Categories:

“Rumah adalah tempat ternyaman dan teraman untuk pulang”  

Ucap mereka sebelum mengetahui realitas rumah. Seyogyanya rumah adalah Rahim peradaban, namun realitas berbicara berdasarkan statistik bahwa lebih banyak perempuan yang mati dalam rumahnya, dibanding perempuan yang mati di jalan raya. Kekerasan yang bersembunyi di ruang-ruang privat berupa: penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, penyakit, kemiskinan, stigma, hujatan, perbudakan, masih menghantui rumah-rumah yang diangankan “bak istana bagi perempuan”.

Di sebuah budaya kala pagi mulai menjulang, digumamkanlah sebuah doa: “terima kasih ya Tuhan karena aku telah dilahirakan bukan sebagai budak, dan bukan pula dilahirkan sebagai perempuan”. Doa sebagai wujud realitas kejamnya kondisi pada saat itu, dan mungkin sampai sekarang masih dilakukan.

Kemarin sempat ada hukum yang nyasar tiba di rumah. Tapi bukan malah mengurus bagaimana kaum perempuan merasa aman, malah menjadi penyakit dan kabar duka bagi kaum perempuan sendiri dengan lebih mengurus hal-hal yang sifatnya privat dan persetujuan. Sedangkan berbicara tentang kebijakan negara yang selaras dengan hukum dan dibentengi oleh siasat patriarkisme politik. Anggaran kesejahteraan publik yang tidak tiba pada perempuan dan rumah t angganya. 70% APBD di hampir semua kabupaten habis untuk pos “belanja aparatur negara” alias “pos anggaran rutin”, lantas bagaimana mungkin ide kesejahteraan keluarga bisa terwujud bila anggarannya saja hanya untuk aparatur?

APBD bukanlah dokumen ekonomi semata. Awal mulanya adalah dokumen politik yang di dalamnya transaksi partai-lah yang berlangsung, tukar-tambah politik dalam pilkada oleh sebagian pimpinan juga turut ikut meramaikan bagaimana proses terciptanya APBD, dan berakibatlah pada struktur APBD yang kelihatannya konsumtif padahal ‘koruptif’. Pengabaian hak utama untuk kesejahteraan rakyat, dengan dalih bahwa indeks pembangunan manusia yang makin hari makin meningkat dengan seiring diperbaharuinya suatu sistem.

Dalam bidang hukum (read: kewarganegaraan, pernikahan, dan waris) upaya egalitarisasi yang merupakan hak perempuan sebagai dasar mencapai kesamaan akses pada kebijakan publik sudah menunjukkan pola gerakannya. Namun hambatan berupa kebudayaan yang masih fundamental dengan berintikan ajaran agama masih mencurigai proyek egalitarian sebagai sesuatu yang melanggar “kodrat langit”.

   Selama masa pandemi ini tercatat kekerasan gender meningkat drastis. Hal tersebut dikarenakan adanya beban pikiran yang dirasakan sampai terjadi stres karena segala pekerjaan harus dilakukan di rumah. Alih-alih mempunyai pekerjaan, bahkan banyak yang menjadi korban PHK atau pemecatan oleh instansi kerjanya.

Politik adalah ambisi yang tumbuh di luar rumah. Wilayah tersebut terbiasa diciptakan hanya untuk laki-laki. Tetapi sugesti keadilan feminis telah mendesakkan perubahan cara pikir melalui argumentasi, riset, dan advokasi. Kesejahteraan dan ukuran-ukuran keadilan pada masa kini dihitung langsung pada tingkat paling lokal, yaitu pada tingkat keluarga. Itulah sesungguhnya hasil panjang perjuangan politik feminis.

Mulai sekarang kita dituntut untuk berpikir melampaui doktrin ultitarian atau disebut kesejahteraan keluarga adalah ukuran dari adanya keadilan negara. Dengan cara ini, ada kesempatan sejarah untuk mengembalikan rahim peradaban dari penguasaan patriarki yang medarah daging. Bagaimana tidak, kesempatan itu pula yang menjadi titik balik bagaimana cara negara dalam merumuskan program kesejahteraan. Basis pelayanan publik bukanlah asuransi berdasarkan nilai ekonomistik. Keamanan sosial-ekonomi keluarga yang menjadi alat ukur atau indeks kebahagiaan di setiap keluarga menjadikan suatu kewajiban etis negara untuk menjamin batas deprivasi sosial warganegara.

Rumah sebagai rahim peradaban juga bersinergi dengan seluruh institusi kesejahteraan baik melalui jaminan kesehatan, pendidikan, sistem pengambilan keputusan politik. Adanya parlemen yang arogan, politik yang oligarkis, kabinet yang inkompeten, yang menjadi beban perubahan paradigma kesejahteraan publik yang tidak terelekkan.

Rumah adalah rahim peradaban, semua hal kecil berasal dari rumah. Negara hanya didirikan untuk menyelenggara peradaban. Setiap suara yang menjerit akibat tumpang tindihnya peraturan negara berasal dari dalam rumah, ini menunjukkan relaitas perbudakan, bukan peradaban.

Teori dan ideologi kesejahteraan sosial dunia sedang berubah drastis. Ada kesadaran etis global untuk mengakui bahwa peradaban yang telah diselenggarakan selama bertahun-tahun adalah di luar rahim perempuan. Kini pengakuan tersebut haruslah menghasilkan suatu kebijakan negara yang juga bermutu etis bagi smeua penghuni rumah. Itulah kesetaraan !

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *