Santri Sebagai Aktor
Dewasa ini, tentunya santri harus mampu melaksanakan tugasnya sebagai aktor untuk dirinya, atau keluarganya dan untuk orang lain. Apalagi santri pada saat ini dihadapkan kepada tatanan yang selalu berubah-rubah, dan bahkan sangat dinamis.
Tentunya santri pada saat ini, bukan hanya sekedar dia memahami obyek yang ia geluti selama dia mondok, akan tetapi santri harus mampu menjalani apa yang ia akan hadapi nantinya. Maka oleh karenanya santri pada saat ini, harus memiliki kemampuan yang sangat efektif dalam menjalani kehidupannya.
Pondok Pesantren dengan Wajah Baru.
Pondok pesantren tentunya disini, harus memberikan wajah atau tampilan baru, selain dia mengatur pola tingkah laku santri, atau memberikan kajian keislaman yang nantinya sebagai penyambung lidah demi menyiarkan agama islam.
Akan tetapi santri juga harus dibekali beberapa keterampilan, yang mana dengan keterampilan inilah nantinya memberikan sumbang sih yang sangat besar untuk dirinya dan bahkan untuk orang lain. Dan lagi-lagi kebanyakan santri selalu disibukan dengan perihal menggeluti obyek yang ia tekuni, sehingga keterampilan atau minat bakat santri tidak tersalurkan, maka yang terjadi adalah dia merasa kaku dan rijid, sehingga ia tidak mampu mengendalikan dirinya untuk membuat sebuah rencana baru demi kepentingan dirinya dan keluarganya, selepas ia keluar dari pesantren.
Santri dengan Pemikiran Kritisnya.
Disini tentunya harus adanya pemikiran yang sangat kritis untuk menyikapi itu semuanya, karena nantinya santri mau tidak mau, dia akan dihadapkan kepada rasionalitas instrumental, bukan lagi menekankan kepada obyektif, karena ia tidak akan puas kalau misalnya seperti itu. Tentunya ini sejalan dengan teorinya Jurgen habermas.
Dengan tindakan yang demikian tentunya ini harus adanya penunjang, dimana santri bisa mengembangkan bakat dan keterampilannya. Tentunya ini adalah sebuah keharusan, harus adanya publik figur, yang mampu mengarahkan santri, dengan fasilitas atau sarana yang sangat sederhana.
Gambar yang kita lihat dibawah ini (Ajengan Anom dengan motor antiknya), adalah sebuah hasil maha karya anak santri, yang harus kita acungi jempol, karena dia pada dasarnya sudah keluar dari hal yang ia geluti selama ini, akan tetapi, ini semua hanya sebatas, bagaimana santri harus mampu tampil dan bertahan hidup dalam tatanan yang selalu berubah-rubah.
Yang paling membuat saya takjub adalah, bagaiman seorang santri mampu memberikan terobosan baru dalam bidang otomotif, padahal kalau kita telisik secara mendalam, perihal sarana penunjang yang ia gunakan demi terciptanya karya itu, sangat minim sekali, dan ini dibuat dengan secara otoridak. Akan tetapi ini semua tidak menjadikan santri tersebut menjadi putus asa atau putus harapan, akan tetapi dia terus berjuang, berfikir dan bertindak demi terciptanya karya itu.
Akan tetapi, harus perlu di ingat, tindakan yang dilakukan santri itu bukan sebagai dasar tujuan ia mondok di pesantren, ini adalah hanya sebatas usaha besar yang nantinya ketika ia keluar dari pondokan ia tidak kaku lagi untuk bertahan hidup, karena ia memiliki sebuah harapan besar dengan adanya keterampilan, sehingga ia nantinya mampu untuk membiayai kehidupannya dengan cara membuka layanan jasa.
Santri dan Legitimasi.
Perihal mengenai obyek ia tekuni selama di pesantren dalam hal ini adalah ikut ngaji atau menimba ilmu agama, ini nantinya sebagai alat untuk menjaga dan bertindak sebagaimana mestinya santri, ia harus mampu bertindak yang mencerminkan santri. Contohnya adalah ia harus mampu jujur dalam menjalankan perihal tugas sebagai pelayan jasa.
Hal yang seperti ini yang harus ada dalam diri masyarakat, selain dia paham akan ilmu agama, akan tetapi ilmu agama bukan di jadikan sebagai alat utama untuk mendapatkan materi. Akan tetapi ilmu agama dalam hal ini ditunjukan sebagai sarana untuk berlaku baik serta menjalankan tugas suci, demi mendekatkan diri kepada sang maha pencipta.
Kendatipun santri itu nantinya, tidak begitu menguasai bidang ilmu pengetahuan agama, dibandingkan dengan orang yang fokus (ngaji to), ini tentunya, tidak mengurangi nilai-nilai kesatrian nya, dan bahkan orang yang seperti ini, sama sekali, tidak membutuhkan legitimasi manusia, atau pelabelan, yang ia butuhkan adalah bagaimana ia bertindak atau berprilaku baik tanpa harus menjualkan ayat-ayat agama.
#ajengananompembawaperubahan
#mugianerasmemberikanmotivasi
#banggajadialumnialhasaniyah
No responses yet