Saya sowan kepada beliau tiap tahun selain karena rumahnya dekat dengan makam leluhur kami di Cepoko, juga banyak cucu cicitnya yang mondok di Tambakberas hingga saat ini.
Beliau mungkin hanya satu-satunya santri tertua Lirboyo yang masih hidup. Namanya Mbah Dalhar, beliau mengalami masa pendiri pertama (Mbah Kiai Abdul Karim) hingga kiai-kiai penerusnya. Mondok di Lirboyo antara tahun 1942-1956.
Mbah Dalhar tidak tahu pasti tahun kelahirannya. Beliau hanya bilang lahirnya di bawah tahun 1930, artinya usianya di atas 90 tahun. Alhamdulillah sampai saat ini masih sehat dan kuat puasa serta tarawih. Malah Ramadhan ini tarawihnya lebih jauh, karena masjid sekitarnya tutup, akhirnya tarawih ke Masjid Berbek Nganjuk, tapi tidak tiap hari, seminggu dua kali.
Sebagaimana dimuat dalam buku “Tambakberas: Menelisik Sejarah Memetik Uswah” dan juga diulangi beliau kemarin.
Sewaktu boyong dari pondok, beliau mengabdi ke masyarakat dengan menjadi kepala desa. Saat era jayanya Orde Baru, beliau disuruh masuk Golkar. Tidak hanya masuk Golkar, tapi ada instruksi agar memenangkan Golkar.
Tentu beliau enggan. Saat Golkar di desanya kalah, beliau dipanggil dan ditahan di kabupaten Nganjuk selama tiga hari. Akhirnya sekitar tahun 1970 an, beliau sowan ke Mbah Wahab Chasbullah. Beliau mengadu mau mundur dari kepala desa saja agar tidak ditekan penguasa.
Kata Mbah Wahab, ”Ora usah metu, sing penting atine, yang penting ojok Iepas dari NU.” Pesan Mbah Wahab tersebut dapat ditangkap akan konsistensi Mbah Wahab sejak jaman Jepang bagaimana bersiasat menghadapi penguasa yang represif. Mbah Wahab lebih menekankan strategi kooperatif dengan masuk pemerintahan, yang penting bisa mengatur hati dan tujuan kita. Akhirnya berkat pesan Mbah Kiai Wahab tersebut, Mbah Dalhar terus menjadi lurah selama 30 tahunan. Menjadi lurah sejak Pak Harto naik jadi Presiden, dan berhenti saat Pak Harto lengser.
No responses yet