25 April 2021, atau bertepatan dengan 13 Ramadhan 1442 H, melalui wasilah Ust. Habibur Rahman Belubus, seorang pemuda yang sangat giat menelusuri hal ihwal ulama Luhak Limapuluh Kota, dapatlah saya dan dua ikhwan lainnya bersilaturahmi mengunjungi Abuya Tasril Tuanku Rajo Nagari (80 Tahun) di Sungai Joniah, Agam. Sosok yang kami jumpai ini ialah pemangku Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Thariqat Sammaniyah Khalwatiyah menurut garis silsilah al-‘Arif billah Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus. Beliau tidak lain ialah murid alm. Syaikh Mukhtar Ongku Tanjuang Belubus (wafat 1978), dan juga pernah berjumpa serta mengambil keberkahan dari Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim “Baliau Belubus” tersebut.
Pagi itu, waktu dhuha di hari Ahad, ketika matahari mulai naik, kami sampai di kediaman beliau yang asri. Rumah beliau berupa rumah gadang bergonjong lima. Sesuai dengan adat kesopanan, keramahtamahan seorang ulama surau, kami disambut ibarat anak yang sudah lama dinanti. Ada kesopanan, ikatan ruhani seperti ini sangat jarang dijumpai. Bagi saya, adab kesopanan dan ittisal ruhi ini hanya dijumpai di kalangan orang-orang surau (yang beri’tikad Asy’ariyah, berfuru’ pada mazhab fiqih, dan bertariqat-bertasawuf). Selain itu, belum pernah saya menjumpai keadaan ini.
Ada beberapa keistimewaan yang saya lihat pada peribadi beliau. Di antaranya fisik yang tidak setua umur beliau, yaitu 80 tahun. Beliau terlihat gagah, kokoh, dengan rambut yang masih hitam, tentunya ditambah dengan wajah mengkilap bekas wudhu’. Dalam usia sepuh tersebut beliau masih memimpin suluk dan mengajar silat. Selain itu, saya dapati pula ketegasan dan kelembutan beliau yang terjalin dalam setiap tutur. Terakhir, ketika menceritakan guru-guru beliau, dan nostalgia dalam meniti jalan sebagai salik atas maslak Naqsyabandiyah Khalidiyah, nampak semangat yang keluar dari keteguhan memegang kaji, timbul keceriaan dan kebahagiaan, seolah-olah seperti sedang menceritakan kekasih yang sangat dicintainya. Sedangkan saya, dalam keadaan demikian, penuh haru.
Banyak hal yang diambil dari ilmu, kisah, dan hikmah yang beliau tuturkan pagi itu. Pada catatan ini, setidaknya tiga hal, yang patut ditulis:
1. SENTUHAN DI UBUN-UBUN
Dalam berusia 13 tahun, Abuya Tasril sudah dibawa oleh orang tuanya menemui Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus (wafat 1957). Pada satu pertemuan ubun-ubun beliau disentuh oleh Syaikh Mudo Abdul Qadim, agak lama, sambil membaca beberapa do’a. Di saat itu Syaikh Mudo “membaca”, dan mengatakan jika dia (Abuya Tasril kecil) bersuluk niscaya ia akan berhasil. Sentuhan ubun-ubun ini membaca berkah, dan berbekas kuat, sehingga tidak terlupakan.
2. DO’A TANPA BACAAN
Ketika di Belubus, Abuya Tasril dapat intens dengan Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim yang saat itu sudah berusia sepuh. Ia melihat banyak tetamu yang datang mengunjungi Syaikh Mudo, dari berbagai daerah, bahkan dari Tanah Jawa, dengan berbagai hajat. Syaikh Mudo begitu dihormati sebagai ulama sufi yang berwibawa. Di antara hajat orang yang datang ialah meminta do’a dan obat. Ketika syarat obat, berupa bahan tanaman-tanaman (obat di surau ialah herbal), dan disodorkan untuk dido’akan, Syaikh Mudo terdiam sejenak dan menghembus obat-obatan tersebut dengan lembut. Syaikh Mudo berkata, dan Abuya Tasril ketika itu menyimak, bahwa tidak perlu banyak baca-bacaan (sebagai do’a), yang terpenting (dalam mendo’akan obat ini), ialah seberapa tajam ma’rifat tersebut.
“Maka pertajamlah ma’rifat!”, ucap Abuya Tasril.
3. DUNIA TERBAWA SERTA
Istri Abuya Tasril, seorang perempuan yang jernih wajahnya, yang duduk di samping Abuya, setelah mendengar kisah-kisah yang dibacakan suaminya pada kami, berujar dengan keyakinan dan kemantapan yang penuh: “Jiko mangikuti thariqat iko, in sya Allah dunia akan maikut.” Diucapannya ini diiringi dengan mata berkaca-kaca.
*******
Setelah bercerita lama, saya meminta beliau, Abuya Tasril, menyimak bacaan Do’a Rijalil Ghaib, dengan maksud mengambil berkah. Selesai saya membacanya, beliau mengatakan sah, dan saya bersufaha.
Aduhai kawan! Bersufaha dengan beliau-beliau ini, membangkitkan jazabat ruhani; kulit bergetar, air mata terbit, hati menjadi sendu. Saya minta pula do’a kepada beliau, agar kami yang muda-muda matah ini, kami yang tiada menaruh ilmu dan sedikit amal ini, istiqamah diatas jalan ulama-ulama muhaqqiqin. Ketika itu beliau sentuh pula ubun-ubun saya, sebagai mana Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus dulu menyentuh ubun-ubunnya. Seketika kembali hadir rasa, yang tak bisa ditulis dengan qalam, tak bisa terungkat oleh kalam. Allah. Kalimat jatuh dalam hati.
Andainya saja, orang-orang yang membantah sufi, menjatuhkan Naqsyabandiyah Khalidiyah, merasakan, tentu terkunci mulut mereka. Maka teringatlah saya pada satu bait Qasidah Ibni Bintil Milaq yang pernah disyarah oleh Maulana Syaikh Isma’il al-Khalidi Simabur al-Minangkabawi al-Makki:
من ذاق طعم شرب القوم يدريه # ومن دراه غدا بالروح يشريه
“Siapa yang merasakan minuman kaum sufi, niscaya mereka mengetahui. Siapa yang mengetahui, niscaya mereka akan membeli, meskipun nyawa ditaruhkan.”
Ditulis di Mungka, 27 April 2021
No responses yet