‎”…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan ‎mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan ‎sangat mengingkari (nikmat Allah).”  (Q.S. Ibrahim: 34)‎

Disadari atau tidak, manusia sering merasa iri melihat kehidupan orang ‎lain yang lebih baik darinya. Ketika melihat orang yang lebih kaya, lebih pintar, ‎lebih dihormati, lebih sukses darinya, tidak jarang muncul keinginan dalam diri ‎seseorang untuk bisa seperti mereka, atau bahkan bisa melebihi mereka.‎

Sebetulnya, keinginan tersebut sangat wajar dan manusiawi. Karena ‎pada hakekatnya, setiap orang tentu mendamba kehidupan yang lebih baik ‎dari waktu ke waktu. Jika rasa iri tersebut dalam arti positif, yaitu bertujuan ‎memotivasi diri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, dengan ‎meningkatkan etos kerja, mengembangkan diri dengan bekal pengetahuan ‎dan keterampilan, maka hal itu sah-sah saja.‎

Persoalannya adalah, jika rasa iri itu dalam arti negatif, yaitu ‎memunculkan rasa tidak suka kepada orang lain. Sehingga apa pun yang ‎berkaitan dengan orang lain, berupa harta, ilmu, jabatan serta kehormatan ‎yang dia miliki menjadi alasan seseorang untuk membencinya. Lebih buruk ‎lagi, karena rasa benci kepada seseorang, maka dengan berbagai cara orang ‎yang iri itu berusaha untuk dapat menjatuhkannya. Membuat usahanya ‎bangkrut, misalnya, memfitnahnya, atau bahkan yang paling sadis ‎membunuhnya. Semua dilakukan karena kebenciannya kepada seseorang, ‎yang nota bene, dalam pandangannya lebih segala-galanya dari dirinya.‎

Inilah kondisi umum yang terjadi pada diri seseorang yang tidak ‎pandai bersyukur. Dia selalu melihat orang lain lebih baik serta lebih sukses ‎darinya. Dia selalu melihat rumput tetangga lebih hijau.‎

Padahal, kalau dia sadari, dalam dirinya sungguh banyak nikmat, ‎anugerah serta potensi yang Allah berikan dan harus disyukuri. Nikmat hidup, ‎nikmat sehat, nikmat kesempatan serta nikmat-nikmat lainnya adalah ‎anugerah serta modal luar biasa yang Allah berikan. Tinggal bagaimana ‎seseorang menggunakannya.‎

Dalam masyarakat Jawa ada istilah sawang-sinawang, yaitu ‎kecenderungan seseorang yang melihat kehidupan orang lain lebih baik, lebih ‎menyenangkan darinya. Padahal, belum tentu orang yang dia anggap ‎menyenangkan kehidupannya, dalam kenyataannya juga seperti itu. Bisa jadi ‎kehidupan orang yang memandang orang lain lebih baik, jutru lebih baik dan ‎lebih menyenangkan daripada kehidupan orang yang dilihatnya. Begitulah ‎kehidupan manusia. Selalu saja ada perasaan kurang dalam dirinya. ‎

Maka, untuk bisa menikmati dan mensyukuri kehidupan ini, tidak lain ‎adalah dengan cara melihat ke dalam diri kita sendiri, bukan melihat ke luar ‎‎(baca: orang lain). Kita lihat apa yang kita miliki, bukan apa yang kita ‎inginkan. Bukan pula melihat apa yang orang lain miliki.‎

Lihat ke dalam, bukan ke luar. Lihat apa yang ada dalam diri kita. ‎Bukan apa yang ada di luar kita. Karena yang kita miliki adalah sebuah ‎anugerah yang luar biasa dari Allah Swt. Sementara yang di luar sana belum ‎tentu baik bagi kita.‎

Allah sangat tahu betul kapasitas serta kemampuan kita. Allah tidak ‎akan memberikan ‘sesuatu’ kepada seseorang yang menurut padangan-Nya, ‎orang tersebut belum siap untuk mendapatkannya. ‘Sesuatu’ itu akan Allah ‎berikan kepada orang yang tepat, di saat yang tepat dan dengan cara yang ‎tepat.  Inilah konsep kelayakan menurut Allah. Jika seseorang dianggap layak ‎oleh Allah untuk mendapatkan ‘sesuatu’, maka Allah pun akan memberikan ‎kepadanya. Tetapi jika orang tersebut tidak atau belum layak untuk ‎mendapatkannya, maka Allah pun tidak akan memberikan kepadanya.‎

Dengan memahami konsep kelayakan ini, maka tidak akan ada ‎perasaan kecewa dalam diri kita, ketika apa yang kita harapkan belum menjadi ‎kenyataan. ‎

Alih-alih mengeluh dan menyesali keadaan, karena keinginan memiliki ‎‎‘sesuatu’ di luar yang kita miliki belum terwujud, menikmati dan ‎memaksimalkan sesuatu yang kita miliki jauh lebih baik dan lebih bermakna ‎bagi kehidupan kita. Dengan cara ini, kita sudah menunjukkan rasa syukur ‎kita kepada Allah Swt. Maka, kita tinggal berharap, sesuai janji Allah di atas, ‎bahwa siapa yang bersyukur atas nikmat-Nya, pasti Allah akan menambah ‎nikmat kepadanya.‎

* Ruang Inspirasi, Senin, 7 Desember 2020.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *