Maulana Syaikh Abdurrahman al-Khalidi Batuhampar, atau yang lebih dikenal dengan Baliau Batuhampar, merupakan ulama terkemuka di Pedalaman Minangkabau. Terdapat beberapa hal yang menjadikan tokoh ini menjadi penting, terutama dalam penyebaran ilmu keislaman.
Pertama, ia merupakan ahli tilawah dan qira’at yang mendedikasikan hidupnya sebagai pengembang ilmu baca al-Qur’an di Minangkabau. Kedua, Kampung Dagang yang dibinanya menjadi sentra pendidikan besar dan berpengaruh pada abad 19 hingga paruh pertama abad 20.
Ketiga, ia tercatat sebagai sosok intelektual yang kosmopolit. Keempat, selain menguasai berbagai bidang keilmuan Islam, ia juga merupakan mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang menjadi rujukan. Kelima, aktivitas dakwahnya yang persuasif, menjadikan sosok hingga lembaga surau yang diasuhnya sangat populer di masanya.
Syaikh Batuhampar mempunyai riwayat perjalanan intelektual luar biasa, yang menunjukkan kesungguhannya dalam keilmuan Islam. Di mulai sejak usia kurang lebih 15 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu, hingga berusia tua. Sekitar umur 63 tahun, baru pulang ke kampung halamannya.
Dalam jangka waktu yang cukup lama tersebut ia melanglang buana menuntut ilmu agama, mulai dari Gologandang Batusangkar, terus ke Tapak Tuan Aceh, dan akhirnya ke Haramain (Mekkah-Madinah).
Untuk ke Mekkah, ia pernah dua kali. Pertama kali ke Mekkah, mukim beberapa tahun, lalu kembali ke Tapak Tuan. Beberapa saat kemudian ia kembali ke Mekkah untuk mukim beribadah dan menuntut ilmu. Di Mekkah ia belajar berbagai keilmuan.
Ia berjumpa jumpa dengan Syaikh Isma’il al-Khalidi Simabur, yang mengajar di Mekkah, dan menginisiasinya dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jabal Abi Qubaisy.
Setelah lebih 40 tahun menuntut ilmu agama, ia kemudian pulang ke kampung halamannya, Batuhampar. Ikhtiar pertama yang ia lakukan ialah berdakwah secara hikmah dan mau’izhahi kepada masyarakat. Terdapat beberapa kisah mengenai aktifitas dakwah, berikut kelembutan dan kontiniutitas Syaikh Batuhampar dalam menyampaikan pesan-pesan agama.
Suatu ketika, saat Syaikh Batuhampar berladang tebu, datanglah anak-anak gembala meminta tebu yang saat itu sudah bisa dipanen. Syaikh memberi dengan senang hati. Anak-anak tersebut disuruh untuk duduk melingkar sebelum menikmati tebu.
Setelah sebelumnya tebu-tebu tersebut dipotong dan dikupas oleh syaikh sendiri, masing-masing mendapatkan satu potong tebu. Sebelum dimakan, syaikh menyampaikan kepada anak-anak tadi, bahwa tebu ini akan semakin manis rasanya apabila dibacakan Bismillah sebelum memakannya. Dengan girang anak-anak tersebut membaca basmallah bersama-sama, dan dengan asyik menyantap bagian masing-masing.
Di lain kesempatan, syaikh didatangi oleh beberapa pemuda sambil membawa ayam jago masing-masing. Ketika itu masih marak kegiatan adu ayam, dan ternyata pemuda-pemuda tadi akan membawa ayam ke gelanggang aduan. Mereka berniat meminta do’a kepada syaikh, agar ayam-ayam ini menang dalam aduan. Ketika disodorkan ayam dengan permintaan dido’akan, Syaikh Batuhampar tidak menolak, malah dengan senyum ia mengambil ayam dan mendo’akannya. Pemuda-pemuda tadi jadi senang. Ketika diadu, ayam-ayam tadi menang.
Kenyataan ini membuat pemuda-pemuda tersebut menjadi segan kepada syaikh. Lama kelamaan kebiasaan mereka mengadu ayam dapat hilang, karena segan dan ta’zhim kepada syaikh. Ketika ayam tersebut disodorkan dan dido’akan, syaikh mendo’akan keinsafan untuk mereka.
Syaikh Batuhampar juga dapat menyadarkan penghulu adat untuk menjalankan perintah-perintah syarak, sehingga anak kemenakan penghulu tersebut juga mengikuti jejak pemimpin adat mereka untuk dapat melaksanakan syari’at.
Aktifitas dakwah yang persuatif dan penuh empati tersebut yang membuat Syaikh Batuhampa dihormati oleh masyarakat. Tidak berapa lama sejak kepulangannya ke kampung halaman, ia menjadi sosok yang berpengaruh. Apalagi ketika ia bersama masyarakat mendirikan kompleks surau, sebagai lembaga pendidikan, yang dikenal dengan nama Kampung Dagang.
Ia semakin terkemuka, anak siak (penuntut ilmu dalam istilah Minang) dari berbagai daerah datang belajar kepadanya. Komplek surau tersebut terbilang besar dan lengkap. Terdiri dari surau utama berhadapan dengan rumah gadang, dan kelilingi surau-surau yang umumnya bertingkat dua sebagai asrama anak siak. Sekitar 30 surau mengelilingi Kampung Dagang, yang menunjukkan aktifitas luar biasa untuk ukuran saat itu.
Di surau tersebut dididik ulama-ulama yang kemudian berkiprah sebagai pejuang agama di abad 20. Selain menimba ilmu al-Qur’an, mereka juga dididik secara rohani dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Di antara nama-nama ulama yang dididik di Kampung Dagang ialah Syaikh Abdurrahman Kumango, Yahya al-Khalidi Magek, Syaikh Muhammad Salim Bayur Maninjau, Syaikh Sulaiman Arrasuli Candung, dan Syaikh Muhammad Aqib Batangkapas (Pesisir Selatan).
Moh. Hatta, salah seorang proklamator RI, juga menghabiskan masa kecilnya di Kampung Dagang, sebab ia merupakan cucu langsung dari Syaikh Batuhampar sendiri.
No responses yet