Oleh A Ginanjar Sya’ban

Dalam bukunya yang monumental, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVI dan XVII”, Prof. Dr. Azyumardi Azra mendedah sejarah koneksi intelektual-spiritual antara Nusantara dengan pusat dunia Islam di Haramayn (Makkah-Madinah) serta pengaruh kokensi tersebut dalam pembentukan wacana umum keislaman di bumi Nusantara.

Di antara aktor utama dari sejarah besar koneksi tersebut adalah Syaikh Ahmad al-Qusyasyi (w. 1660) dan Syaikh Ibrahim al-Kurani (w. 1690), yang mana keduanya berkarir dan berbasis di Madinah, serta murid-murid mereka asal Nusantara, yaitu Syaikh Abdul Rauf Aceh (Singkel, w. 1693) dan Syaikh Yusuf Makassar (w. 1699).

Para aktor tersebut telah melahirkan sejumlah karya intelektual yang pada gilirannya memiliki pengaruh kuat yang menentukan bagi perkembangan corak pemikiran Islam di Nusantara abad-abad berikutnya. Syaikh Abdul Rauf Singkel menjadi mufti Kesultanan Aceh dari masa pemerintahan Sultanah Shafiatuddin (m. 1641-1675), hingga masa Sultanah Zainatuddin (m. 1688-1699). Sementara Syaikh Yusuf Makassar menjadi mufti Kesultanan Banten masa pemerintahan Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau yang dikenal dengan Sultan Ageng ing Tirtayasa (m. 1651-1683).

Pada masa itu (paruh kedua abad ke-17 M), terdapat satu kesultanan Islam lainnya yang sangat kuat dan diperhitungkan yang berbasis di pedalaman Jawa, tepatnya di Yogyakarta saat ini, yaitu Kesultanan Mataram Islam. Sultan terbesar Mataram Islam adalah Abdullah Muhammad atau yang dikenal dengan nama Sultan Agung ing Mataram Hanyakrakusuma (Sultan Agung, m. 1613-1645). Pada masanya, wilayah Kesultanan Mataram meliputi hampir semua Jawa (termasuk Sunda-Priangan dan Cirebon, dengan mengecualikan Batavia yang dikuasai VOC dan Banten yang memiliki kesultanan tersendiri), Madura, Bali, Lombok, bahkan hingga Sukadana di pesisir Kalimantan. Penerus tahta Kesultanan Mataram setelah kewafatan Sultan Agung adalah putranya, yaitu Amangkurat I (m. 1646-1677).

Sebagai sebuah kesultanan Islam yang besar dan mapan, tentu Mataram memiliki sejumlah ulama yang cukup berpengaruh dengan sejumlah karya intelektual mereka. Hanya saja sayangnya memang, jejak ulama masa Kesultanan Mataram beserta karya-karya mereka itu tidak banyak terlacak.

Di antara salah satu ulama Kesultanan Mataram yang sekilas terekam jejaknya dan diperkirakan hidup di antara masa Sultan Agung-Amangkurat I-Amangkurat II (1613-1703) adalah Syaikh Abdul Mahmud b. Shalih al-Matarami al-Jawi (Abdul Mahmud Mataram). Jejak tersebut terdapat dalam sebuah manuskrip yang disalinnya, yang mana pada titimangsa manuskrip tersebut tersebut nama beliau terabadikan.

Manuskrip yang dimaksud adalah salinan kitab “al-Asfâr ‘an Ashl al-Istikhârah A’mâl al-Lail wa al-Nahâr”. Kitab “al-Asfâr” sendiri merupakan karangan Syaikh Ibrahim al-Kurani yang diidentifikasi sebagai guru Abdul Mahmud Mataram. Manuskrip salinan dimaksud ini kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) sebagai naskah salinan tunggal dengan nomor kode (?).

Pada halaman akhir manuskrip, terdapat keterangan sebagai mana berikut ini:

قال مؤلفه زاده الله ثناء تم قبل العصر من يوم الثلاثاء من شهر رمضان المبارك سنة 1073 بمنزلي بظاهر المدينة المنورة على ساكنها أفضل الصلاة والسلام. وكان الفراغ من تسويده أول يوم الخميس وكاتبه الفقير الى رحمة الله حاج عبد المحمود بن صالح الجاوي المترامي بلغ المقابلة قبيل العصر على قدر الطاقة 18 جمادى الأولى سنة 1085

(Telah berkata pengarang kitab ini, semoga Allah senantiasa menambah kebaikannya: telah selesai [dari mengarang kitab ini] pada masa sebelum asar dari hari Selasa bulan Ramadhan yang diberkati tahun 1073 [Hijri] di kediamanku di kawasan Madinah Munawwarah. Semoga doa dan salam terbaik senantiasa tercurah bagi pendiamnya [Nabi Muhammad]. Adapun penulisan [salinan?]nya telah diselesaikan pada awal hari Kamis, dan penulisnya adalah seorang yang fakir kepada rahmat Allah ta’ala Haji Abdul Mahmud bin Shalih al-Jawi al-Matarami. Telah selesai me-“muqâbah” [menyalin dengan memandingkan naskah yang disalinnya dengan nakah aslinya] sebelum waktu asar sesuai dengan kemampuan, 18 Jumada al-Ula tahun 1085 [Hijri]).

Keterangan di atas menegaskan bahwa kepengarangan kitab “al-Asfâr” oleh pengarangnya (Syaikh Ibrahim al-Kurani) telah diselesaikan pada bulan Ramadhan 1073 Hijri (bertepatan dengan April 1663 Masehi). Karya tersebut kemudian disalin oleh Abdul Mahmud Mataram dua belas tahun kemudian, yaitu pada Jumada al-Ula 1085 Hijri (bertepatan dengan Agustus 1674 Masehi).

Akurasi Syaikh Ibrahim al-Kurani sebagai pengarang kitab “al-Asfâr ‘an Ashl al-Istikhârah A’mâl al-Lail wa al-Nahâr” ini juga diinformasikan dalam beberapa katalog, seperti “Khizânah al-Turâts: Fihrist al-Makhthûthât” (vol. LLXII, hal. 62), dan juga “al-Makhtûthât al-Mansûkhah fî al-Madinah al-Munawwarah al-Mahfûzhah fî Maktabah ‘Ârif Hikmat” (hal. 71).

Naskah “al-Asfâr” salinan Abdul Mahmud Mataram koleksi PNRI ini juga pernah ditahqiq oleh Kementrian Agama RI pada tahun 2009. Pentahqiqnya adalah Abdullah Adib Masruhan. Namun Masruhan menisbatkan kepengarangan kitab “al-Asfâr” tersebut kepada Abdul Mahmud Mataram, bukan kepada Syaikh Ibrahim al-Kurani. Masruhan juga mengatakan jika naskah “al-Asfâr” adalah naskah tunggal (hal. 7). Terlepas dari problematika “nisbah al-kitâb ilâ ghair mu’allifihi” dalam kasus ini, namun usaha pentahqiqan yang sudah dilakukan oleh Masruhan tentu merupana hal yang sangat luar biasa dan memiliki kontribusi besar bagi dunia kajian filologi Islam di Nusantara.

Keberadaan salinan kitab “al-Asfâr” yang dilakukan oleh Abdul Mahmud Mataram sebagai murid dari Syaikh Ibrahim al-Kurani tentu sangat menarik untuk dibincang lebih jauh lagi. Salinan tersebut mengabarkan kepada kita akan rekaman data dan informasi sejarah peradaban Islam (di) Nusantara di masa silam yang tertimbun oleh lintasan zaman dan harus digali kembali. Penulis sendiri memberikan beberapa catatan di bawah ini:

Pertama, salinan tersebut mewartakan perihal keberadaan seorang sosok bernama Syaikh Abdul Mahmud b. Shalih al-Matarami al-Jawi yang hidup di abad ke-17 M. Dari nama tersebut kita bisa mengetahui jika sosok Syaikh Abdul Mahmud berasal dari Mataram, Jawa.

Kedua, tahun penyalinan atas kitab “al-Asfâr” yang dilakukan oleh Abdul Mahmud Mataram terjadi pada 1085 H (1674 M) dan bertempat di Madinah. Syaikh Ibrahim al-Kurani sendiri sebagai pengarang “al-Asfâr” wafat pada tahun 1101 H (1690 M). Artinya, Abdul Mahmud Mataram menyalin naskah tersebut ketika pengarangnya (Ibrahim al-Kurani) masih hidup dan bisa dipastikan salinan Abdul Mahmud Mataram tersebut telah dikoreksi secara langsung oleh al-Kurani.

Ketiga, hal ini sekaligus juga menegaskan jika Abdul Mahmud Mataram adalah murid langsung dari Ibrahim al-Kurani. Abdul Mahmud Mataram adalah generasi “ashhâb al-jâwiyyîn” (orang-orang Nusantara) yang bermukim dan belajar di Haramayn selain Abdul Rauf Singkel dan Yusuf Makassar. Abdul Rauf Singkel diperkirakan kembali ke Aceh pada tahun 1073 H (1662 M), sementara Yusuf Makassar kembali ke Banten pada tahun 1081 H (1670 M). Meski belum bisa dipastikan apakah Abdul Mahmud Mataram bertemu dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel ketika berada di Madinah atau tidak, namun bisa diduga kuat kalau Abdul Mahmud Mataram bertemu dengan Syaikh Yusuf Makassar di kota suci itu. Dugaan ini didasarkan pada tahun penyalinan Abdul Mahmud Mataram atas kitab “al-Asfâr” (1085 H/ 1674 M) yang hanya berjarak sekitar empat tahun setelah masa kepulangan Syaikh Yusuf Makassar dari Madinah (1081 H/ 1670 M).

Keempat, tersimpannya manuskrip salinan Abdul Mahmud Mataram tersebut di PNRI Jakarta. Hal ini mengindikasikan jika sosok Abdul Mahmud Mataram pulang dari Madinah ke Jawa dengan membawa serta naskah salinan tersebut (dan dimungkinkan dengan membawa naskah-naskah lainnya). Belum diketahui pada tahun berapa tepatnya kepulangan Abdul Mahmud Mataram ke Jawa ini. Hanya saja bisa diduga beliau pulang pada masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I yang memerintah Mataram sepanjang tahun 1646-1677, atau masa pemerintahan setelahnya, yaitu Susuhunan Amangkurat II (m. 1677-1703).

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada kajian yang cukup mendalam dan detail terkait sosok Syaikh Abdul Mahmud Mataram ini. Sosok tersebut belum diketahui tahun kelahiran dan kewafatannya, juga bagaimana kiprah dan karirnya, serta sejauh mana sumbangsihnya bagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara. Hanya saja, empat poin catatan di atas setidaknya dapat memberi informasi awal perihal sosok Syaikh Abdul Mahmud Mataram yang “majhûl” itu.

Wallâhu A’lam.

Bandung, Muharram 1440/ Oktober 2018
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *