Ternyata Perang Jawa tak sekadar berlangsung lima-enam tahun dari 1825-1830. Sejarah resmi mencatat perang Jawa berakhir begitu Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Sulawesi. Namun, sejatinya Perang Jawa masih berlangsung meski skalanya tak sebesar sebelum Pangeran Diponegoro tertangkap.
Adalah Eyang Kiai Ngabehi Singadipa, salah satu panglima perang yang meneruskan Perang Jawa. Namun, lantaran kekuatan pasukan tak sebesar ketika Pangeran Diponegoro masih memimpin, Gerilya adalah strategi pilihannya. Kepiawaiannya dalam mengatur strategi dan teknnik perang tak perlu diragukan.
Kiai Ngabehi Singadipa adalah panglima perang pasukan Diponegoro di sektor barat, kawasan Banyumas Raya. Sampai 1830, ketika Pangeran Diponegoro ditangkap, Belanda tidak pernah bisa masuk ke Banyumas Raya. Mereka hanya sampai Roma dan Kertek, Wonosobo.
Kyai Ngabehi Singadipa berasal dari Keraton Surakarta Hadiningrat, yang memiliki nama kecil Nur Katon dan mendapatkan gelar Ngabehi setelah dewasa. Adapun gelar Kyai karena beliau tokoh yang mumpuni dalam agama. Selain piawai dalam berperang beliaupun pun pandai dalam administrasi tata negara. Dan itu, diabadikan dalam namanya, Singadipa. Singa perkasa yang piawai mengurus negara.
Beliau beristri Rara Parwati, putri Wedana Adimenggala Ajibarang hingga beliau pindah ke Ajibarang dan kariernya dimulai takala menjabat sebagai Tumenggung Kertanegara bergelar Adipati Jayasinga atau Singadipa.
Waktu itu pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono VI dari Kraton Surakarta yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, Banyumas dibagi menjadi tiga wilayah. Pertama Ajibarang, membawahi Banyumas, Cilacap dan Bumiayu, kedua Kertanegara, meliputi Purbalingga dan Banjarnegara ketiga Roma yang meliputi Kebumen, Karanganyar dan Gombong.
Pakubuwono VI dari Surakarta yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda, kemudian memerintahkan para bupati di wilayah mancanegara untuk membantu Pangeran Diponegoro berperang melawan Kumpeni. Di sinilah peranan Singadipa sebagai lurah prajurit Pangeran Dipongoro dalam berbagai pertempuran dalam Perang Jawa di wilyah Banyumas Raya.
Singadipa sangat gigih dan licin dan menjadi musuh nomor satu tentara Kumpeni. Perjuangan heroiknya adalah saat berhasil menghancurkan benteng Margalunyu milik Belanda di daerah Ijo dengan mengerahkan kekuatan 600 prajurit. (Tim DHC BPP-JSN 45 Banyumas, 2004:2-3).
Dikisahkan laskar Diponegoro yang bermarkas di pesantren Brangkal yang diapit oleh dua sungai dan pegunungan kecil dibawah pimpinan Kyai Muhammad Syafi’i yang menggantikan posisi Kyai Mojo sebagai penasehat Pangeran Diponegoro sehingga merepotkan Belanda. Untuk menghadapinya pihak Belanda membangun benteng Fort Fochius tepat disebelah Barat Brangkal.
Untuk melindungi markas Belanda di benteng Fort Fochius dan memblokade gerak laskar Diponegoro, Belanda membangun 4 benteng (benteng stelsel) yang berfungsi sebagai pos jaga. Benteng pertama di Margolunyu, utara ijo (dulu kalau hujan jalannya sangat licin bau anyir darah). Yang kedua di Kemit, hilir kali Brangkal di lintasan Gombong-Karanganyar. Ketiga di Sulastri di tengah jalan yang menghubungkan Urut Sewu dan Kemit dan yang keempat di Urut Sewu yaitu pos Petanahan.
Ketika Pangeran Diponegoro hendak ke Magelang atas kabar dari Pangeran Mangkubumi pamannya, bahwa Belanda lewat Kolonel JB Clerens mengajak berunding maka di pelataran pesanggrahan Watu Belah, Kamal Roma, Pangeran Diponegoro disaksikan oleh para prajuritnya menyerahkan Gendera Tunggul Wulung kepada Singadipa agar dirawat sebagai lambang perjuangan.
Di Magelang tragedi terjadi, sejarah mencatat, inilah tipu muslihat Kumpeni Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830. Peristiwa itu membuat kecewa Singadipa dan bertekad akan terus melawan Belanda sampai akhir hayatnya dan melarang semua anak turunnya untuk bekerjasama dengan Kompeni.
Titah untuk meneruskan perjuangan Pangeran Diponegoro dijawab oleh Kiai Singadipa dengan bukti 10 tahun perang gerilya. Selama itu pula Singadipa tak pernah tertangkap. Dalam melawan penjajah, Kyai Ngabei Singadipa menggunakan sistem gerilya yang dilakukan sambil menutup jejaknya dengan terus berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain, berganti nama dan berganti istri menggunakan siasat “umpetan sajeroning kemben”, yaitu berlindung di kemben wanita dengan cara menjadikan salah satu wanita di tempat perlawanannya sebagai istri.
Yah, sembunyi di dalam kemben wanita. Belanda tak berhasil menemukan jejak musuh nomor satu di tlatah Banyumas.
Cara tersebut terbukti efektif untuk berjuang. Sebab dengan terbentuknya kekuatan ikatan keluarga semakin memperkuat daya juang masyarakat dan menambah kekuatan di kemudian hari. Dengan siasatnya tersebut, Kiai Singadipa memiliki banyak istri dan anak. Tercatat dalam sejarah ada 6 Istri resmi dengan 23 anak. Banyak dari anaknya yang menjadi demang di beberapa tempat.
Untuk menghadapi perlawanan laskar Diponegoro dibawah pimpinan Kyai Ngabehi Singadipa, tlatah Banyumas sebagai daerah mancanegara kilen diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan dibentuk Karesidenan Banyumas, Kasepuhan dan Kanoman yang dipimpin oleh dua pejabat wedana bupati..
Kasepuhan Banyumas beribukota di Banyumas diserahkan kepada Tumenggung Cakrawedana (1816-1830) dari Surakarta sebagai Wedana Bupati. Kanoman Banyumas yang beribukota di Patikraja dengan Bratadiningrat sebagai Wedana Bupati yang kemudian bergelar Adipati Mertadireja I (1816-1830).
Setelah Mertadireja I wafat, ditunjuklah Mertadireja II sebagai Wedana Bupati Banyumas Kanoman di Patikraja dari 1830-1831 dengan gelar K.P.A. Mertadireja II. Beliau kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kanoman dari Patikraja ke Ajibarang (1831-1832) dengan maksud untuk mengakhiri perlawanan Kyai Ngabehi Singadipa.
Salah satu pesan Kyai Ngabehi Singadipa kepada anak cucunya yang selalu dipegang teguh kala itu adalah Bila ada orang yang bertanya akan keberadaannya agar menjawab bahwa beliau telah tiada. Belia melarang keras anak cucunya yang mengabdi atau bekerjasama dengan Belanda agar tidak sekali-kali berziarah ke kuburnya.
Suatu hari Wedana Bupati Ajibarang Mertadireja ll menyuruh istrinya agar mengambil putri Kyai Ngabehi Singadipa sebagai anak angkat dan tinggal di Kabupaten dengan maksud tertentu. Kyai Singadipa yang mendengar kejadian tersebut tidak rela dunia-akhirat dan nengeluarkan kesaktiannya menyebabkan bencana angin topan Selma 40 hari 40 malam dan menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke Purwokerto sebagaimana tercatat dalam sejarah Ajibarang.
Pemerintahan di Ajibarang hanya berlangsung dari tanggal 22 Agustus 1831 hingga 6 Oktober 1832. Karena adanya bencana angin topan selama 40 hari 40 malam ibu kota Kabupaten Ajibarang dipindahkan ke desa Paguwon distrik Purwokerto. Pemindahan yang kedua ini mengganti nama Kadipaten Kanoman Banyumas menjadi Kabupaten Purwokerto
Kelak di kemudian hari, anak keturunan Kiai Singadipa mengikuti jejak beliau menjadi tokoh pejuang dan tokoh penting di Republik ini. Salah satunya adalah Suparjo Rustam, pengawal kepercayaan Panglima Besar Jenderal Soedirman semasa perang gerilya. Pada masa Orde Baru ia sempat menjadi menteri dan Gubernur Jawa Tengah. Keturunan lainnya adalah Susilo Sudarman, tokoh militer yang juga sempat menjabat menteri serta Bupati Banyumas Achmad Husein.
Sempat menjabat sebagai Wedana Ajibarang Kyai Ngabehi Singadipa wafat dan dimakamkan di Grumbul Cileweng, Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Makam Kiai Singadipa sangat dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Tercatat, Presiden Soeharto dua kali berziarah ke makam ini. Tentu saja ada hal luar biasa yang membuat Soeharto, yang begitu didgdaya pada masa kekuasannya, sampai dua kali berziarah ke makam Kyai Ngabehi Singadipa.
Sebelum wafatnya, Kyai Ngabehi Singadipa menyerahkan bendera Tunggul Wulung yang dititipkan oleh Pangeran Diponegoro kepada putri tertua Nyi Mas Jayadikrama Parakan onje untuk disimpan dan dirawat. Bendera Tunggul Wulung selalu diwariskan untuk dirawat pada setiap anak perempuan tertua.
Dan pada tanggal 9 Februari 1979, bendera Tunggul Wulung diserahkan oleh Keluarga Besar Trah Singadipa kepada Pemerintah Kabupaten Tingkat II Banyumas jaman Bupati R.G. Roedjito. Sampai saat ini Gendera Tunggul Wulung masih tersimpan di kamar pusaka bersama pusaka-pusaka kabupaten lainnya di Pendapa Kabupaten Banyumas di Purwokerto.
Sumber:
Sumber: FB Subhan Mustaghfirin
Armando R. Dari Kadipaten ke Karesidenan (Sejarah Perkembangan Pemerintahan Banyumas dari tahun 1800-1950) [Tinjauan Pustaka]. Denpasar: Universitas Udayana; 2012.
Priyadi S. Sejarah Kota Purwokerto. Jurnal Penelitian Humaniora 2008;9:106-18.
Akhir Perang Diponegoro, Trantib, dan Awal Zaman Penjajahan Langsung
http://sejarah.purbo.org/1-6.html
Perang Diponegoro sebagai perang terakhir
http://sejarah.purbo.org/1-5.html
Balada Cinta Singadipa, Tangan Kanan Diponegoro dengan Perempuan Desa
https://id.berita.yahoo.com/balada-cinta-singadipa-tangan-kanan-190000573.html
Saeran Samsidi, Mengenang Kisah Heroik Kyai Ngabehi Singadipa, Lurah Prajurit Pangeran Diponegoro
No responses yet