Oleh : Ananda Fitria Ramadhanti
Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan segala kesenian dan kebudayaannya, dimana salah satu aset kebudayaan atau warisan budaya nusantara di negara kita salah satunya adalah Wayang. Wayang merupakan budaya yang berkembang di nusantara sejak lama, kurang lebih pada 1500 SM, budaya wayang ini tidak hanya berkaitan dengan seni peran saja, melainkan juga seni sastra, tutur, pahat, lukis, suara, dan juga seni musik. Wayang bisa dikatakan sebagai refleksi dari sebuah kehidupan karena dianggap mampu mendamaikan sekaligus menentramkan jiwa pada tiap orang yang menikmatinya, bukan hanya itu, wayang juga biasa digunakan sebagai media hiburan, pendidikan, dan juga dakwah, maka dari itu wayang dikatakan memiliki sebuah bentuk karakter yang tinggi bagi jati diri bangsa Indonesia, disisi lain menurut (Marsono,1991,hal.1) wayang juga mampu menghubungkan kondisi yang terdapat pada masyarakat, khususnya masyarakat Jawa mengenai tatanan alam nyata dan juga batin begitu juga halnya seperti hubungan seseorang dengan penciptanya.
Proses perkembangan wayang di Indonesia tak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, semua tentu terdapat pada babad kisah terdahulu, mulai dari kebijakan pemerintah, bentuk kesejarahannya kemudian juga mengenai proses pengakuan wayang sebagai warisan budaya Indonesia, sehingga pada saat itu perkembangan pelestarian terus berlanjut pesat. Namun sangat disayangkan, seiring dengan perkembangan zaman, wayang justru semakin ditinggalkan, membuat wayang semakin tidak dikenal oleh para penerus bangsa, yaitu generasi-generasi muda, tentunya hal tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai atau budaya luar yang mulai masuk dan berkembang di Indonesia yang mungkin dipandang jauh lebih menarik dan lebih modern untuk dinikmati, terbukti hingga saat ini pertunjukan wayang sudah sangat jarang ditemukan diberbagai daerah, hingga banyak dari mereka yang menganggap budaya ini adalah budaya yang kuno dan ketinggalan zaman, tak heran jika hal tersebut menyebabkan semakin terkikisnya budaya tradisional di negara kita.
Generasi muda yang berada dipinggiran desa pada saat terdahulu mungkin dianggap akrab dan relatif lebih dekat dengan budaya lokal, namun faktanya hingga saat ini antara generasi kota dan desa keduanya tidak memiliki pembeda dan pembatas yang menonjol, di masa sekarang baik kota maupun desa keduanya telah terpengaruh oleh budaya massa, sehingga mereka memiliki jarak pada budaya-budaya sekitarnya, yang baginya saat ini dianggap rumit dan tidak menarik untuk dipahami, sehingga kini pagelaran wayang terhitung rendah dan mulai kurang di minati untuk dinikmati. Padahal perlu kita sadari bersama bahwa wayang bukan hanya sekedar tontonan semata melainkan juga merupakan tutunan sekaligus tatanan dalam sebuah kehidupan, karena tentu sudah dari lama wayang bersemayam menjadi simbol yang menjadikan eksistensi kehidupan seseorang hingga pada kisah dari lahirnya manusia ke dunia hingga kembalinya mereka ke akherat.
Perlu kita garis bawahi bersama, bahwa pertunjukan wayang bukan hanya sekedar pelepas kejenuhan atau pengisi waktu kosong melainkan banyak manfaat yang bisa kita peroleh dari nilai-nilai tinggi yang terkandung pada setiap pertunjukan. Mungkin saat ini, budaya-budaya lokal seperti wayang ini sudah sangat tergeser dan bahkan terpinggirkan, tetapi perlu kita ketahui bersama, bahwasanya kondisi semacam ini masih bisa dihadapi jika kita semua masih mau berjuang bersama untuk menghidupkan kesenian lokal yang sebelumnya sudah mengakar di negara Indonesia. Pagelaran-pagelaran wayang dianggap kurang menarik bisa jadi karena segi bahasa Jawa yang hingga saat ini kurang dipahami karena dipandang rumit bagi semua kalangan khususnya anak muda, sehingga cenderung berat dalam mengangkat pesan atau nilai moral yang disampaikan, tetapi tentu saja masalah tersebut bisa diatasi dan berusaha melestarikannya dengan mengkolaborasikannya menggunakan Bahasa Indonesia yang mudah dipahami dan dimengerti.
Pada 7 November telah ditetapkan sebagai hari wayang nasional, yang tentunya diharapkan kesadaran masyarakat dalam menumbuhkan rasa cintanya dengan meningkatkan bentuk apresiasi dalam melestarikan budaya wayang, karena masyarakat tentu saja memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kelestarian budaya ini, mulai dari hal kecil saja misalnya seperti mulai menggelar pertunjukan wayang kembali ketika terdapat acara dengan tujuan merekatkan wayang dengan masyarakat sekitar, selain itu juga digunakan sebagai wadah atau lahan memperkenalkan ulang kebudayaan yang saat ini mulai tenggelam. Di samping itu, kita juga harus pintar-pintar dalam mengolah dan memilah ketika menggunakan media massa, karena tentu saja dengan media tersebut menjadi jembatan yang bisa menolong dalam melestarikan dan memberikan ruang untuk mengangkat tradisi perwayangan, jika mampu memanfaatkan dan menggunakan media massa dengan sebaik mungkin.
Dalam melestarikan wayang tentu saja diharapkan adanya campur tangan yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Mengapa demikian ? karena, tujuannya mengenai adanya sinkronisasi antara kebijakan kebudayaan dengan dunia pendidikan agar nantinya kebijakan-kebijakan tersebut mampu sejalan dengan apa yang telah direncankan dan diekspetasikan. Selain itu tentu dengan adanya pemberian celah dan dorongan budaya lokal/tradisi perwayangan ke dalam dunia pendidikan, tentu saja hal tersebut akan mempermudah dalam pelestarian kebudayaan wayang, karena dengan begitu tentu akan sangat membantu dalam menyampaikan segala hal mengenai kebudayaan indonesia karena sudah terdapat lahan yang berguna sebagai perantara pelestarian kebudayaan wayang melalui dunia pendidikan yang berarti secara tidak langsung juga akan memperkenalkan kembali kepada generasi-generasi muda saat ini. Hal ini tentu tidak hanya menguntungkan bagi para pecinta komunitas wayang saja, atau mungkin menganggap akan menguntungkan sebelah pihak, justru dengan masuknya tradisi ini ke sebuah kurikulum sekolah, tentu akan besar pengaruhnya bagi generasi muda, dimana mereka mulai mampu mengerti sedikit demi sedikit dan memahami sekaligus menghargai segala kebudayaan yang ada di Indonesia, maka dari itu kesenian lokal yang telah mengakar lama tentu akan tumbuh menjulang tinggi.
Biodata Penulis
Ananda Fitria Ramadhanti, mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Lahir di Banyumas, 18 Desember 2001. Agama Islam. Hobi menulis, dan menyanyi. Berdomisili di Desa Tambak Sari Kidul Rt 07/03, Kembaran, Banyumas (53182). Instagram: @ananda.afr . Ponsel: anandafitriaramadhanti101@gmail.com
No responses yet