Saya senang sekali terlibat dalam riset yang dibuat Yayasan Inklusif tentang UU No. 12 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan 49 aturan pelaksana. Salah satu fokus riset ini adalah melihat aturan-aturan yang melanggar dan berpotensi melanggar hak kemerdekaan beragama berkeyakinan (KBB).

Pertama, tidak banyak yang memiliki fokus pada isu KBB di antara timbunan isu aturan omnibus law ini. Kedua, regulasi Cipta Kerja adalah “contoh terbaik” persinggungan kuat antara hak sipil politik seperti hak beragama dengan ekonomi sosial budaya seperti hak atas kerja, ekonomi, dan hak atas adat lain-lain.

Dari kajian sementara, saya baru mengerti terdapat UU lain yang masih menggunakan paradigma “agama yang diakui” yang sebetulnya bertentangan dengan Putusan MK  Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang UU PNPS, namun masih dilembagakan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk.

Misalnya Penjelasan Pasal 54 Ayat (1) Huruf a UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Yang dimaksud dengan “rohaniwan” adalah pemuka  agama yang diakui di Indonesia. Aturan ini dinyatakan ulang dalam UU Cipta Kerja. Dampaknya tentu jelas, agama di luar yang enam tak masuk radar. 

Beberapa aturan Pelaksana Cipta Kerja menambahkan frase “agama/kepercayaan lainnya yang diakui oleh negara”. Contohnya Penjelasan PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pasal 5 ayat (2) menjelaskan, yang dimaksud fungsi keagamaan meliputi: f. bangunan peribadatan agama/kepercayaan lainnya yang diakui oleh negara.

Di luar aturan yang tidak bermasalah, apa saja aturan yang bermasalah, dampak, calon korban, dan rekomendasinya, akan menjadi bagian dari pertanyaan yang hendak dijawab riset ini.  

Kalimulya, 9 Juni 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *