Pengajaran Al-Quran telah mewarnai sejarah peradaban Islam. Berbagai metode telah digunakan dalam pengajaran tersebut, dari yang ala Baginda Nabi sampai metode kilat.
Bulan Ramadhan telah tiba. Banyak orang berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Quran. Masjid dan mushalla pun mendadak semarak dengan pengajian dan tadarrus Al-Quran. Pagi, siang, sore dan malam kaum muslimin seakan larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran, karena di bulan inilah kitab suci paling utama itu diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Disamping mengkaji dan mendalami kandungan Al-Quran, tentu akan sangat menyenangkan sekali jika selama Ramadhan ini kita bisa mengkhatamkan Al-Quran berkali-kali. Sebab setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan sepuluh kebajikan. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pahala yang akan diperoleh jika kita berhasil mengkhatamkan Al-Quran.
Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan umat Islam pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan ratusan kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah atas orang yang mengkhatamkan Al-Quran, yakni doanya saat khataman diamini lima puluh ribu malaikat. Sungguh luar biasa!
Namun untuk mengkhatamkan bacaan Al-Quran seorang tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Arab, tentu juga dibutuhkan keterampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar dan lancar. Dari kata tartil inilah lahir istilah murattal atau pembacaan Al-Quran dengan baik, benar dan lancar dengan irama standar, seperti yang sekarang banyak dijual dalam bentuk kaset atau CD.
Sebutan “baik” disini memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata baik tersebut juga menyangkut masalah sikap terhadap Al-Quran. Di mana seorang muslim dalam membaca Al-Quran tak sekedar menetapi pra syaratnya seperti suci badan, pakaian dan tempat, tetapi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar saat membaca Al-Quran yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemilik Al-Quran.
Sebab Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), maka membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. Bagaimana kita bisa merasakan bahwa setiap rangkaian huruf-hurufnya adalah untaian sajak-sajak cinta dari sang Khalik yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.
Sistem Face to Face
Sementara ungkapan “benar” yang dimaksud tentu terkait masalah tajwid (ilmu hukum-hukum membaca Al-Quran). Benar dalam membaca Al-Quran tentu berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhrajnya, benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai mad-nya dan benar dalam mendengung-tidakkan sambungan huruf sesuai dengan hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu pada bagian mana bacaan boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (washal) atau berhenti tetapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).
Sementara sebutan “lancar” dalam membaca menyangkut ketekunan diri dalam berlatih membaca Al-Quran. Semakin sering membaca Al-Quran akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, akan semkain cepat pula proses pengkhataman Al-Quran. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, akan semakin banyak pula kesempatan kita menimbun pahala khataman Al-Quran.
Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar dan lancar itulah para ahlil Quran (sebutan untuk orang-orang yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun mengajar Al-Quran disebut-sebut nabi sebagai umat terbaik. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan dn Ali bin abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR Abu Ubaid)
Sejak kapankah proses pengajaran Al-Quran ini berlangsung? Siapakah guru-murid pertama dalam ta’limul Quran? Dan bagaimana perkembangan pengaran Al-Quran dari masa ke masa? Berikut laporannya..
Sebagai firman Allah Ta’ala, tentu pengajar Al-Quran pertama kali adalah Allah SWT sendiri dan murid pertamanya adalah malaikat Jibril. Adapaun waktu pengajaran Al-Quran pertama ini hanya Allah jualah yang maha mengetahui.
Dari malaikat Jibril kemudian Al-Quran disampaikan atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi atau yang juga lazim disebut mushafahah adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung (face to face).
Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga ini pertanda ajalku sudah dekat.” (HR Bukhari)
Kunjungan Jibril ini diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf-mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau dan dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul yang telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1 – 5 Surah Al-‘Alaq, misalnya, kini menempati urutan surah ke – 96 dari 114 surah yang telah diturunkan.
Metode talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan yang dicontohkan oleh malaikat Jibril dan Rasulullah itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga saat ini. Metode talaqqi tersebut di Indonesia dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran (ini untuk membedakan dengan sorogan kitab kuning).
Murid Angkatan Pertama
Sedangkan tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW dan memeriksa bacaan serta urutan ayat dan surah yang beliau hafal tersebut kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran yang disebut takriran atau nderes. Ada juga tradisi sema’an, yakni seorang hafizh menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaannya.
Setelah dua fase pertama –dari Allah Ta’ala kepada Malaikat Jibril dan dari Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur— dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urut-urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Karena ketika mereka menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.
Manusia pertama yang belajar dan menghafal ayat suci Al-Quran setelah baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah, istri baginda Nabi Muhammad SAW. Kemudian disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi) dan Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Mereka antara lain Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash.
Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang untuk pertama kalinya merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa Rasulullah SAW. Melalui hati-hati bersih angkatan pertama umat Islam inilah cahaya Al-Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh sangat beruntung!
Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah pun mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat beliau yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghazi karya Ibn Ishaq, At-Taratib Al-Idariyyah karya Kattani dan Sirah Ibn Hisyam tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugaskan baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.
Para sahabat yang beruntung tersebut adalah Abdullah bin Mas’ud yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbab yang mengajar pasangan suami istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair yang diperintahkan baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelum hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membawa Surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.
Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, misalnya, beliau diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia sebelas tahun yang ketika itu telah menghafal enam belas surah Al-Quran. Belakangan remaja cerdas itu semakin dekat dengan baginda Nabi karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.
No responses yet