Boleh jadi ada migrasi ideologi. Santri modernis menjadi sangat mengedepankan simbol. Sebaliknya santri tradisional mengedepankan substansi. Robert N Bellah pun kecele dan harus merevisi ulang tesisnya tentang prilaku politik santri yang kebalik-balik.
*^^^*
Perubahan signifikan sedang berlangsung, santri modernis berbalik menjadi sangat puritan, mengeras tanpa kompromi dan non kooperatif kepada yang berbeda. Bahkan dalam banyak hal sangat eksklusif, menafikan kebhinekaan dan keragaman dalam satu paket pikiran. Mengusung semangat anti rezim, dan tawarkan narasi politik sektarian.
Cenderung homogen. Mengidealkan khilafah dan satu kebenaran tunggal yang dicacah kecil-kecil dalam satuan ideologi sektarian. Implikasinya jelas, tiada tokoh pemimpin politik yang bisa menyatukan, sebab semua ingin menjadi imam dengan agenda politik yang berbeda-beda, meski mengatas-namakan Islam.
Politik santri modernis rawan konflik. Hal itu sudah terbukti. Bukan saja pada lawan politiknja mereka agresif tapi juga pada kawan seiring. Ini yang justru merisaukan. Artinya semangat progresifitas ini jika tidak terkendali akan sangat merugikan, karena merasa paling benar dan berhak di depan, tapi siapa bisa cegah.
*^^^*
James Peacok dan Nakamura menyebut bahwa persaingan Santri Puritan dan Santri Tradisional sudah cukup lama berlangsung–bahkan sejak era Wali Songo dan seteru terbentuknya Kerajaan Islam Pajang.
Di internal Wali Songo pun, terbelah antara wali pedalaman yang mendukung Dimas Sutawijaya yang kelak menjadi Panembahan Senapati dan Wali Pesisir yang mendukung Arya Penangsang. Juga bisa disimak dari dialog antara Sunan Ampel dan Sunan Kalijogo tentang model dan strategi dakwah yang mereka praktikkan. Disparitas ini terus terawat hingga saat ini tulis Fachri Ali.
Nurcholis Madjid atau Cak Nur, salah satu tokoh santri modernis pernah bilang: Islam yes partai Islam No— banyak diapresiasi positif bahwa Islam tak perlu banyak simbol sebab akan banyak menebar konflik’ katanya saat itu. Pun dengan Prof Amien, tokoh reformasi yang enggan dicalonkan sebagai Ketua PPP, partai berlambang ka’bah. Amien Rais tegas menolak dengan ucapan yang sangat terkenal: ibarat celana PPP terlalu sempit’. Sebab yang Pak Amien inginkan bukan Islam eksklusif, tapi inklusif yang menaungi, melindungi dan menjaga kebhinekaan, maka ia tunjuk Goenawan Muhammad dan Albert Hasibuan sebagai konseptor partai amanat nasional yang ia dirikan.
*^^^*
Tapi sayang sekali dalam perjalanan selanjutnya, Pak Amien menganggap PAN adalah ijtihad dari qaul qadim yg salah. Maka ia batalkan dengan Ijtihad kedua Partai Umat. Qaul jadid sebagai revisi. Semoga ini tidak mengulang pada kesalahan pertama. Tapi siapa bisa jamin.
Sebagaimana ijtihad, jika benar pahalanya dua, jika salah pahalanya satu. Partai Umat adalah pembatalan atas Ijtihad pertama. PAN adalah ijtihad yang salah maka perlu perbaikan atau revisi pada Ijtihad berikutnya. Dan maaf saya tak ikut. Ranting Muhammadiyah jauh lebih menarik dan menjanjikan sebagai wasilah berkhidmat—
No responses yet