Buku terjemahan yang terbit setahun lalu ini memang lebih banyak membicarakan Amerika. Tapi, judul yang dipilih dua profesor Harvard itu menggoda pembaca Indonesia macam saya untuk merenungi apa yang terjadi di Indonesia. Ke mana kita demokrasi berjalan.
Tentu saja ada komplikasi masalah dari niat membanding-bandingkannya. Dari sistem pemerintah, kultur demokrasi, struktur ekonomi dan sosial. Tapi pelajaran hidup demokrasi banyak diperoleh dari kehidupan negara lain.
Saya menyukai buku ini lantaran ditulis dengan gaya bercerita dan alur yang dipikirkan baik-baik. Setelah itu Steven Levitsky dan Daniel Ziblat melengkapi tulisan dengan analisis dan bukti-bukti tampak yang meyakinkan.
Bacalah pembuka bagian ketiga buku ini. Pada 15 Juni 2015, Trump turun ke lobi gedung miliknya, Trump Tower, untuk memberikan informasi penting: pencalonannya sebagai Presiden.
Namun, banyak orang menganggap peristiwa itu angin lalu. Ia kaya. Tapi, kekayaan konglomerat yang pernah menyumbang dana untuk Hilary Clinton sebelum mereka cakar-cakaran itu bukan jaminan. Trump tak ada potongan menang. Nyatanya Trump menang dan kelakuannya bikin banyak orang yang tak setuju pusing. Dunia dibuat dag dig dug dengan pernyataannya.
Penulis buku ini menyimpulkan dari empat indikator kunci perilaku otoritarianisme, Trump memborongnya. “Belum pernah ada sejarah sebelumnya,” kata penulis buku ini?
Trump digambarkan sebagai sejarah “orang luar” yang dipilih lalu memgacak-acak demokrasi dengan gaya otoriter. Ia seperti sejarah Getuillo Vargas di Brazil, Alberto Fujimori di Peru, Hugo Chavez di Venezuela, dan masih banyak lainnya.
Dari ratusan lembar halaman, buku ini sebetulnya hanya punya satu pesan di bagian akhir: tak ada satu pemimpin politik yang bisa mengakhiri suatu demokrasi; demikian juga tak ada pemimpin yang bisa menyelamatkan suatu demokrasi. Demokrasi adalah usaha bersama. Nasibnya bergantung pada kita semua. Kita semua yang menentukan. Tinggal kita mau apa.
Kalimulya, 17 November 2020
No responses yet