Oleh : Muhammad Iqbal
Orang Banjar, seperti juga suku lain, tidak semuanya taat beragama. Sementara itu, Islamisasi Arsyad al-Banjari di abad ke-18 telah melahirkan kaum santri awal di masyarakat Banjar…” (Mujiburrahman 2017: 243).
“Cepatlah pulang jika sendok dan piring sudah gemerincing di dapur….” (Saifuddin 1986: v).
Pasca muktamar perdana Nahdlatul Ulama (NU) terlaksana di kota Surabaya titimangsa 13 Rabiuts Tsani 1345 H atau 21 Oktober 1926 (Haidar 1994 & Fealy 2003), Tuan Guru H. Abdul Qadir Hasan mendirikan NU di kota Martapura, Kalimantan Selatan (Kalsel). Pengalamannya selama beberapa tahun belajar di Pondok Pesantren Salafiyah Bangkalan Madura, serta di Madrasah Shaulatiyah Mekkah, dianggap cukup untuk mendirikan NU di Kalimantan Selatan. Oleh sebab ketidakpuasan terhadap air mata ilmu keislaman, H. Abdul Qadir Hasan lalu tetap belajar mengaji kepada para tuan guru (ulama) yang ada di kampung halamannya. Di antara gurunya adalah Tuan Guru H. Abdurrahman (Guru Adul) dan Tuan Guru H. Kasyful Anwar, muassis Madrasah Darussalam, Martapura.
Setelah Tuan Guru H. Abdul Qadir Hasan mengikuti Muktamar NU, dia dianjurkan untuk mendirikan NU di Kalimantan, khususnya di Martapura. Kehadiran NU tampaknya mempunyai makna strategis, terutama untuk menjaga kelestarian ideologi Ahlussunah wal Jamaah, yang dalam muktamar itu menjadi keputusan yang dianggap paling penting. Sebagai santri yang taat, setelah balik ke Martapura, dia pun selanjutnya mendirikan NU pada 1927.
Kehadiran di Kalsel mendapat dukungan dari pimpinan madrasah Darussalam Tuan Guru H. Kasyful Anwar. Salah satu bentuk dukungan itu ialah dipinjamkannya sebuah kantor sementara di madrasah itu. Oleh karena itu, murid madrasah Darussalam akhirny juga menjadi basis pendukung utama NU. Madrasah yang semula dibangun oleh Sarekat Islam (1914), berubah menjadi madrasah NU sejak organisasi persyarikatan ulama ini berdiri di Martapura.
Pada periode selanjutnya, NU Martapura berkembang cukup pesat, hal ihwal ini ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah keanggotaan. Dalam waktu empat belas tahun, hinga awal kedatang Jepang, jumlah anggotanya telah mencapai 2000 orang. Informasi ini, menurut sejarawan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Syaharuddin, berdasarkan laporan utusan NU cabang Martapura dalam Musyawarah Kerja I Partai NU se-Borneo (Kalimantan) Selatan di Banjarmasin tahun 1953.
Dalam bukunya, Orang Banjar (Menjadi) Indonesia: Dinamika Organisasi Islam di Borneo Selatan 1912-1942 (2011: 90-98), sejarawan Syaharuddin mendedahkan bahwa ada beberapa faktor pendukung hadirnya NU di Martapura. Pertama, ialah ideologi Aswaja yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Banjar. Pemafhuman masyarakat terhadap Aswaja itu diyakini berkembang setelah kedatangan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Mekkah, dan secara konstitusional diundangkan dalam Undang-Undang Sultan Adam, tepatnya pada “Perkara I”:I
Adapoen perkara yang pertama akoe soeroehkan sekalian ra’jat koe laki-laki dan bini-bini beratikat dalam al soenat waldjamaah dan djangan ada seorang beratikat dengan atikat ahal a’bidaah maka siapa-siapa yang tadangar orang jang beratikat lain daripada atikat soenat waldjamaah koesoeroeh bepadah hakimnja, lamoen banar salah atikatnja itoe koesoeroehkan hakim itu menobatkan dan mengadjari atikat jang batoel lamoen anggan inja dari pada toebat bapadah hakim itoe kajah diakoe.
Kedua, pendirinya adalah ulama setempat yang cukup masyhur oleh masyarakat luas, khususnya di Martapura. Ketiga, adanya dukungan dari para ulama yang di mata masyarakat Banjar sangat ditaati segala pesan dan nasihatnya. Fakta itu dapat kita teroka dalam tradisi lumrah masyarakat Banjar, yakni penghormatan mutlak, apalagi bila sosok itu merupakan zuriat dari Nabi Muhammad saw.
Dari Martapura, NU terus berkembang dan menyebar ke berbagai daerah di Kalimantan Selatan. Tahun 1930-an telah berdiri cabang NU di Banjarmasin yang diketuai oleh H. Gusti Umar, dengan dibantu oleh Said Ali Alkaf, H. Achmad Nawawi, dan H. Hasyim yang berkantor di Jalan Sungai Mesa, kota Banjarmasin. Untuk mengembangkan organisasi ini lebih maju, para elite NU tidak henti- hentinya melakukan safari “politik” untuk mendirikan cabang di seluruh Kalimantan Selatan. Tahun 1932, para elitenya bertungkus-lumus dalam pengembangan NU ke daerah-daerah liyan di luar Martapura.
Ada empat cabang NU didirikan kala itu dalam waktu yang hampir bersamaan. Pertama, titimangsa 14 September 1932 beberapa pengurus NU ke Bati-Bati. Mereka di antaranya adalah H. Abd. Kadir, Kamar, M. Husin Nafarin, H. Ahmad, dan Abdurrahman. Pembentukan cabang di daerah ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari masyarakat setempat. Menurut Syaharuddin, indikasi itu terlihat dengan banyakya anggota(leden) yang mendaftar, yaitu sekitar 430 orang. Tentu saja, ini merupakan jumlah yang cukup besar untuk ukuran waktu itu.
Kedua, titimangsa 15 September 1932, rombongan pengurus NU melanjutkan perjalanan menuju Pelaihari. Di daerah ini mereka berhasil merekrut anggota sejumlah 270 orang. Ketiga, pada hari berikutnya rombongan melanjutkan ke daerah Pendjaratan, dan berhasil memperoleh anggota sebanyak 300 orang. Keempat, titimangsa 19 September 1932, rombongan pengurus melanjutkan ke Cempaka. Di daerah ini diperoleh anggota baru yang cukup signifikan, yakni 328 orang (Syaharuddin 2011: 95).
Setahun setelah usaha pembentukan NU di daerah Pelaihari, berdiri pula Majelis Konsul Wilayah NU di Barabai. Pendiri dan sekaligus pimpinannya adalah H. Sulaiman Kurdi. Dia dibantu oleh KH. Husin Arab dan KH. Hasan Arab (dua bersaudara). Majelis Konsul ini berkantor di samping Pasar Barabai. Tahun 1950-an, Majelis Konsul NU Barabai dipindahkan ke Banjarmasin. Selanjutnya, didirikan pula cabang NU di Negara sekitar 1935 oleh Tuan Guru H. Muhammad Yasin. Tahun 1939, NU cabang Negara menjadi tuan rumah Konferensi Daerah. Konferensi ini tidak saja dihadiri oleh pimpinan Majelis Konsul, urusan cabang, wakil cabang NU yang sudah berdiri, tapi juga oleh Hoofdbestuur NU, yaitu KH. Mahfudz Shiddik (Tanfidziah), dan KH. Mathuri Basyar (Syuriah).
Arkian, penerimaan masyarakat muslim Kalsel atas kehadiran NU di wilayah ini dan berkembang hingga kiwari, memperkuat asumsi, bahwa kondisi sosio-kultural masyarakat muslim Banjar yang sangat mendukung terhadap orientasi organisasi ini. Orientasi NU sangat konsisten terhadap pelestarian nilai-nilai tradisi dalam masyarakat Nusantara. Hal ihwal itu tampaknya menjadi hal utama mengapa kemudian masyarakat Banjar tertarik dan berminat serta mendukung NU.
Akan tetapi, menurut sejarawan Wajidi dalam bukunya, Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942 (2007), setelah NU berdiri di Kalsel, pelbagai perbedaan pendapat atau masalah khilafiyah di kalangan umat muslim Banjar semakin tajam, bukan hanya antara kaum tua dan kaum muda, tetapi juga antara organisasi ikutannya, yakni antara NU dan Muhammadiyah. Pada beberapa kasus, perbedaan pendapat itu telah menimbulkan perselisihan dalam keluarga, tidak bertegur sapa, perceraian, dan bahkan pertumpahan darah.
Saya akan mengutip kisah (penelitian etnografi selama Apri, Mei, dan Juni 1981) di Alabio, Hulu Sungai Utara, Kalsel, yang menarik sekali dari antropolog Prof. Achmad Fedyani Saifuddin dalam bukunya, Konflik dan Integrasi: Perbedaan faham dalam agama Islam (1986):
Ketika saya menanyakan kepada seorang informan yang akan pergi ke upacara perkawinan tetangga, “siapa yang akan mengawinkan,” katanya, “tetangga saya dua rumah dari sini, dahulu ia banyak membantu saya ketika saya mengawinkan anak saya dua tahun silam.” Informan juga mengatakan bahwa yang mengawinkan itu adalah urang sabalah (maksudnya penganut Nahdlatul Ulama). Seorang informan Muhammadiyah tatkala mendengar ada sanak keluarganya yang akan menikah, bertanya kepada yang membawa kabar, “kawin dengan orang mana?”, dijawab, “dengan orang kita juga (maksudnya sama-sama orang Muhammadiyah).
Memang ada kecenderungan kuat di antara penganut kedua faham ini dalam hal kemungkinan mengawinkan anak mereka dengan kalangan sendiri. Seorang informan merasa “agak keberatan” jika anaknya menikah dengan penganut faham yang lain, yakni Muhammadiyah atau Nadhlatul Ulama. Ia mengatakan, “sebaiknya anak saya menikah dengan sesama kami (maksudnya penganut faham yang sama), tetapi jika Tuhan menghendaki lain, saya akan menerima karena jodoh di tangan Tuhan.” Pada kasus perkawinan anak, seorang penganut Muhammadiyah dengan penganut Nahdlatul Ulama, prosedurnya biasa lebih rumit karena ada-ada saja sanak keluarga yang tidak setuju dibandingkan dengan perkawinan antara penganut faham yang sama.
Muktamar NU di Banjarmasin (1936)
Delapan tahun setelah NU berdiri, pada masa kepemimpinan Said Alwi al Kaff, dilaksanakan Muktamar NU XI di Banjarmasin, Kalsel titimangsa 8-13 Juni 1936. Muktamar dibuka langsung oleh NU, yakni KH. Wahab Chasbullah. Muktamar ini juga diikuti oleh utusan-utusan NU dari luar Kalimantan, serta majelis konsul dan beberapa cabang dan ranting NU yang ada di wilayah Kalimantan.
Titimangsa 9 Juni 1936, Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin telah membuat keputusan yang sangat unik. Keputusan inilah yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik, dan pemerintahan di Indonesia. Terhadap pertanyaan status tanah Hindia Belanda, yang sedang diperintah dan dibela dari serangan luar, dikemukakan jawaban bahwa hal itu wajib dilakukan menurut hukum agama (fikih). Diambilkan jawabannya dari salah satu genre ‘kitab kuning’ yang berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hassan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat tersebut: negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik. Duduk persoalannya, jelas sekali: selama kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Pikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum ahlus sunnah waljama’ah, seperti penerimaan mereka atas kekhalifahan (caliphate) Usmaniyah di Turki atas seluruh dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy (menurut pandangan klasik paham Sunni, kepemimpinan negara atau imamah, termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy, karena adanya ketentuan dari Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wassallam tentang hal itu). Dengan ungkapan lain, pemerintahan ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam atau bukan.
Konsep seperti itu dalam mendudukkan pemerintahan pada ‘posisi netral’ adalah inti dari pandangan mazhab Syafi’i ihwal ‘tiga jenis negara’: dar Islam, dar harb, dan dar sulh (negara Islam, negara perang, dan negara damai). Menurut paham ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya syariat Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau negara anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syariat Islam dari undang-undang negara. Negara damai harus dipertahankan, karena syariat (dalam bentuk hukum agama/fikih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslim di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.
Menurut Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1996), Muktamar Banjarmasin ini membahas dan menentukan sikap dalam hubungan dengan status Nusantara sebagai tanah air dan bangsa, yang wajib dipertahankan dari serangan luar, tanpa melihat sistem kekuasaan yang memerintahnya.
Kalakian pada 1945, NU turut menerima dan merumuskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (melalui kehadiran KH. A. Wahid Hasjim, KH. Masykur, dan Zainul Arifin). Keterlibatan mereka dalam pelbagai kegiatan nasional untuk menyongsong lahirnya kemerdekaan, berujung pada ‘Resolusi Jihad’ pada Oktober 1945, yang mewajibkan umat muslim untuk memperjuangkan kemerdekaan dan membela tanah air sebagai perjuangan di jalan Allah Swt. (jihad fi sabillillah). Sikap itu berarti tahap baru dalam pandangan NU, yaitu tahap menerima Indonesia tidak hanya sebagai tanah air (nusa) dan bangsa belaka, melainkan juga sebagai negara.
Tahap berikutnya adalah penempatan Presiden Republik Indonesia sebagai ‘waliyyul amri dharuri bissyaukah’ (pemegang kekuasaan temporer atas pemerintahan, dengan kekuasaan efektif). Tahap tersebut adalah tahap penerimaan pemerintahan dari sudut pandangan keagamaan Islam, pasca penerimaan atas nusa-bangsa dilakukan di Banjarmasin dan penerimaan atas negara beserta ideologinya di Jakarta pada 17 dan 18 Agustus 1945. Demikian.
No responses yet