Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, M.A., memperkenalkan terminologi “intoleransi ekonomi” sebagai pemantik awal. Sejak dahulu dalam catatan sejarah, warga Nahdliyyin jauh lebih antusias dalam wilayah ilmu pengetahuan dibanding urusan teknik-praktis kehidupan. Keterlibatan aktif Nahdliyyin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sosial-budaya, ekonomi-politik, hanya menjalankan amanah ilmu pengetahuan. “ngelmu kanthi laku, dari ilmu menuju kerja dan karya.”
Term intoleransi ekonomi semula rumusan saintifik. Selebihnya rakyat Indonesia pada umumnya dan warga Nahdliyyin pada khususnya harus mempertanyakan sesuai nasib dan pengalaman masing-masing. Apakah selama ini sudah sejahtera lahir batin, mudah mencari pekerjaan, gaji dan upah mencukupi untuk menafkahi keluarga, biaya pendidikan anak, jaminan kesehatan, dan tabungan hari tua?
Term intoleransi ekonomi adalah bekal untuk kita semua dalam mempertanyakan kebijakan pemerintah dari hulu ke hilir. Sejauh mana pemerintah mencintai negeri ini, mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, membatasi ambisi dan kontrak investor asing mengeruk kekayaan alam Indonesia, menyumbat saluran-saluran ekonomi orang pribumi yang tega melihat saudara sebangsa setanah air menderita kemiskinan, gizi buruk, tidak berpendidikan.
Dari term intoleransi ekonomi minimal ada dua aktor ekonomi-politik yang harus diawasi bersama: pertama, orang asing yang ingin mengeksploitasi dan mengeruk habis-habisan kekayaan negeri ini untuk dibawa pulang ke negeri mereka, dan kedua, orang pribumi yang berwatak asing dan suka memperkaya diri, disertai perasaan tega hati melihat bangsa ini tetap menderita.
Selebihnya tinggal mengamati bagaimana dua aktor ini menunggangi segala hal. Di dalam sistem demokrasi, sudah bukan perkara rahasia apabila terjadi jual-beli aturan hukum dan undang-undang, suap-menyuap pembuatan kebijakan, dan bagi-bagi hasil uang negara antara politisi dan pengusaha. Di dalam pembuatan kebijakan, misalnya, investasi asing memang satu sektor penopang pembangunan dalam negeri. Tetapi dalam realisasinya, hanya segelintir orang yang menikmati. Kelompok oligarki dengan permainan nepotis-kolutifnya.
Kiai Said Aqil Siroj memantik dengan konsep intoleransi ekonomi tidak akan pernah membuahkan hasil apabila tidak didukung oleh gerakan masif rakyat itu sendiri. Rakyat harus kreatif dan kritis untuk masuk ke dalam seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan saja ikut serta mengawasi jalannya pemerintahan melainkan jadi aktor penyeimbang. Dalam artian, tidak membiarkan negara dipegang kendali oleh aktor asing maupun aktor pribumi yang memperkaya diri dan kelompoknya.
Dengan kata lain, term intoleransi ekonomi adalah jalan perlawanan, jihad pembebasan, perjuangan merebut kemerdekaan. Tidak perlu ada rasa takut melawan orang-orang pribumi sendiri, apalagi asing, yang kebetulan memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Tidak perlu segan melawan pemerintah karena kita hanya setia pada bangsa dan negara. Sebab, pemerintah kadang representasi asing atau orang pribumi yang sudah tidak punya hati nurani.
Seandainya pemerintah adalah orang pribumi yang masih punya hati nurani, tentu ketimpangan ekonomi tidak ada dan pembangunan merata dari ujung barat ke ujung timur pulau Indonesia. Tentu sudah tidak ada lagi kategori kota besar, kota kecil, pinggiran, wilayah pedalaman dan terluar.
Seandainya pemerintah adalah asli pribumi yang belum kehilangan nurani dan belum bergabung ke lingkaran oligarki, tentu tidak mengubah negara jadi serigala. Tapi, nyatanya, negara jadi aktor perampasan lahan-lahan masyarakat, lahan-lahan ulayat dan adat, demi kepentingan investasi dan pembangunan, serta alasan-alasan lain yang dibikin-bikin. Bukan hanya terjadi di Pulau Jawa, tapi dari Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua. Apakah begini cita-cita luhur founding fathers kita dalam membangun negara?!
Setiap kali pesta demokrasi digelar, dari Pemilu hingga Pilkada, tidak seimbang antara antusiasme mencalonkan diri dan kontribusi perubahan selama periode kepemimpinannya. Antara janji manis saat kampanye dan komitmen menjaga marwah diri karena kadung berjanji tidak seirama. Politisi telah kehilangan marwahnya, dan lebih sebagai konotasi negatif dari pada positif.
Term intoleransi ekonomi sudah sepantasnya dipertimbangkan pada Muktamar NU 2020 di Lampung nanti karena dua alasan: pertama, sebagai manhaj pendidikan Islam. Jumlah besar warga Nahdliyyin yang tersebar dari kota hingga pelosok-pelosok negeri harus dididik dan diberi kesadaran perlawanan terhadap aktor-aktor jahat yang merongrong kekayaan negara. Warga Nahdliyyin tidak boleh tinggal diam melihat kejahatan kelompok kerah putih, dan harus berdikari dan mandiri tanpa banyak bergantung pada orang lain termasuk pemerintah.
Kedua, sebagai manhaj gerakan Islam. Ketika pemerintah bersama komunitas oligarkinya merasa tetap pada posisi yang nyaman seperti sedia kala, kehadiran pemerintah dapati “dihapus” dari kesadaran bersama kita. Sebab, warga Nahdliyyin hanya menyatakan setia pada bangsa dan negara bukan pada pemerintah. Urusan ekonomi dan politik di dalam negeri maupun internasional tidak perlu lagi menunggu suara pemerintah.
Sejarah jangan sampai dilupakan. Sejak kebangkitan Kerajaan Demak di tangan Walisongo hingga detik-detik Resolusi Jihad, semua itu bekal kita mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara di segala lini kehidupan; agama, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Sejarah kita jauh lebih tua dibanding pemerintah yang kekuasaannya silih berganti dan periodik.
Sejak hari ini dan hari-hari yang akan datang, sudah tiba waktunya bagi semua kalangan Nahdliyyin, mulai dari elite PBNU sampai pengurus di tingkat Anak Ranting, beserta seluruh badan otonomnya (Muslimat, Fatayat, Anshar, Banser, IPNU, IPPNU), untuk mengalihkan pandangan dan perjuangan; beranjak dari wacana intoleransi agama, radikalisme, dan puritanisme menuju perbincangan serius dan gerakan nyata menuju kemandirian ekonomi.
Pernah dimuat di tribunnews
No responses yet