Syaikh Usamah Sayyid Azhary berkata:
اللغة مدخلٌ إلى القُرْآنِ
“Bahasa merupakan gerbang untuk memahami Alquran.”
Bahkan kami mendengar langsung syaikh Salim Abu Ashi berkata:
“المفسر أعلم الناس بلسان العرب”
“Seorang mufassir adalah orang yang paling memahami bahasa Arab.”
Ibnu Khaldun menyampaikan:
“Sesungguhnya kekokohan sebuah Bahasa dalam umat apa saja menjadikan eksistensi umat tersebut terus terjaga sepanjang umat tersebut menjaga peran Bahasa di antara umat-umat yang lain. Karena kemajuan sebuah bahasa bergantung dengan kemajuan seseorang yang ahli di dalamnya. Dan kedudukan bahasa di antara bahasa-bahasa yang lain merupakan sebuah gambaran tentang kedudukan sebuah bangsa di antara bangsa yang lain.”
Imam Waki, guru Imam Syafii bercerita:
“Aku mendatangi A’masy untuk mendengarkan hadits darinya. Dan aku barangkali saat itu salah dalam membaca hadits. Maka ia berkata kepadaku:
“Engkau meninggalkan sesuatu yang lebih utama daripada hadits.”
“Apa itu?” tanyaku. Ia menjawab.
“Nahwu.” Maka ia mendiktekan Nahwu kepadaku, setelah itu baru hadits.
Sebagaimana juga yang diceritakan oleh syaikh Fathi Hijazi bahwa ketika Imam Sibawaihi salah membaca hadits, sang guru langsung menegur: Kadzabta! “Engkau telah berbohong!” Gurunya tidak mengatakan “Engkau telah salah”. Tidak. Melainkan “Engkau telah berbohong!”
Oleh karena itu perhatian para Ulama dalam bahasa sangat-sangat besar, bahkan sejak awal pembangunan keilmuan mereka. Mari kita menelisik biografi dua matahari al-Azhar. Imam Hafidz al-Iraqi dan Imam Ibnu Hajar Asqalani.
Imam Hafidz al-Iraqi, (725-806 H). Seorang mujaddid abad 8 H yang disebut Imam Suyuthi dalam nadhmannya dan juga dicantumkan oleh KH. Maimun Zubair dalam karya beliau, Ulama al-Mujaddidun.
فالثامن الحبر هو البلقيني # أو حافظ الأنام زين الدين
Ulama mujaddid di abad kedelapan adalah Imam Bulqini. Atau Imam Hafidz al-Iraqi.
Setelah menghafal Alquran pada umur 8 tahun, beliau mempelajari beberapa ilmu. Ilmu yang pertama kali beliau tekuni adalah Qiraat dan bahasa Arab! Dan barangkali, dalam sehari beliau menghafalkan 400 baris dari keilmuan dan benar-benar fokus dengan itu.
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar Asqalani al-Azhary (773-852 H) — di awal tahshil ilmi, ilmu yang pertama kali beliau tekuni adalah Sastra dan Sejarah. Beliau juga menghafal Alfiyah Iraqi dan Mukhtasar Ibnu Hajib. Dan telah tampak dalam dirinya kejernihan tabiat dan kelembutan perasaannya, dibarengi dengan kemampuannya yang dalam dalam bahasa Arab, balaghah-nya dan diski-diksinya. Ibnu Hajar mendendangkan sebuah syiir yang bagus dan terus memperindah syiirnya. Hingga beberapa pemerhati ilmu menduga beliau adalah asli seorang penyair. Dan biografinya terdapat dalam Thabaqat al-Syuara karangan Badruddin al-Basytaki. Ibnu Hajar memiliki Diwan Syiir yang dicetak dalam satu jilid di penerbit India.
Salah satu Syiir indah beliau
ثَلَاثٌ مِنَ الدُّنْيَا إذا هي حُصِّلَت # لِشَخصٍ فَلن يَخشى مَنَ الضُّرِّ وَالضَّيرِ
غِنًى عن بَنيها والسَّلامةُ منهُمُ # وصِحَّةُ جِسمٍ ثُمَّ خاتِمَةُ العُمرِ
Tiga hal dalam dunia, jika didapat oleh seseorang, maka ia tak akan takut derana dan marabahaya apapun.
Kecukupan dari penghuninya dan keselamatan dari mereka. Kesehatan badan dan husnul Khatimah.
Syaikh Nuruddin Ithr mengatakan:
“Bisa dikatakan bahwa kapabilitas dalam ilmu bahasa Arab tidak bertentangan dalam kehidupan Ibnu Hajar. Bahkan ia merupakan satu pondasi dari manhaj para salaf keseluruhan dalam pembangunan keilmuan yang dibangun sejak awal perjalanan dengan asas-asas yang kuat berupa bahasa Arab. Berbeda dengan apa yang terjadi kepada sebagian pelajar yang menampakkan keilmuannya di zaman sekarang ini, yang mengentengkan bahasa Arab. Para ulama hadits dengan tegas telah memperingati kepada pelajar hadits agar jangan mengentengkan bahasa dan Nahwu. Sesungguhnya yang paling aku takut kepada para pencari ilmu, ketika ia tidak mengetahui Nahwu, ia termasuk orang yang disabdakan Nabi Muhammad saw.
“Barangsiapa yang berkata dusta tentangku, maka siap-siap saja ia mencari tempatnya di neraka”
Karenanya Rasulullah saw. memperingati bahwa hilangnya bahasa merupakan salah satu kesesatan! Dari Abi Darda ra. Ia berkata: Nabi saw. mendengar seseorang membaca lalu terdapat kesalahan dalam membaca. Kemudian beliau saw. bersabda: “Tuntunlah saudara kalian itu, karena ia telah tersesat.”
Bahkan Sidna Ali kw. menyifati bahwa kodifikasi Bahasa dan perumusan kaidah-kaidahnya merupakan sebuah “kehidupan”. Sebagaimana yang beliau katakan ketika mengutus Abu Aswad al-Du’ali ketika memintanya untuk mengkodifikasi Bahasa, “Jika engkau melakukan hal itu, engkau telah menghidupkan kami”. Hal ini menjustifikasi bahwa Bahasa adalah kehidupan bagi umat.
Syaikh Ali Jum’ah berkata:
“Bahasa dan pemikiran adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bahasa adalah alat untuk menghasilkan sebuah pemikiran. Umat tak akan mampu berpikir dengan benar, sementara ia tak berbicara dengan bahasa yang benar. Dan inilah yang telah diperkenalkan oleh para pendahulu bahwasanya perhatian terhadap bahasa Arab beserta ilmunya adalah merupakan tugas yang dasar bagi sebuah bangsa. Juga hal-hal yang menyangkut di dalamnya. Oleh karena itulah, mereka mampu membangun sebuah peradaban.”
“Seseorang yang menjaga bahasa Arab, termasuk seseorang yang menjaga Agama. Sebab tidak mungkin memahami Alquran dan sunnah tanpa peran Bahasa Arab. Sebagaimana kelemahan dalam bahasa juga termasuk melemahkan Agama.”
Kesalahan dalam memahami teks memiliki dampak yang sangat besar! Seperti contoh ketika seseorang mengartikan Istawa dalam firman Allah: “Al-Rahman Ala Arsy Istawa.” Kalimat Istawa memiliki sekitar 40 makna! Di antaranya: bersemayam, bertempat, ketika sampai umur 40 juga dinamakan Istawa. Bisa berarti menguasai. Dan lain-lain. Ketika seseorang hanya berpaku kepada satu makna dalam Istawa yang berarti bersemayam, tanpa melihat makna yang lain, yang pantas untuk Zat Allah swt. maka di sinilah terjadi dampak yang besar yaitu perbedaan dalam Akidah, yang sama sekali tidak bisa ditoleransi.
Hal yang sama juga terjadi ketika salah dalam mengi’rab sebuah kalimat. Dalam salah satu Hasyiah Alfiyah Ibnu Malik disebutkan dalam Bab Ikhtishas.
نحن معاشر الأنبياء لا نورث ما تركناه صدقة
Lihat bagaimana kesalahan mengirab menjadikan fatal dalam memahami sebuah hadits Nabi saw. Ahlu Sunnah wa Jamaah mengirab kalimat “Shadaqah” sebagai khabar dari mubtada’ lafadz Ma yang bermakna bahwa apa yang ditinggalkan oleh Nabi adalah Shadaqah untuk umat. Sementara Syiah mengirab kalimat “Shadaqah” sebagai Hal yang bermakna bahwa apa yang ditinggalkan oleh Nabi bukan sebuah Shadaqah. Melainkan untuk ahli baytnya. Tak heran, ketika Sidna Abu Bakar al-Siddiq mewakafkan kebun Rasulullah kepada orang muslim, sebagian orang syiah mengutuk dan menghina beliau, karena telah mengambil hak sayyidah Fathimah. Bayangkan hanya karena perbedaan harakat dhammah dan fathah saja dalam lafadz Shadaqah, mampu membawa dampak yang sangat besar dalam memahami sebuah teks, bagaimana jika lebih dari itu?
Allahumma Faqqihna al-Lughah. Allahumma Faqqihna al-Lughah. Allahumma Faqqihna al-Lughah.
Ya Rabb.
Buuts, 02 Agustus 2018
Refrensi:
Majalah al-Azhar
Nukhabatul Fikar Tahqiq syaikh Nuruddin Ithr
Mukawinnat Aql Muslim
Foto Maulana Syaikh Ali Jum’ah ketika kecil. Hafidzahullahu.
No responses yet