Categories:

Telah penulis singgung di status sebelumnya bahwa para peserta forum Rawdlah al-Musyawarah telah menyepakati suatu hal, yaitu: Tidak sah melihat Mabi’ (barang yang dijual) menggunakan kacamata secara mutlak berdasarkan tiga tendensi: Fatwa dari al-Imam al-Ramly, Pendapat dari al-Imam al-Syarqawy dan juga pendapat dari Syaikh Mahfudz Termas.

Pada Al-Maqshad al-Tsalis Kiai Sahal bercerita bahwa selang beberapa waktu setelah keputusan itu dibuat, Rawdlah al-Musyawarah mengadakan acara musyawarah istimewa, yaitu musyawarah yang melibatkan para peserta dan tokoh-tokoh diluar anggota se-Kabupaten Pati.

Pada musyawarah tersebut tim Rawdlah al-Musyawarah mengajukan keputusan yang telah dibuat sebelumnya, yaitu: Tidak sah melihat mabi’ (barang yang dijual) menggunakan kacamata. Setelah mendengar keputusan tersebut para peserta musyawarah bersiap untuk menolak. Mereka juga mengatakan:

“Melihat Mabi’ menggunakan kacamata (المنظرة) dianggap cukup bagi orang yang memiliki penglihatan yang kurang baik (ضعفاء البصر)”.

Sebagian dari mereka telah menulis sebuah risalah yang berisikan penolakan atas keputusan Rawdlah al-Musyawarah yang isinya kurang lebih seperti ini:

“Syaikh al-Ramly ketika ditanya apakah melihat mabi’ menggunakan kacamata dianggap cukup ataukah tidak? Kemudian ia berfatwa “tidak cukup” itu karena ia menganggap bahwa pengetahuan atas mabi’ tidak akan sempurna bila menggunakan kacamata. Hal ini terjadi karena terindikasi adanya Gharar (penipuan) yang telah dilarang di dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Namun bila difahami dari fatwa tersebut, jika melihat mabi’ menggunakan kacamata namun tidak mengurangi pengetahuan atas mabi’ maka ya dianggap cukup. Sebab Illat (alasan) lah yang menarik suatu hukum, jadi bila ada illat kok hilang maka hukumnya ya ikut hilang. Atau dalam ungkapan lain seperti ini:

الحكم يدور مع علته وجودا وعدما 

Hukum berputar bersama dengan illat (alasan) dalam ke ‘ada’ an maupun ke ‘tiada’ annya.

Lalu kenapa Imam al-Ramly menjawab tidak cukup?  karena kacamata yang ada di zaman beliau itu mengurangi pengetahuan atas mabi’, begitu juga yang terjadi di zaman al-Syarqawy. Maka hal ini mendasari diri mereka berfatwa demikian. Andaikan di zaman mereka terdapat kacamata yang dapat menyempurnakan penglihatan, niscaya mereka tidak akan berfatwa dengan fatwa tersebut”.

Mereka (para peserta diskusi) juga mengatakan bahwa kacamata di era sekarang banyak varian, ada yang dapat mengurangi kesempurnaan pengetahuan atas mabi’, maka hukumnya tidak cukup bila digunakan untuk رؤية المبيع (melihat barang yang dijual). Ada juga kacamata yang tidak menjadikan pengetahuan atas mabi’ menjadi kurang, nah kacamata yang model seperti ini hukumnya wajib digunakan bagi orang yang penglihatannya lemah karena dapat membantu mereka untuk melihat (متمم المعرفة). Hal ini termasuk di dalam kaidah:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

Atau kaidah:

للوسائل حكم المقاصد.

Kiai Sahal memberikan tanggapan atas penolakan tersebut, bahwa menurut Kiai Sahal penolakan yang keluar dari lisan mereka tidak lain hanyalah merupakan logika belaka dan tidak bertendensi.

Besambung … 

Sarang, 30 Desember 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *