan. Pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani dari unsur tanah lebih dominan, misalnya terlalu banyak makan alias rakus, banyak pemenuhan syahwat, dan lain-lainnya, inilah yang menarik dan membawa manusia ke posisi yang rendah dan hina.
Banyak orang yang karirnya lumayan bagus, tapi karena terlalu banyak menuruti selera nafsu dan syahwatnya, maka ia jatuh ke tempat yang rendah dan hina, minimal misalnya ke tempat penahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebaliknya, apabila mau menapaki dan berada pada posisi yang tinggi dan mulia, maka harus lebih banyak dan dominan pada pemenuhan kebutuhan rohani, dengan akal, fuad (jamaknya af’idah), lubb jamaknya albab, qalbu, nafs (jiwa), dan ruh yang bersih, tenang dan damai.
Dalam bahasa tasawuf al-Ghazali, hati diibaratkan dengan kaca atau cermin. Apabila banyak debu atau kotoran yang menempel padanya, maka cermin itu akan kabur sehingga tidak tampak diri orang yang bercermin. Artinya, apabila hati kabur dan kotor dengan dosa, maka kebenaran tidak tampak, justru pembenaran terhadap diri sendiri yang selalu tampak. biasanya yang salah dianggap benar, dan yang benar dianggap salah.
Dalam hadis, Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila seorang hamba melakukan dosa, maka titik noda akan menempel di hatinya. Semakin banyak dosa, semakin banyak pula titik yang menempel dan menutupi hati. (HR. Tirmidzi).
Dalam bulan Ramadhan inilah akal, fuad/af’idah (hati), lubb/albab (hati), qalbu (hati), jiwa (nafs), dan ruh perlu diasah, dipertajam, dan dicerahkan dengan ibadah puasa. (Fuad, albab, dan qalbu selalu diterjemahkan dengan hati, padahal ketiganya berbeda).
Hanya saja puasa belum cukup, perlu nutrisi lainnya berupa
(1) qiyam al-lail termasuk tarawih, witir, tahajjud, dan shalat sunnat lainnya.
(2) dzikr, selain bacaan dzikir, misalnya la ilaha illallah, juga termasuk asmaul husna, menghayati dan mengerti perintah dan larangan Allah itu juga dzikir, termasuk mengingat nikmat Allah adalah dzikir.
(3) bacaan al-Qur’an merupakan ruh (menghidupkan) dan syifa’ (obat dan penyembuh).
(4) istighfar adalah kembali kepada Allah setelah menjauh dari-Nya,
(5) berdoa berarti membutuhkan dan menempelkan diri kepada Allah,
(6) shalawat wujud asli kecintaan,
(7) menyantuni anak yatim dan orang-orang yang lemah akan menghilangkan kesombohan dan keangkuhan sebagai penyakit hati.
Semoga dengan nutrisi hati dan jiwa tersebut di bulan Ramadhan, puasa kita semakin berkualitas dan sampai pada tujuan yang diharapkan. Amin.
Pontianak, 17 Ramadhan 1442 H/29 April 2021
No responses yet