Ideologi apa yang dulu membentuk jiwa seorang pemuda bernama Gajah Mada, ketika “Sumpah Palapa” terlontar dari mulutnya? Optimisme yang terlampau tangguh, yang sepintas mirip sebuah keangkuhan. Bagi manusia yang terlahir di abad 13 M, era dimana yang oleh August Comte dikategorikan sebagai masyarakat teologis. Nalar berpikir waktu itu tenggelam dalam asosiasi-asosiasi mitologis. Dari sini nampak bahwa visi Gajah Mada seolah melampaui jamannya.

Terlahir sebagai rakyat jelata, dan era yang masih memandang tinggi rendah manusia berdasarkan kasta. Naif sungguh, Gajah Mada adalah manusia proletar di mata Marx, social capital rendah, tanpa potensi genetika. Tidak lain Gajah Mada adalah manusia sudra dengan impian besar di tengah kontestasi sosial Majapahit yang tengah beranjak merengkuh kejayaannya. Mimpi besar itu, oleh Gajah Mada, bukanlah utopia…

Putra Nari Ratih ini telah menjadi maskot kejayaan Majapahit. Nama besarnya seolah melebihi kebesaran nama raja-rajanya. Hasil prestisius yang dicapainya menggapai mimpi Sumpah Palapa bukan tidak mungkin tentunya berakar dari tendensi ideologisnya dalam berpolitik.

Bagi Gajah Mada, kerja politik sesungguhnya pengejawantahan dari ‘ide yang luhur’, hal ini seperti yang Confusius pikirkan tentang Zen. Politik bukanlah properti, tapi strategi, demikian kata Foucault.

Citraan Gajah Mada yang tertera pada prasasti dan manuskrip kuno menggambarkan sikap politik yang protagonis demi tujuan politik kebangsaan di nusantara ini.

Ide politik yang luhur dalam perjalanan sejarah nusantara itu harusnya menjadi ruh yang menginspirasi kita kini, bahwa politik –sebagai seni berkuasa- tak sepantasnya berwajah antagonis.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *