Tangsel, jaringansantri.com – Ada spirit akulturtasi budaya yang terjadi di dunia Islam pada abad ke-16 M. Akulturasi ini terlihat pada bangunan-bangunan ibadah umat Islam berupa masjid yang ada di Istanbul, Malibar dan di Nusantara yang menjadi ikon arsitektur dunia Islam pada masa itu.

Ada kesamaaan pola pikir, yaitu pola pikir spirit toleransi, spirit akulturasi. Bagaimana Islam sangat memuliakan budaya setempat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Ajengan A. Ginanjar Sya’ban dalam kajian bertema “Akulturasi Budaya pada Masjid-Masjid : Kudus (Jawa), Malibar (India), dan Istanbul (Turki) Abad ke-16 M”. Di Kantor Islam Nusantara Center (INC), Sabtu, 28 Oktober 2017.

Direktur INC ini mengatakan “jadi kalau kita memandang masjid kudus, aneh gitu kan, kenapa? ini masjidnya kayak masjid ahli bid’ah. Arsitekturnya kok seperti Pura. Tapi kalau melihat masjid Sultan Ahmad di Istanbul, masyaallah, ini Islam.”

Padahal, lanjut Ginanjar, Masjid Sulaymaniye di Istanbul yang dibangun masa Sultan Sulaiman itu terinspirasi dari arsitektur gereja Hagia Sophia. Pasca penaklukan Konstantinopel pada 1453 Masjid-masjid Usmani mengikuti gaya arsitektur gereja Hagia Sophia.

“Ini (Masjid Sulaymaniye) menjadi Mahakarya arsitektur Islam Usmani pada zamnnya”, ujar penulis buku Mahakarya Islam Nusantara ini.

“Setelah menaklukan Istanbul, pertama kali yang dicari Sultan Muhammad AlFatih adalah gereja Hagia Sophia. Menurutnya, itu adalah sebuah mukjizat arsitektur yang belum pernah terkalahkan”. tambah Ginanjar.

Masjid yang dulu gereja bernama Hagia Shopia di Istanbul Turki. Kini menjadi Museum.

Gereja tersebut tidak dirubah sama sekali. Hanya menambah empat menara. Ia mengatakan “kira-kira ada yang berani nggak bilang ini masjid bid’ah. Nggk ada, inilah semangat akulturasi kebudayaan.”

Hal itu menunjukkan akulturasi budaya antara Islam dan kristen di eropa. Menegaskan kalau Islam datang bisa menghormati dan bersahabat dengan budaya setempat. “Ulama-ulama Usmani ingin menegaskan bahwa Islam datang bukan ingin membangun spirit yang asing.” tandasnya.

Itu Istanbul, lalu bagaimana di India? Ajengan Ginanjar menunjukkan gambar masjid tua di Malibar (Ponani, Kerala). Dibangun oleh Syaikh Zainuddin Malibari, pengarang “fathul mu’in”. “Ini juga menunjukkan akulturasi budaya. Unsur budaya di India dipakai, tidak langsung dibuang atau dimusuhi. Melainkan dihormati dan disempurnakan”, terang Dosen filolog Unpad ini.

Semangat akulturasi budaya tersebut juga tampak pada salah satu masjid di Nusantara, tepatnya di Kudus, Jawa Tengah. Dibangun oleh Syaikhul Islam di Nusantara, Imam Ja’far Shidiq atau yang dikenal dengan Sunan Kudus. Menunjukkan semangat Akulturasi budaya antara Islam dan Lokal (hindu).

Ginanjar yang juga dosen di STAINU ini mengatakan “Ketika membangun masjid, ia tidak mau membikin bangunan yang sekiranya asing, ada jarak dengan penduduk lokal, yang asing dalam gambaran pikiran orang-orang lokal”.

Tapi, Ajengan Ginanjar mengaku belum menemukan fatwa yang jelas bagaimana hukumnya membangun masjid dengan meniru budaya lokal. Menurutnya, ini bisa menjadi bahan tesis yang menarik dan perlu diteliti.

Bedanya, kalau di Istanbul coraknya sama. Ada identitas Turki di sana. Karena itu dipatenkan sebagai budaya Turki Usmani. Di Indonesia tidak dipatenkan. Bentuk akulturasinya lebih dinamis.

“Ini bukan mengajari pluralisme agama, tapi hendak mengkaji bagaimana kebijakan beberapa ulama dunia Islam waktu itu tentang akulturasi budaya.”, pungkas Ginanjar.

Zainul Milal Bizawie yang juga hadir dalam diskusi kali ini, menambahkan bahwa pluralisme yang diimpikan Barat, ia ingin menguasai. Sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan ulama Nusantara.

Sejarawan yang akrab disapa Gus Milal ini mengatakan “..yang diterapkan ulama-ulama Nusantara landasan spiritnya adalah akhlak. Akhlak menghormati keberagaman yang ada di Nusantara. Hal inilah yang ditampilkan dalam bentuk bangunan masjid Kudus.”

“Jadi lebih pada akhlaknya, bukan pada ideologi atau pemikiran. Akhlak ini juga ditampilkan ketika para ulama berdebat berbeda pendapat”, pungkas Gus Milal. (Damar).