(Menguap Diri, yang Sok Suci)

“Ha.. Ha.. Ha..” riuh suara tawa para sahabat Nabi, entah apakah ada yang lucu atau hanya tawa ledekan. Tetiba Nabi Muhammad SAW langsung menegur mereka, “Apa yang membuat kalian tertawa?” para sahabat yang berada di tempat itu terdiam, tertegun, dan gugup. Mereka belum sampai menjawab pertanyaan Nabi, Nabi yang murah senyum itu melanjutkan tegurannya, “Apakah karena betisnya yang kecil kalian menertawakannya?” semua yang berada di tempat itu pun terdiam, tak seorang pun berani menjawab pertanyaan Nabi.

Kemudian Rasulullah SAW menyampaikan sabdanya, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, sesungguhnya kedua (betis)nya lebih berat dari Gunung Uhud dalam timbangan amal.” Ternyata para sahabat itu menertawakan keadaan betis Abdullah bin Mas’ud yang kecil, ketika itu Rasulullah SAW meminta tolong kepada sahabatnya ini untuk mengambil batang siwak dari pohonnya, pada saat memanjat pohon itulah betis kecilnya Abdullah bin Mas’ud terlihat, mereka pun melepas tawanya.

Sungguh, bentuk tubuh Abdullah bin Mas’ud tak membuat ia rendah, hina atau merendahkan diri. Ia adalah generasi terbaik, ia disebut-sebut Nabi sebagai sahabat yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya dan paling baik pemahamannya.

Suatu saat Nabi SAW bersabda, “Barang siapa cinta dan senang membaca al-Qur’an sesuai dengan yang diturunkan, hendaklah ia membacanya sesuai bacaan putranya Ummu Abad (Abdullah bin Mas’ud) .”

Sungguh kemuliaan bagi Abdullah. Pujian-pujian Nabi mengalir untuknya, pujian yang sangat indah. Nabi tak melihat fisiknya, tak memandang bentuk tubuhnya, betisnya yang kecil lebih berat dari gunung Uhud, bagaimana dengan anggota tubuhnya yang lain.

Beberapa bulan yang lalu, mata saya menyapa seorang mahasiswa, ia sedang bergegas menuju masjid Tarbiyah UIN Malang, terharu dan takjub, tidak hanya hari itu, setiap kaki ini melangkah ke Masjid itu, mahasiswa itu selalu berada di barisan para jamaah. Tubuhnya paling rendah dari para jamaah (bukan karena ia kecil), langkahnya lambat, kakinya tidak kelihatan, bahkan yang melihatnya tak tampak kaki-kaki menupang tubuhnya. Ia terlahir tidak seperti kebanyakan orang.

Ia melangkah dan berjalan dengan kakinya.

Tapi, Masyallah, ia tidak pernah mau dituntun, menolak dibelikan kursi roda atau sejenisnya.

“Bagaimana perasaan Mas Makki ketika mata-mata orang memandang tubuh Mas Makki?” saya mencoba mengorek dari hati terdalamnya. “Biasa saja ustadz, karena saya hanya ingin menjalani hidup ini dengan indah, dan ingin menimba ilmu sebagaimana orang normal juga mencarinya” ia sambil tersenyum.

Selama kuliah, saya tak pernah melihat wajahnya murung apalagi bersedih, ia selalu tampak ceria di kelas. Semangatnya selalu berkobar untuk meraih mimpi-mimpinya, kekurangannya tak mengurangi niatnya untuk maju. Entah, di mana ia sekarang?!. Ia lulus tepat waktu dengan nilai akademik yang menggembirakan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *