Jadi benarkah konflik global bermula dari agama — banyak kalangan akademisi berpandang demikian. Ketakutan terhadap agama kian meruak. Sebab tampilan agama kian keras dan menakutkan.

*^^^^*

‘Manusia adalah makhluk pencari makna (meaning seeking creature). Dan saya — susah sekali menemukan Tuhan dalam bilangan rakaat shalat, atau lamanya sujud atau banyaknya otasbih. Lantas perlukah setiap pemeluk mendapat pengalaman transenden agar mendapat kelezatan ber-Tuhan dalam makna yang Kudus. Atau sekedar berputar putar dalam aturan baku yang tidak pernah bisa dipahami rigid.

Tafsir yang keras atas agama justru kerap membuat jarak, lantas banyak yang mendapati Tuhan dalam aturan yang sulit lagi menjebak, agama direduksi dalam aturan baku yang kaku dan sulit. Maka sesama pemeluk agama saling sikut dan bertengkar soal aturan dan tata cara. Hal hal transendence dalam agama pun lenyap berganti simbol dan ritual yang di-tuhankan’.

Kenapa agama bisa di tafsir keras ? Apakah ajaran agama itu yang memiliki potensi atau para pengikutnya yang tak cukup punya mampu lantas mengubah tampilan agama sesuai yang di maui. Realitasnya, tesis Huntington masih relevan dan Karen Amstrong membantah ringan

*^^^^*

Agama yang mestinya membantu kita dalam menemukan makna ini, tak cukup punya ruang, tapi kecenderungan interpretasi agama yang mengeras membuat orang merasa praktik dan doktrin agama tidak lagi relevan, mereka beralih kepada musik, literatur, tari, olahraga, atau obat-obatan untuk mendapatkan pengalaman transendensi yang sepertinya memang merupakan kebutuhan manusia. Kemudian Hallaj, Rumi, Rabiah dan Bustami pun kian mendapat legitimasi.

Tapi saya termasuk yang tak percaya jika semua sumber konflik global di timpakan pada agama. Battle for God, alasan di balik perang-perang besar di dunia dalam sejarah, seperti Perang Dunia 1 dan 2, bukanlah alasan agama, melainkan alasan nasionalisme dan ekonomi, perebutan sumber daya yang langka.

Demikian pula motif yang melatari kekerasan dan serangan teroris pada zaman sekarang sering kali adalah ketidakadilan, penindasan secara ekonomi dan politik. Argumen agama sering dipakai menjadi pencetus karena mudah menggerakkan sentimen orang.

*^^^**

Karen Amstrong cendekiawan besar dengan karya-karya fenomenal terhadap agama cukup representatif memberi jawaban argumentatif yang segar penuh ghirah. Tafsir Karen Amstrong atas hubungan agama dan fenomena sosial kontemporer cukup mampu mematahkan asumsi para ilmuwan barat yang sinis terhadap agama terpatahkan. Pertanyaan besarnya adalah kenapa banyak pengikut agama tak juga mengenal Tuhan nya dan tak punya sifat-sifat Tuhan yang diagungkan itu dalam dirinya ?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *