Tidak diragukan bahwa setelah Syaikh Hasan Maksum (1301-1355 H/ 1881-1937 M), tokoh ulama besar berikutnya adalah Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972 M) dalam usia 63 tahun. Beliau adalah ulama, penulis, tokoh Masyumi. Kontribusinya bagi umat Islam di Indonesia, terutama di Sumatera Utara cukup besar. Di antara kontribusi tersebut adalah karya-karya tulis yang sebagian besar merupakan respon atas perkembangan dan dinamika Islam di negeri ini. Berikut ini adalah beberapa karya beliau –tidak termasuk karya yang ditulis dalam Bahasa Arab, Jawi, dan beberapa Bahasa daerah di Sumatera Utara, seperti Karo dan Batak:

Penuntun Perang Sabil (cet. 2, tahun 1957). Buku ditulis pada penghujung tahun 1945 di saat situasi Indonesia baru memperoklamirkan kemerdekaannya. Dimana, tentara Jepang sudah kalah dalam perang dunia kedua, namun secara rahasia, tentang sekutu yang diwakili oleh Inggris dengan membonceng Belanda mulai masuk di beberapa kota besar di Indonesia. Dalam keadaan seperti ini, apalagi di kota Medan –sebagaimana yang disebutkan penulisnya dalam pembukaan- bahwa ia menulis karya ini di tengah suara dentuman peluru, namun karena permintaan beberapa masyarakat agar beliau menulis tuntunan dan pedoman dalam membela tanah air dari kembalinya penjajah, ia akhirnya menulis buku ini. Ia juga berpendapat bahwa setiap yang gugur dalam pertempuran membela tanah air adalah mati syahid. Hal-hal yang penting ditemukan dalam buku ini adalah beberapa fatwa di Indonesia terkait status “Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia” setelah kembalinya Belanda untuk kedua kalinya. Ada 5 fatwa yang disebutkan:

  • Putusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (berlangsung 7-8 November 1945) berbunyi: “a) Kemerdekaan nusa dan bangsa Indonesia menjadi syarat yang mutlak supaya Islam dapat hidup dengan selamat dan baik di tanah air, b) tiap-tiap muslimin Indonesia wajib mempertahankan kemerdekaan itu, berdiri teguh di belakang Republik dan melakukan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan itu, c) harus diperkuat persatuan umat Islam Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan itu dengan tekad fi sabilillah.
  • Putusan Majelis Fatwa Al Jam’iyatul Washliyah (30 November- 2 Desember 1945 di Pematang Siantar yang dihadiri oleh para ulama). Fatwa tersebut berbunyi: “a) wajib atas tiap umat Islam di Indonesia menolak kedatangan orang-orang Belanda dan pembantu-pembantunya yang hendak berkuasa di Indonesia, b) orang Islam yang mati dalam pertempuran menolak orang Belanda dan pembantu-pembantunya itu dan matinya disebabkan pertempuran tersebut dengan niat menegakkan agama Islam, dihukumkan syahid fi sabilillah.
  • Putusan Kongres Kaum Muslim Sumatera (Majelis Tinggi Islam di Bukittinggi 6-9 Desember 1945) berbunyi: “a) Berjuang mengusir musuh dari tanah air kita ini atau menghancurkannya adalah hukumnya fardhu air, b) siapa yang mati dalam perjuangan ini adalah mati syahid dunia akhirat, tidak dimandikan, dikafankan dengan pakaian yang dipakainya dan tidak disembahyangkan.
  • Fatwa Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, berbunyi: “Inilah yang dinamakan perang sabil dan barangsia yang mati dalam peperangan ini, maka mati syahid karena mempertahankan negeri, bangsa dan agama kita, agama Islam. Hukum berperang ini ada 2: pertama, fardhu kifayah, sebelum musuh masuk ke negeri kita, dan kedua, fardhu air, kalau merea sudah masuk ke negeri kita.
  • Fatwa Alim Ulama di Medan (18 November 1945 di Masjid Lama Gang Bengkok) yang keputusannya diserahkan kepada gubernur Negara Republik) berbunyi: “matinya syahid, mayatnya tidak dimandikan dan tidak disembahyangkan.”
  1. Debat Islam-Kristen Tentang Kitab Suci (cet. Pertama 1967/ cet. 2002). Merupakan hasil perdebatan penulis dengan seorang pendeta di Medan bernama dr. Sri Handono. Perdebatan ini merupakan hasil dari kegelisahan dan kemarahan umat Islam di Petumbukan Deli Serdang atas tindakan pendeta yang berprofesi sebagai dokter tersebut. Debat ini berlangsung pada tanggal 21 April 1967 di kediaman beliau di Jalan Sei Kera.
  2. Agama Islam dan Penghuni Luar Angkasa (1965). Merupakan hasil ceramah beliau di Universitas Al Washliyah pada tanggal 18 Mei 1960.
  3. Imam Mahdi (1967). Buku ini hadir sebagai respon atas maraknya aliran Ahmadiyah dan secara khusus membantah seorang yang mengaku sebagai pengganti Imam Mahdi di Tanjungpura yaitu H. Makmun Yahya
  4. Pemimpin Haji Mabrur (1966)
  5. Perbandingan Agama Kristen dan Islam (merupakan karya monumental beliau).
  6. Ilmu Pembagian Pusakan (1980)
  7. Keesaan Tuhan Menurut ajaran Kristen dan Islam
  8. Pedoman Mati (1972)
  9. Ilmu Fiqih (1985)
  10. Fatwa (Beberapa Masalah: 1982). Ada 11 masalah yang diperdebatkan saat itu –umumya antara Kaum Tua dan Kaum Muda, seperti wirid Yasin, talqin mayit setelah dikuburkan, makan di tempat ahli mayit, dan lainnya.

Ada 2 lagi karya beliau yang belum dijumpai: 1) Menyelesaikan Perang di Dalam Islam. Buku ini menyebabkan beliau diawasi oleh penguasa orde lama. 2) Jaminan Kemerdekaan Beragama dalam Hukum Islam. Selain itu, beliau ada fatwa atas haramnya “Komunisme di Indonesia” yang ditulis sebagai hasil muktamar ulama di Palembang pada tahun 1957. Bagi siapa yang mengetahui ketiga buku tersebut, mohon informasinya!!!

NB: Sudah selayaknya nama beliau dan Syaikh Ismail Abdul Wahab Tanjungbalai diusulkan sebagai pahlawan nasional

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *