Menurut saya, bencana terberat bagi seorang manusia itu saat dia diberi badai cobaan hingga di batas titik kekuatannya. Ilmunya tidak cukup untuk menalar badai tersebut, lingkungannya tidak bisa membantu menjelaskan secara logis, dia sendiri punya batasan untuk mengakses ilmu. Depresilah dia lalu dia lari dari kenyataan dengan tidak lagi mempercayai Gusti Allah. Entah itu jadi murtad atau jadi atheis.

Setiap santri harus punya kegusaran terhadap hal tersebut. Karena bagaimana mungkin Gusti Allah dianggap tidak ada hanya karena Dia tidak mengabulkan satu permohonan? Sementara kenikmatan hidup dari Gusti Allah sudah diterima orang-orang selama berpuluh tahun hidupnya.

Seorang santri harus bisa menemani orang yang menghadapi keguncangan demikian. Apalagi ini musim pandemi. Dari penyakit fisiknya, kebijakan yang kurang mendukung dan berbagai akibat sampingannya, sukses membuat banyak orang stress dan hampir-hampir melaknat Tuhan.

Jadi ada baiknya, para santri mengulang-ulang ilmunya, memperluas wawasannya hingga tidak kagetan, dan mempertajam argumentasinya tentang ketuhanan Gusti Allah. Lalu memposting hasil belajarnya di berbagai media, untuk menemani orang-orang yang sedang terjebak badai cobaan yang mengguncangkan hidup mereka. Syukur-syukur bisa membantu menggerakkan ekonomi dan memenuhi kebutuhan orang-orang tersebut.

Ini wujud syukur seorang santri atas ilmu. Karena memang gunanya ilmu adalah mendekatkan pemahaman (ma’rifat) kita dan orang banyak pada Gusti Allah. Dengan ilmunya, seorang santri perlu meraup sebanyak mungkin orang untuk mau menyembah Gusti Allah.

Mugi manfaat.

#AyoNyarkub #AyoNgopi

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *